Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wajah Buram Industri Penerbangan

21 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faisal Basri Direktur Perbanas, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Ratusan karyawan Indonesian Airlines (IA) sudah lima bulan tidak menerima gaji. Nasib mereka terkatung-katung. Maskapainya sendiri sedang dituntut pailit oleh sejumlah agen perjalanan karena mangkir membayar kewajiban-kewajibannya. Selain itu, jalur penerbangan terjadwal telah berbulan-bulan tak diterbangi. Satu-satunya pesawat IA hanya dioperasikan untuk penerbangan carter. Dengan kondisi morat-marit seperti itu, kenyataan bahwa IA masih beroperasi menimbulkan sejumlah pertanyaan.

Apakah pantas perusahaan yang sekarat diizinkan mengoperasikan pesawat terbang? Nasib karyawannya saja dibengkalaikan, bagaimana keselamatan penerbangan? Juga bagaimana kalau tak ada lagi karyawan besertifikat yang mengantongi izin negara untuk terbang? Tahukah penumpang bahwa mereka terbang tanpa jaminan asuransi?

Bisa juga ditambahkan pertanyaan yang lebih mendasar, misalnya: mengapa IA, yang modalnya cekak, bisa beroperasi sebagai maskapai penerbangan berjadwal? Bagaimana mungkin maskapai yang cuma memiliki dua pesawat bisa mendapat izin untuk menerbangi tiga jalur gemuk? Mengapa perusahaan yang belum seumur jagung diberi konsesi penerbangan haji?

Keberadaan dan sepak terjang IA sedikit-banyak mencerminkan keadaan industri penerbangan kita dewasa ini dan (masih) kentalnya bisnis beraroma korupsi-kolusi-nepotisme. Tidak syak lagi, kesalahan di masa silam berulang kembali sekarang. Penguasa "kini" tak pernah mau belajar dari kegagalan penguasa "kemarin". Mereka, maaf, sungguh bebal.

Mereka bukan tidak tahu bahwa usaha penerbangan merupakan industri yang harus sarat regulasi, baik di pasar domestik maupun internasional, karena menyangkut keselamatan manusia. Industri ini tergolong rentan karena berteknologi tinggi dan juga rentan terhadap gejolak, dan sekarang ditambah lagi dengan ancaman terorisme.

Karena karakteristiknya yang khas, persyaratan masuk ke industri ini harus ketat. Beberapa persyaratan pokok harus dipenuhi, misalnya jumlah minimal topangan modal yang kuat seperti yang diwajibkan pada industri perbankan, infrastruktur teknologi informasi yang memadai lewat jaringan on-line, sumber daya manusia yang andal, manajemen yang sehat, dan standar pelayanan tertentu.

Persyaratan itulah yang tidak ada, sehingga industri penerbangan kita leluasa melayani penumpang ala kadarnya. Tak jarang konsumen dirugikan. Hak-hak mereka diabaikan. Maskapai seenaknya membatalkan penerbangan kalau jumlah penumpang sedikit, lalu mengopernya ke maskapai lain—seperti lazim terjadi pada angkutan kota di Jakarta. Penumpang sering ditelantarkan tanpa kepastian kapan pesawat akan diterbangkan. Beberapa kali terjadi jumlah penumpang yang naik pesawat melebihi jumlah tempat duduk, atau penumpang naik tanpa nomor tempat duduk. Bus yang mengangkut penumpang dari dan ke terminal tidak laik operasi karena tidak didesain untuk kebutuhan penumpang pesawat terbang. Ada juga indikasi bahwa persyaratan laik terbang bisa ditawar. Kalaupun masih memenuhi standar, ternyata sudah berada di batas toleransi, padahal batas toleransi itu bersifat temporer.

Lemahnya pemerintah sebagai regulator membuka peluang bagi industri penerbangan untuk bertindak ugal-ugalan. Akibatnya, pengusaha kelas pedagang kelontong pun bisa memasuki industri ini. Sejumlah pemerintah daerah bahkan ikut latah meramaikan. Mereka memperoleh izin usaha dan izin rute karena katebelece dan sogok.

Sementara itu, persaingan kian ketat hingga mendorong maskapai banting harga. Lagi-lagi regulasi yang lembeklah yang membuat maspakai bisa menawarkan harga murah. Akibatnya, terjadilah saling "bunuh" yang berdampak sangat memukul terhadap transportasi lainnya. Bahkan lemahnya regulasi menjadi biang keladi rusaknya sistem transportasi secara keseluruhan.

Akibatnya, maskapai yang berbisnis secara sehat dan memenuhi standar baku bisa tersingkir. Sebagian yang ugal-ugalan dan tak punya kompetensi bisnis akan gulung tikar karena tidak memiliki napas panjang untuk berlaga di pasar yang keruh. Tak perlu menunggu lama. Semua maskapai milik pemerintah daerah akan tersungkur atau setidaknya lesu darah. Beberapa maskapai swasta demikian pula.

Kalau cara penanganan atas industri ini tidak patut, dampaknya yang negatif akan menjalar ke sektor lain, seperti kredit macet dan pemutusan hubungan kerja. Bisnis angkutan darat, kereta api, dan angkutan laut pun bisa merana. Belum lagi sektor pendukung lainnya. Yang lebih memprihatinkan, keselamatan penumpang terancam.

Sejauh ini, pemerintah sebagai regulator cenderung menyelesaikan masalah di ujungnya, yakni dengan menawarkan penerapan tarif referensi, lalu mengenakan sanksi bagi yang melanggar. Justru cara ini menimbulkan masalah baru, yakni persaingan tidak sehat, sebagaimana terjadi di masa lalu lewat praktek kartel di bawah naungan asosiasi maskapai, INACA. Untuk menyehatkan industri penerbangan, pilihannya adalah penerapan standar yang lebih ketat, bukan dengan mengutak-atik harga. Lagi pula pemerintah tidak berhak menetapkan harga. Kewajiban negara yang utama ialah membuat hak-hak rakyat terlindungi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus