Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penggunaan media sosial yang masif menjadi tantangan dalam penanganan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, khususnya bagi Indonesia.
Dalam kasus-kasus yang pernah terjadi di dunia, teknologi siber digunakan sebagai “senjata” untuk menyerang atau melumpuhkan obyek fasilitas negara atau fasilitas publik.
Problem lain yang juga mesti diperbarui adalah pemahaman tentang kerusakan pada era siber dalam konteks serangan teror.
PENANGKAPAN terduga teroris sepanjang Agustus-September 2024 menjadi beberapa contoh kasus terorisme yang memanfaatkan ruang siber. Enam tersangka yang ditangkap terdeteksi menggunakan media sosial, seperti media percakapan, video interaktif, dan propaganda.
Ruang siber memang telah menjadi ruang bagi perkembangan terorisme. Barry C. Collin, peneliti keamanan dan intelijen pada pertengahan 1980-an, mengatakan terorisme siber sebagai konvergensi sibernetik dengan terorisme (Akhgar dkk., 2014).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, harus diakui, penggunaan media sosial yang masif menjadi tantangan dalam penanganan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, khususnya bagi Indonesia. Apalagi kebanyakan perusahaan media sosial yang digunakan masyarakat bukan berasal dari Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam catatan tindak pidana terorisme, media sosial digunakan oleh banyak pelaku terorisme tunggal alias lone wolf. Para pelaku tunggal ini mengaku terpapar atau belajar hingga berinisiatif melakukan aksi teror atas kehendaknya sendiri memanfaatkan perkembangan media komunikasi. Jika ditarik ke belakang, organisasi teroris, seperti Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah, bahkan telah lebih dulu tercatat memanfaatkan teknologi siber untuk kepentingan-kepentingan aksinya.
Bagi aparat penegak hukum, mencegah aksi teror oleh pelaku lone wolf memiliki tingkat kesulitan sendiri, khususnya dalam upaya pencegahan. Aparat memiliki keterbatasan mendeteksi dini pergerakan individual pelaku. Bisa saja, di masa depan, pergerakan pelaku lone wolf tidak lagi melakukan aksi teror secara konvensional. Mereka dapat melakukan aksi teror di ruang siber yang berdampak pada kerusakan obyek vital negara atau terhambatnya layanan publik.
Propaganda teror di ruang siber dan kasus serangan siber terhadap beberapa instalasi penting di Indonesia memantik kita untuk berpikir ulang bagaimana konstruksi teror dalam ranah siber. Pandangan konvensional bahwa serangan teror dapat memenuhi unsur jika terjadi kerusakan yang menimbulkan berbagai bentuk kerugian perlu ditinjau kembali apabila dikorelasikan dengan ruang siber.
Dalam kasus-kasus yang pernah terjadi di dunia, teknologi siber digunakan sebagai “senjata” untuk menyerang atau melumpuhkan obyek fasilitas negara atau fasilitas publik. Teroris bisa menggunakan jaringan Internet untuk mengacaukan jalan raya, rel kereta, atau bahkan mematikan aliran air dari fasilitas yang terkoneksi lewat Internet.
Kalau sudah demikian, kerugian yang ditimbulkan dari teror di ranah siber juga dapat dirasakan oleh publik secara luas. Karena itu, di sini, kita dapat membedakan dampak pada dua sisi, secara langsung berupa rusaknya fasilitas dan secara tidak langsung berupa ancaman kekacauan. Selain itu, menjadi penting untuk memperbarui perspektif tentang fasilitas publik dan obyek vital negara. Terutama di era nilai fisik ekstrinsik kerap lebih rendah daripada nilai intrinsiknya.
Jika kita lihat bagaimana negara mendefinisikan obyek vital nasional, obyeknya terbatas pada ruang fisik dan lokasi. Definisinya bisa kita lihat dalam Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Aturan ini menjelaskan bahwa obyek vital nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi, dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara, dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.
Peraturan ini kemudian dirujuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Peraturan BNPT Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pedoman Perlindungan Sarana dan Prasarana Objek Vital yang Strategis dan Fasilitas Publik dalam Pencegahan Tindak Pidana Terorisme. Dalam peraturan itu, definisi obyek vital nasional juga mirip.
Problem lain yang juga mesti diperbarui adalah pemahaman tentang kerusakan di era siber dalam konteks serangan teror. Jika sistem komunikasi, atau data warga negara yang dirusak oleh virus yang dibuat kelompok atau individu teror, ranahnya berada di luar pemahaman formal tentang kerusakan yang merujuk pada adanya kehilangan fungsi secara fisik. Gedung atau mesin peladen pusat data nasional bisa saja tidak rusak, tapi ransomware telah mengobrak-abrik data nasional yang ada di dalamnya.
Redefinisi Terorisme di Ruang Siber
Perdebatan tentang terorisme siber, keamanan siber, hingga kedaulatan siber (negara) masih terus berlangsung di kalangan akademikus. Seperti halnya perdebatan mendefinisikan terorisme, perdebatan siber terorisme juga memasuki ranah pengalaman-pengalaman empiris yang makin terkumpul luas.
Plotneck & Slay (2020) menjelaskan bahwa penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami taksonomi terorisme siber yang melingkupi aktor, motif, maksud, tujuan, dampak, hingga sasaran. Dari banyaknya perdebatan taksonomi yang ada, mayoritas berbicara mengenai efek dan target sasaran terorisme siber. Dua hal tersebut cukup penting untuk membedakan terorisme siber dan kriminalitas siber lainnya (cyber crime).
Adanya target sasaran terorisme siber, di mana ruang siber terbangun, munculnya efek serangan berupa terciptanya rasa takut pada manusia dan pemerintah, serta adanya tujuan politik, sosial (Dorothy Denning, 2007), atau ideologis (Plotneck & Slay, 2020), sudah cukup untuk mendefinisikan terorisme siber.
Contohnya bisa dilihat dari serangan siber yang dilakukan hacker ternama Al-Qaidah, Yousuf Tsouli. Ada juga serangan malware dan DDOS di berbagai negara, seperti Ukraina dan Estonia, yang menimbulkan kepanikan serta kerugian bagi negara-negara yang menjadi korban.
Di Indonesia, pada 2023, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mendata ada aktivitas ransomware dalam jenis Luna Moth, WannaCry, Locky, LockBit, serta Gandcrab yang merajai serangan ke jaringan siber Indonesia. Pada tahun yang sama, BSSN melaporkan betapa masifnya serangan siber di Indonesia. Dari aktivitas trojan yang mencapai lebih dari 109 juta kali, phising site sebanyak 47 juta kali, hingga serangan database MSSQL hampir 15 juta kali.
Serangan siber terhadap pusat data nasional, database perbankan, lokapasar, dan lainnya yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran publik. Masyarakat waswas terhadap data dan gangguan layanan yang mungkin terjadi akibat serangan siber. Kepercayaan terhadap penyelenggara layanan publik dan swasta menurun. Kegusaran yang demikian tidak lantas membawa perhatian serius terhadap kemungkinan tujuan politik, sosial, dan ideologi dari aksi serangan siber.
Mitigasi Risiko
Indonesia telah memiliki data bagaimana ruang sibernya digunakan sebagai sarana berkembangnya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kita juga memiliki catatan berbagai serangan terhadap fasilitas ruang siber nasional. Tidak perlu menunggu adanya pengalaman efek ancaman nyata untuk bisa segera menghadang terorisme siber.
Indonesia telah menekankan pentingnya kolaborasi yang kuat dan pengembangan kapasitas dalam menghadapi ancaman terorisme siber. Dalam hal ini, BSSN memimpin berbagai inisiatif untuk memperkuat deteksi dini dan respons cepat terhadap ancaman siber serta memastikan aparat penegak hukum dan keamanan siap dengan teknologi terbaru dalam menghadapi taktik serangan yang makin canggih.
Meskipun Indonesia memiliki regulasi dalam menangani terorisme fisik, ancaman terorisme siber memerlukan pembaruan dalam kerangka hukum yang lebih komprehensif. Misalnya, memperluas definisi obyek vital nasional, yang mencakup infrastruktur digital yang krusial, seperti sistem kesehatan, perbankan, dan energi.
Perluasan definisi ini akan membantu melindungi sektor-sektor penting dari ancaman siber yang dapat merugikan masyarakat luas. Dalam hal ini, kemitraan publik-swasta juga sangat penting, yang memungkinkan perusahaan dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan solusi keamanan siber yang lebih kuat, termasuk mengadakan kampanye kesadaran publik guna mencegah radikalisasi di dunia maya.
Selain itu, strategi kontra-radikalisasi di ruang siber menjadi upaya penting untuk menekan penyebaran ideologi ekstrem. Dengan memanfaatkan komunitas daring yang aktif, Indonesia dapat memperkuat narasi positif yang mampu mengurangi pengaruh konten radikal di media sosial.
Namun tantangan dalam atribusi pelaku teror siber tetap ada, mengingat sifat lintas batasnya yang memungkinkan pelaku menyembunyikan identitas secara digital. Kerja sama internasional melalui kerangka seperti Konvensi Budapest tentang Kejahatan Siber menjadi solusi untuk menghadapi tantangan ini serta membantu dalam proses penuntutan pelaku kejahatan siber di tingkat global.
Seperti halnya berbagai pendekatan penanggulangan terorisme konvensional, kolaborasi dan sinergisitas lembaga negara menghadapi terorisme siber menjadi kunci untuk memperkuat soliditas pencegahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.