Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 menjadi undang-undang. Sejumlah partai politik terlihat ambigu menyikapi Perpu tentang Organisasi Kemasyarakatan itu. Mereka menerima perpu, tapi mengusulkan revisi terhadap sejumlah pasal.
Sikap mendua itu diperlihatkan Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Partai lain penyokong pemerintah- PDI Perjuangan, NasDem, Partai Golkar, dan Hanura- menerima sepenuhnya. Adapun Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional menolak tegas pengesahan perpu.
Usul revisi dari beberapa partai itu terkesan basa-basi. Opsi dalam menyikapi perpu jelas hanya menolak atau menerima. Lewat voting dengan hasil suara 314 anggota Dewan setuju dan 131 menolak, akhirnya perpu disahkan menjadi undang-undang. Jika konsisten, Partai Demokrat, PKB, dan PPP harus segera menyiapkan revisi terhadap undang-undang tersebut.
Perpu yang telah menjadi undang-undang itu jelas mengingkari kebebasan berserikat sekaligus hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Saat menerbitkan perpu, pemerintah terkesan tidak sabar menghadapi organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan prinsip demokrasi. Perpu itu menghapus ketentuan pembubaran organisasi lewat pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dalam perpu, pencabutan status badan hukum ormas sekaligus pembubaran bisa dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aturan yang diterapkan pada organisasi HTI ini amat berbahaya dan memunculkan tindakan sewenang-wenang. Asas contrarius actus- pejabat yang mengeluarkan keputusan berhak pula membatalkan- tidak relevan dalam urusan ini. Soalnya, pemberian status badan hukum organisasi hanya formalitas. Pemerintah tidak bisa mencabut status itu, apalagi membubarkan organisasi.
Sanksi pidana yang diatur dalam perpu juga melanggar hak asasi manusia. Anggota atau pengurus ormas bisa masuk penjara karena kesalahan yang dilakukan organisasi. Ancaman hukumannya pun amat berat, yakni penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Karena banyaknya cacat itu, Perpu Ormas seharusnya tidak disahkan sebagai undang-undang. Banyak kalangan juga telah mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tapi, setelah perpu diterima DPR, permohonan itu otomatis akan ditolak Mahkamah karena telah kehilangan obyek sengketa. Pemohon bisa mengajukan lagi permohonan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Pengesahan Perpu segera setelah diundangkan.
Upaya uji materi amat penting buat merebut kembali kebebasan berorganisasi. Aturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor17 Tahun 2013 sebetulnya sudah cukup bagus. Pembubaran organisasi dilakukan lewat pengadilan dan putusan hakim masih bisa diuji lagi hingga kasasi. Proses pembubaran lewat pengadilan yang terkesan bertele-tele ini merupakan konsekuensi dari praktik negara demokrasi.
Cara yang lebih simpel sebetulnya bisa meniru mekanisme pembubaran partai politik, yakni lewat Mahkamah Konstitusi. Pola ini lebih sederhana, tapi tetap melibatkan yudikatif. Solusi semacam itu semestinya dipikirkan partai-partai penentang perpu dan partai yang bersikap mendua. DPR bisa membuat undang-undang ormas yang lebih lugas tanpa harus menabrak konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo