Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KECELAKAAN yang melibatkan kendaraan travel gelap di Kilometer 58 jalan tol Jakarta-Cikampek pada 8 April lalu patut menjadi pelajaran bagi penumpang, pengusaha angkutan, dan pemerintah sebagai regulator. Kecelakaan yang menewaskan 12 penumpang dan sopir minibus tersebut mengungkap masalah yang lebih dalam dari sekadar pelanggaran lalu lintas biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecelakaan tersebut kembali menyingkap keruwetan menajemen transportasi umum, terutama dalam menghadapi lonjakan jumlah perjalanan selama masa mudik Lebaran. Polisi menduga sopir angkutan travel gelap itu kelelahan dan terlelap sekejap saat menyetir minibus penuh penumpang. Minibus nahas itu melaju dari arah timur lalu masuk ke jalur kendaraan yang berlawanan arah. Saat itulah, sebuah bus menghantam minibus yang kemudian terbakar. Sebelum insiden tersebut, sopir minibus ditengarai berkendara nonstop Jakarta-Ciamis sejak 5 April.
Minibus berpelat nomor hitam itu disebut kendaraan travel gelap karena bukan moda transportasi umum yang terdaftar. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan travel gelap tak memiliki standar keamanan dan kenyamanan penumpang yang memadai. Ia juga menuduh sopir tak mematuhi standar operasi kendaraan karena seharusnya mobil tersebut hanya membawa maksimal 8-9 penumpang.
Klaim Menteri Budi itu perlu diuji dalam konteks yang lebih luas. Meskipun transportasi resmi memiliki standar tertentu, potensi kecelakaan tetap ada jika aturan tidak diikuti dengan baik. Tiga hari setelah kecelakaan travel gelap di jalan tol Jakarta-Cikampek tersebut, sebuah bus juga mengalami kecelakaan di Kilometer 370 jalan tol Semarang-Batang yang menyebabkan tujuh kematian. Penyebabnya juga diduga akibat sopir kelelahan lantaran mengejar target keuangan. Dengan demikian, kedua kejadian ini menggarisbawahi masalah utama, yaitu kesalahan manusia.
Razia terhadap kendaraan travel gelap yang sudah berlangsung berbilang tahun terbukti tak manjur. Kementerian Perhubungan memperkirakan ada 100 mobil travel gelap yang beroperasi di satu kabupaten setiap akhir pekan. Meski terus dirazia, mobil travel gelap tetap eksis dan dicari calon penumpang. Padahal tarifnya lebih mahal dari kendaraan umum legal. Ongkos naik angkutan travel dari Jakarta ke Yogyakarta rata-rata Rp 700 ribu per orang. Sebagai perbandingan, tarif bus kelas VIP dari Jakarta menuju Yogyakarta rata-rata Rp 500 ribu per orang.
Jumlah penumpang yang melonjak tiap masa libur seperti Lebaran menjadi salah satu faktor menjamurnya angkutan travel gelap. Travel gelap juga terus beroperasi dengan memanfaatkan celah atau kelemahan layanan transportasi umum resmi. Cara memesan kursi kendaraan travel gelap bisa lewat media sosial. Sopir travel gelap pun bersedia menjemput atau mengantar ke tempat yang diinginkan penumpang. Layanan tersebut memudahkan penumpang yang tidak mau repot-repot antre di terminal yang kerap jauh dari lokasi rumahnya. Pengguna travel gelap pun bisa menghindari “gangguan” para calo terminal yang kerap berebut penumpang.
Mengatasi lonjakan jumlah penumpang serta menjamurnya travel gelap tak cukup dengan membuat aturan—apalagi bila aturan itu tidak ditegakkan. Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, misalnya, menyebutkan setiap angkutan umum wajib menggunakan pelat berwarna kuning. Faktanya, aturan ini tak sepenuhnya diterapkan. Taksi daring, misalnya, masih banyak menggunakan pelat nomor hitam. Pengawasan atas angkutan umum legal pun selama ini tak berjalan baik. Jumlah angkutan umum yang makin banyak menyulitkan petugas pengawas. Pada 2023, jumlah angkutan umum jenis bus saja tercatat 257.435 unit.
Rencana Kementerian Perhubungan menggandeng para pemilik angkutan travel gelap pada 2022 sejatinya merupakan pendekatan yang tepat. Kementerian sempat hendak menjadikan travel gelap sebagai moda pengumpan (feeder) dari titik lokasi penumpang menuju terminal. Sayangnya, rencana tersebut tak pernah terwujud.
Singkat kata, mencari solusi transportasi umum yang aman dan nyaman seharusnya menjadi prioritas utama daripada sekadar menyalahkan travel gelap sebagai kambing hitam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo