Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Akal-akalan Mengharmonisasi Pajak

Harga barang kebutuhan pokok sudah keburu naik, padahal pajaknya tidak jadi naik. 

4 Januari 2025 | 06.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Untuk urusan kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen, pemerintah mementingkan gengsi.

  • Dengan situasi ekonomi yang lesu saat ini, pemerintah semestinya menurunkan PPN.

  • Rieke Diah Pitaloka dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan setelah mengkritik rencana kenaikan PPN 12 persen.

DALAM hal kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen, pemerintah sangat mementingkan gengsi. Dengan dalih hal itu adalah mandat undang-undang, pemerintah bergeming menghadapi berbagai penolakan. Aksi akbar mahasiswa tak digubris. Berbagai pendapat para pengamat ekonomi dan pelaku dunia usaha tak membuat pemerintah mundur. Apalagi cuma petisi yang menolak kenaikan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pokoknya PPN harus naik per 1 Januari 2025. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Undang-undang itu menyebutkan kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, kemudian naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. "Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, terhadap inflasi, dan terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Presiden Prabowo Subianto, menegaskan kembali niat bulat pemerintah ketika mengumumkan kenaikan PPN 12 persen itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ngototnya pemerintah menaikkan tarif PPN dengan dalih sesuai dengan bunyi undang-undang itu sebenarnya tak beralasan. Sebab, ada Pasal 7 ayat 3 pada UU Nomor 7 Tahun 2021 itu yang menyebutkan PPN tak harus naik bertahap. Bisa pula turun sampai ke angka 5 persen, sementara angka teratas 15 persen. Bergantung pada bagaimana situasi ekonomi pada saat diputuskan.

Dengan situasi ekonomi yang lesu saat ini, menurut Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dolfie Othniel Frederic Palit, pemerintah justru harus menurunkan PPN, bukan menaikkan. Penolakan lebih gencar lagi disuarakan oleh Rieke Diah Pitaloka dengan teknik interupsi dalam sidang paripurna DPR.

Buntutnya, Rieke, politikus PDIP, dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan pelanggaran kode etik. Mantan pemain sinetron itu dilaporkan oleh seseorang bernama Alfadjri Aditia Prayoga karena dinilai memprovokasi publik untuk menolak kenaikan PPN 12 persen. Mahkamah ternyata menanggapi laporan itu dengan positif dan berupaya memanggil Rieke. Aneh, pendapat anggota DPR dalam forum resmi parlemen bisa diadukan sebagai pelanggaran.

Namun apa yang terjadi sehari menjelang berlakunya kenaikan PPN 12 persen yang sesuai dengan bunyi undang-undang itu? Prabowo muncul bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani. Memang tak ada pembatalan kenaikan PPN. Yang ada kenaikan terbatas hanya untuk barang-barang mewah yang selama ini transaksinya sudah dikenai pajak penjualan barang mewah yang biasa disingkat PPnBM. Kebutuhan pokok rakyat tetap dengan PPN yang selama ini ada, yakni 11 persen. Yang PPN nol persen juga tetap berlaku. Barang mewah yang dimaksudkan sudah dirinci, antara lain private jet, kapal pesiar, yacht, helikopter, dan rumah seharga Rp 30 miliar ke atas. Beras, sabun, sampo, dan seterusnya tak terkena PPN 12 persen.

Bukankah barang mewah ini sudah dikenai pajak tinggi lewat PPnBM? Bahkan ada yang pajaknya lebih besar dari PPN 12 persen sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2023. Apakah pengumuman Presiden bersama Menteri Keuangan sehari menjelang tahun baru 2025 itu tidak diartikan sama dengan membatalkan atau menunda kenaikan PPN 12 persen? Kesannya pemerintah main petak umpet alias akal-akalan. Pemerintah tak mau mengalah dengan menunda pemberlakuan PPN 12 persen yang berarti memenuhi aksi demo mahasiswa dan berbagai penolakan di masyarakat. Pemerintah memegang gengsi begitu tinggi, menolak didikte, dan tak mau tunduk pada partai oposisi, tapi mengeluarkan kebijakan yang maknanya sama saja. 

Selain itu, dengan lantang pemerintah menyebutkan kebijakan ini tak berdampak pada kehidupan rakyat. Lalu untuk apa pemerintah menyiapkan stimulus senilai Rp 38,6 triliun? Stimulus itu antara lain berupa bantuan beras 10 kilogram per bulan untuk 16 juta penerima. Jika dampak ke rakyat kecil tak ada, memangnya pemilik jet pribadi perlu bantuan beras? Atau pemerintah justru sadar bahwa mengulur waktu soal “pembatalan” PPN 12 persen ini berdampak pada kepanikan pelaku ekonomi. Memang itu yang terjadi. Para pedagang ramai-ramai menaikkan harga sebelum pergantian tahun. Harga barang kebutuhan pokok sudah keburu naik, padahal pajaknya tidak jadi naik. 

Pemerintahan Prabowo-Gibran baru dua bulan beberapa hari bekerja, tapi makin membingungkan langkahnya. Mungkin kita untuk sementara setuju pada permintaan Prabowo, yakni “beri kami kesempatan lebih banyak bekerja”. Tapi bekerja yang benar, Bapak Presiden. Selamat tahun baru.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus