Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BALAI Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat dan pemerintah daerah harus bertanggung jawab atas tragedi di Gunung Marapi. Keteledoran mereka mengizinkan pendaki berkemah di sekitar kawah gunung itu telah menyebabkan 23 orang tewas terjebak erupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pendaki itu meninggal setelah gunung setinggi 2.885 meter tersebut memuntahkan awan panas pada Ahad, 3 Desember lalu. Setelah tragedi Gunung Lawu pada 1987 yang menewaskan 15 santri dan satu ustad, petaka di Marapi merupakan sejarah terkelam dalam pendakian di Indonesia. Bedanya: para pendaki di Marapi tewas karena kecerobohan otoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, ada kebiasaan buruk di Indonesia dalam menerima kematian di gunung akibat kecelakaan atau kesalahan individu. Minimnya persiapan, bekal yang tak cukup, atau menganggap enteng pendakian menjadi biang keroknya. Tragedi Gunung Lawu pada 1987 salah satunya. Tapi, dalam kasus Marapi, mereka mati bukan karena kecerobohan pribadi.
Kematian para pendaki sesungguhnya bisa dicegah bila pengelola taman wisata mengacuhkan rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Sejak 2011, lembaga ini menetapkan Marapi dalam status waspada. Status itu belum dicabut hingga sekarang.
Dengan status ini, Pusat Vulkanologi merekomendasikan pengelola kawasan wisata melarang semua aktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak gunung. Rekomendasi ini sejatinya masuk prosedur operasi standar pendakian.
Alih-alih melarang aktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak gunung, BKSDA membuka kembali jalur pendakian pada akhir Juli lalu—setelah sempat ditutup pada Januari 2023 akibat peningkatan status. Artinya, lembaga ini tidak mengindahkan peringatan badan vulkanologi.
Setiap pembukaan destinasi wisata perlu mempertimbangkan biaya dan manfaatnya. Di kawasan gunung berapi, alasan menarik uang dari sektor pariwisata semestinya tidak menjadi pertimbangan utama.
Faktanya, para pendaki Marapi bisa dengan leluasa mendaftar melalui sistem pendaftaran online. Pengelola kawasan wisata tidak mencantumkan keterangan mengenai status Gunung Marapi serta tindakan yang harus dilakukan bila tiba-tiba status tersebut meningkat. Situasi ini diperkeruh oleh aksi pencurian alat-alat pendeteksi rekaman seismik di stasiun pemantauan Marapi. Tahun ini, sudah dua kali alat pendeteksi dicuri.
Bukan cuma itu. Di lapangan, tidak ada penjelasan sedikit pun ihwal prosedur operasi standar pendakian. Tidak ada papan informasi, peringatan waspada, serta larangan atau pembatas di sepanjang jalur pendakian—sesuatu yang lumrah di gunung dengan aktivitas vulkanis yang tinggi. Sayangnya, semua rambu tadi terabaikan. Standar keselamatan diterabas demi pembukaan kembali destinasi kawasan wisata.
Padahal bukan pertama kali terjadi pendaki tewas karena erupsi Marapi. Abel Tasman, pemuda lulusan SMA asal Padang, menjadi korban karena Gunung Marapi meletus pada 5 Juli 1992. Kematiannya diabadikan menjadi tugu, sekitar 600 meter dari puncak Marapi. Di titik tugu itulah jenazahnya ditemukan setelah Marapi meletus.
Marapi juga meletus beberapa kali setelah itu. Catatan tersebut semestinya menjadi pegangan sebelum pengelola kawasan wisata membuka kembali jalur pendakian.
Kejadian nahas di Marapi harus jadi pelajaran. Kita tidak pernah tahu kapan bencana datang. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan mengetatkan prosedur operasi standar pendakian kita bisa terhindar dari malapetaka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo