Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia, 2012. Seorang buruh bangunan duduk beristirahat sebentar di dekat gundukan pasir, bersandar di tiang pancang yang baru didirikan. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya yang penuh bercak tanah: sebuah telepon seluler.
Ia tak menekan satu nomor buat berbicara. Ia mengirim sandek.
Atau sesuatu yang lain: ia menulis satu dua kalimat pada dinding Facebook-nya. Atau membaca 140 karakter pada Twitter-nya.
Dengan kata lain, ia berhubungan dengan mereka yang jauh dari gundukan pasir itu—entah siapa—dengan huruf.
Bagi saya, yang hanya satu dasawarsa yang lalu tak pernah menyaksikan adegan seperti itu—ketika telepon sebuah kemewahan yang tak akan dimimpikan seorang tukang batu—ada kegembiraan tersendiri memandangi si buruh bangunan. Tentu karena ia kini bisa punya akses lebih gampang buat mencapai wilayah yang lebih luas dengan orang lain. Tapi bukan hanya karena teknologi itu saya merasa bersenang hati. Adegan itu menunjukkan sebuah perkembangan yang dulu dengan cemas diharapkan oleh pembawa ide "kemajuan" sejak generasi Kartini di akhir abad ke-19: sebuah bangsa Indonesia yang akrab dengan aksara.
Kini 92 persen orang Indonesia tak buta huruf lagi—sebuah persentase yang belum ideal, tapi setidaknya lebih tinggi ketimbang India (74 persen) dan Brasil (90 persen). Penggunaan aksara juga tampak dari jumlah pengguna Facebook dan Twitter. Sebuah angka menyebutkan, akun Facebook di Indonesia mencapai 43,5 juta, atau nomor tiga di dunia setelah Amerika Serikat (155 juta) dan India (45 juta). Pengguna Twitter di sini merupakan 24 persen dari jumlah seluruh dunia; Indonesia tercatat nomor enam.
Siapa tahu sebuah transformasi telah terjadi. Atau sedang terjadi. "The medium is the message," kata-kata Marshall McLuhan yang tersohor jauh sebelum telepon seluler ditemukan. Aksara, sebuah medium, merupakan pesan tersendiri—pesan yang berbeda bila disampaikan secara lisan.
Ke-beraksara-an adalah isyarat bahwa isi yang disampaikan terbangun dari kata-kata yang bisa ditangkap kembali, dipikirkan lagi, atau dibahas dengan lebih akurat. Pesan lisan berbeda: suara akan bergerak menghilang bersama waktu. Untuk dihidupkan lagi, kata itu harus diingat. Untuk mudah diingat, perlu pola yang tetap.
Saya coba baca lagi buku klasik Walter Ong, Orality and Literacy: sejak 6.000 tahun yang lalu manusia mengenal aksara, tampak perbedaan antara kebudayaan lisan dan kebudayaan tulis. Karena harus bersandar pada pola yang tetap untuk menyimpan khazanah pemikiran, komunikasi lisan cenderung konservatif. Karena kalimat yang disampaikan secara lisan tak bisa ditelaah kembali dengan saksama, mereka yang bersandar pada budaya lisan akan tak cukup punya daya analitis. Tak mudah membentuk satu wacana konseptual, karena bahasa lisan tak memberi peluang untuk abstraksi—sebuah proses yang melepaskan pemikiran dari konteks. Komunikasi lisan senantiasa bertaut dengan sebuah konteks: tempat, waktu, lawan bicara, dan suasana saat itu.
Dikotomi Ong—antara kebudayaan lisan dan kebudayaan tulis—tentu saja bisa dikritik, dan sudah dikritik. Teknologi, juga teknologi kata-kata dalam bentuk aksara, pena, dan mesin cetak, punya pengaruh, tapi tak sepenuhnya. Determinisme teknologi sama melesetnya dengan determinisme apa pun dalam melihat kebudayaan.
Indonesia, 2012: apa gerangan yang ditulis oleh buruh bangunan itu? Saya tak akan tahu. Tapi bila ada pengaruh teknologi yang kini membentuk Facebook dan Twitter—dan media sosial lain—pengaruh itu menyusup dalam waktu. Kecepatan yang tinggi ikut membentuk sifat dan dengan demikian isi pesan.
Bukan mustahil bila dalam kecepatan itu beda jadi tipis antara pesan lisan dan pesan dengan aksara. Desakan sesaat untuk mengemukakan sesuatu secara tertulis tak membuka peluang bagi apa yang oleh Ong diasumsikan terjadi dalam ke-beraksara-an: penelaahan kembali, analisis, jarak dari konteks, ingatan yang lebih permanen.
Tak mengherankan bila dalam Twitter, misalnya, cetusan spontan kadang-kadang mencerminkan ketiadaan sikap reflektif. Pendapat jadi teramat gampang, hanya mengikuti opini yang sudah terpola. Prasangka tak ditinjau lagi. Data dan analisis membutuhkan waktu dan kecermatan—yang sulit dipenuhi bila kita harus saat itu juga menyimpulkan.
Tapi bukankah orang bisa mencari lebih jauh, dengan Google dan lain-lain? Kita dengar optimisme ini berkali-kali. Benar. Tapi ada yang menunjukkan bahwa justru dalam samudra informasi yang mahaluas, orang akan gagap—dan memilih yang pas buat dirinya. Tak akan ada temuan yang tak diduga-duga.
Sebuah esai yang memikat dalam The Economist mengemukakan satu hal yang hilang: serendipity. Kata itu masuk ke dalam bahasa Inggris (dan tak ada dalam bahasa lain) oleh Horace Walpole, dalam sepucuk surat bertahun 1754. Ia memakainya dengan mengacu ke dongeng Persia tentang tiga putri negeri Serendip. Mereka ini selalu membuat penemuan, secara kebetulan dan lantaran keberanian—justru lewat hal yang semula tak mereka cari.
Kini, diduga orang enggan bertualang untuk kepergok dengan yang kebetulan. Tapi saya kira keliru menyimpulkan bahwa dari informasi yang melimpah ruah itu—dengan kebingungan kita dalam kancahnya—serendipity jadi mustahil. Sekali lagi, ada batas teknologi dalam menentukan perilaku manusia. Satu hal yang tak kalah menggembirakan bagi saya ketika melihat buruh bangunan itu memegang telepon selulernya dan menulis: sendiri di dekat gunduk pasir, ia tak tampak gentar. Mungkin bebas. Setidaknya di momen itu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo