Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Niat baik pemerintah untuk membantu masyarakat miskin yang menjadi korban wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) ternyata tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Negara, yang berusaha hadir dan peduli pada kesulitan hidup rakyat, ternyata belum didukung dengan validitas data yang memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di DKI Jakarta, misalnya, dilaporkan, alih-alih diterima rakyat miskin yang membutuhkan, bantuan sosial justru dialokasikan untuk orang-orang kaya yang tidak berhak. Nama salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDIP dilaporkan juga sempat masuk daftar penerima bantuan. Meski dalam prosesnya ketahuan dan kemudian bantuan itu tidak jadi diberikan, berbagai kasus yang terjadi membuktikan bahwa ada hal yang mesti diperbaiki dalam proses penyaluran bantuan di Tanah Air.
Yang namanya orang kaya dan pejabat negara tentu bukan termasuk orang yang kurang mampu sehingga perlu dan berhak menerima bantuan. Meski demikian, karena pandemi Covid-19 terjadi begitu mendadak dan kita tidak siap dengan data yang valid, kemungkinan terjadi kekeliruan pun menjadi terbuka.
Secara politis, kepedulian dan komitmen pemerintah untuk menyalurkan bantuan bagi rakyat miskin yang terkena dampak Covid-19 sebetulnya patut dipuji dan sudah seharusnya dilakukan. Namun bantuan yang disalurkan ke masyarakat itu belum sepenuhnya tepat sasaran karena tidak didukung data yang akurat.
Ada beberapa kekisruhan yang selama ini terjadi dalam proses penyaluran bantuan sosial untuk korban Covid-19. Pertama, terjadinya bias dan bahkan tumpang-tindih dalam pendataan siapa orang yang berhak mendapat bantuan, terutama antara data yang dimiliki pemerintah pusat dan data pemerintah daerah.
Idealnya, data masyarakat miskin yang berhak menerima bantuan seharusnya konsisten antara pusat dan daerah. Tapi, karena data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang dipergunakan Kementerian Sosial sebagai basis data pemberian bantuan ternyata tidak selalu sama dengan data yang diberikan pemerintah kabupaten dan kota, terjadi kekeliruan dalam penetapan siapa yang menjadi sasaran bantuan.
Kedua, terjadinya perkembangan atau dinamika kondisi sosial-ekonomi masyarakat di lapangan yang berubah sangat cepat. Ini menyebabkan sebagian orang tiba-tiba jatuh menjadi "orang miskin baru" atau ada orang-orang miskin yang mengalami proses pendalaman kemiskinan yang semakin parah.
Selisih riil antara jumlah masyarakat miskin yang terdata dan masyarakat yang tengah membutuhkan bantuan tidak sekali-dua kali ini terjadi. Di Banyumas, misalnya, pemerintah pusat dilaporkan telah menggelontorkan bantuan sebesar Rp 600 ribu per keluarga selama tiga bulan. Bantuan ini dialokasikan untuk 57.722 keluarga di sana. Dalam kenyataannya, jumlah keluarga yang membutuhkan bantuan sebetulnya 131 ribu, sehingga ada 73.278 keluarga yang tidak mendapatkan apa-apa.
Untuk mencegah munculnya kecemburuan sosial dan protes masyarakat, terutama dari rumah tangga yang tak menerima bantuan sosial, pemerintah daerah Banyumas akhirnya mengambil jalan tengah, yakni memecah nilai bantuan menjadi Rp 300 ribu per keluarga per bulan selama tiga bulan. Dengan semikian, jumlah penerima bisa diperluas dua kali lipat atau sebanyak 115.444 keluarga. Masalahnya, apakah dengan bantuan hanya tinggal Rp 300 ribu itu dapat menghidupi satu keluarga?
Ketiga, proses penyaluran bantuan ada kemungkinan terkontaminasi kepentingan politik sebagian kepala daerah yang akan kembali maju dalam pemilihan kepala daerah mendatang. Penyaluran bantuan, yang seharusnya steril dari kepentingan politik, ternyata disusupi kepentingan pragmatis inkumben yang ingin memanfaatkan kesempatan dan mencoba mengail di air keruh.
Di beberapa daerah, sejumlah media massa melaporkan ditemukannya foto diri kepala daerah di bungkusan bantuan sosial. Jadi, tanpa harus mengeluarkan dana pribadi, sang kepala daerah berusaha mendongkrak popularitas dirinya dengan menumpang pada penyaluran bantuan yang didanai pemerintah pusat maupun daerah. Tindakan culas seperti ini tentu memprihatinkan di tengah penderitaan sebagian besar masyarakat yang terkena dampak pandemi.
Bagi orang-orang yang terkena dampak wabah, berapa pun alokasi bantuan dan apa pun bentuk bantuan yang digulirkan pemerintah tentu akan bermanfaat dalam memperpanjang daya tahan mereka menghadapi krisis dan tekanan kebutuhan hidup. Tapi, ketika bantuan yang dikucurkan ternyata sebagian besar diwujudkan dalam bentuk natura dan hanya sebagian kecil yang diberikan dalam bentuk uang tunai, skema pemberian bantuan seperti ini dikhawatirkan justru bias dan cenderung lebih menguntungkan kelompok tertentu.
Para pelaku ekonomi berskala kecil dan masyarakat di perdesaan niscaya tidak akan banyak memetik manfaat dari skema penyaluran bantuan dalam bentuk natura. Pengadaan barang seperti beras dan bahan kebutuhan pokok lain hanya menguntungkan pengusaha besar dan para tengkulak.
Ketika masyarakat menerima bantuan dalam bentuk beras atau bahan kebutuhan lain, tentu mereka tidak lagi harus berbelanja di warung atau pasar di sekitar tempat tinggalnya. Sementara itu, pengusaha dan pedagang besar justru akan memetik keuntungan karena barang dagangan mereka akan dibeli dalam skala besar melalui mekanisme penunjukan atau kerja sama lain. Pada titik ini, yang perlu dipertanyakan adalah siapa sebetulnya yang dibantu dan siapa pula yang menikmati keuntungan terbesar dari kebijakan pemerintah menyalurkan bantuan sosial bagi korban wabah Covid-19?