Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam COP16 CBD, korporasi-korporasi besar berusaha mempengaruhi arah perundingan agar tidak merugikan kepentingan bisnis mereka.
Beberapa bank global dan perusahaan ekuitas swasta juga tampak tertarik pada potensi pendanaan yang terkait dengan keanekaragaman hayati.
Lobi-lobi yang dilakukan sektor swasta dapat menjadi ancaman untuk melemahkan komitmen perlindungan keanekaragaman hayati.
ADA awan gelap yang mengintip Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa atau The Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP16 CBD) yang berlangsung di Cali, Kolombia, pada akhir Oktober hingga awal November 2024. Perhelatan tahun ini menjadi titik pertemuan antara negara-negara, aktivis lingkungan, ilmuwan, dan kelompok masyarakat adat yang berjuang untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia yang makin terancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di balik kemeriahan acara, sejumlah perusahaan besar dari berbagai sektor juga aktif berpartisipasi. Korporasi-korporasi besar itu berusaha mempengaruhi arah perundingan agar tidak merugikan kepentingan bisnis mereka. Dari industri pertanian, farmasi, pestisida, hingga energi dan pertambangan, kehadiran mereka dalam konferensi ini bukan hanya sebagai pengamat, melainkan juga kekuatan lobi yang berusaha membentuk kebijakan lingkungan global sesuai dengan kepentingan korporasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu sorotan besar dalam COP16 CBD adalah keberadaan sejumlah perusahaan besar yang memiliki jejak kaki dalam kerusakan lingkungan, tapi berusaha tampil sebagai bagian dari solusi. Mereka, di antaranya perusahaan pertanian dan bioteknologi (misalnya CropLife International), perusahaan bahan bakar fosil (ExxonMobil, Shell), serta perusahaan farmasi besar (GSK), hadir dalam konferensi ini untuk mempengaruhi keputusan penting mengenai kebijakan perlindungan alam.
Lobi-lobi yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu mencakup berbagai bidang. Misalnya, kelompok perdagangan pestisida berusaha mengurangi pengaturan yang ketat terhadap penggunaan pestisida, yang makin dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan populasi serangga serta hewan penting, seperti lebah dan burung. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan pertambangan dan energi berusaha menepis tuntutan untuk memperketat regulasi kegiatan yang berpotensi merusak habitat alam dan memperburuk perubahan iklim.
Industri pertanian, salah satu kontributor terbesar hilangnya keanekaragaman hayati, turut hadir dalam konferensi dengan membawa agenda yang menguntungkan mereka. Asosiasi bisnis besar, seperti Konfederasi Industri Nasional Brasil (CNI) dan Dewan Bisnis Brasil untuk Pembangunan Berkelanjutan (CEBDES), berusaha mempertahankan praktik-praktik pertanian industri yang dinilai merusak lingkungan, sambil mengklaim bahwa mereka dapat berinovasi "mempromosikan pertanian berkelanjutan" tanpa mengubah praktik asosiasi secara fundamental.
Keberadaan mereka tidak berarti kesepakatan ini mengarah pada perubahan yang benar-benar substantif. Banyak kalangan menilai "intensifikasi berkelanjutan" hanyalah istilah yang digunakan untuk mendukung "bisnis seperti biasa", yang memungkinkan pertanian industri terus berlanjut tanpa komitmen nyata terhadap perlindungan keanekaragaman hayati.
Selain pertanian dan energi, sektor farmasi memainkan peran penting dalam lobi-lobi di COP16 CBD di Cali. Lobi industri ini memang begitu terasa, terutama dalam pembahasan data yang berasal dari sumber daya genetik atau digital sequence information on genetic resources (DSI).
Beberapa perusahaan besar, seperti GSK, serta kelompok perdagangan farmasi internasional menghadiri konferensi ini guna membahas masalah akses ke data genetik alam, yang sangat penting untuk penelitian dan pengembangan obat-obatan. Salah satu topik yang menjadi perdebatan adalah pengenaan pungutan atas keuntungan yang diperoleh dari akses terhadap informasi genetik alam, yang sebagian besar berada di tangan masyarakat adat dan negara-negara berkembang.
Pungutan 1 persen yang diusulkan untuk menghasilkan pendapatan bagi masyarakat adat yang menjadi penjaga alam itu ditentang keras perusahaan farmasi. Mereka mengklaim hal tersebut dapat merugikan bisnis perusahaan. Mereka menuntut agar kontribusi untuk perlindungan alam tetap bersifat sukarela, bukan kewajiban yang dapat mengurangi profitabilitas.
Di sisi lain, kelompok konservasi dan masyarakat adat mendesak agar kontribusi tersebut diwajibkan untuk memastikan kekayaan alam yang dieksploitasi dapat memberikan manfaat yang adil bagi mereka yang menjaga keberlanjutannya.
Keuangan dan Kompensasi Keanekaragaman Hayati
Sektor keuangan juga sangat tertarik pada diskusi dalam COP16 CBD, terutama terkait dengan pasar baru yang sedang berkembang, yaitu pasar kompensasi keanekaragaman hayati. Dalam sistem ini, perusahaan dapat membeli "kredit keanekaragaman hayati" untuk mengimbangi kerusakan yang mereka sebabkan di tempat lain. Gagasan ini menarik bagi banyak perusahaan besar yang berupaya menjaga citra keberlanjutan mereka tanpa harus mengubah praktik dasar perusahaan yang merusak alam.
Namun pendekatan ini mendapat kritik tajam dari banyak kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat. Mereka berpendapat bahwa kompensasi semacam ini bukanlah solusi yang memadai, melainkan hanya legitimasi terhadap praktik-praktik yang terus merusak alam. "Kompensasi keanekaragaman hayati hanya memberi jalan bagi perusahaan untuk terus merusak dengan sedikit atau tanpa konsekuensi," kata beberapa pengamat dari kelompok masyarakat sipil.
Beberapa bank global dan perusahaan ekuitas swasta juga tampak tertarik pada potensi pendanaan yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Namun banyak pihak yang skeptis dan mempertanyakan apakah kelompok keuangan swasta, yang didorong motif keuntungan, dapat benar-benar mendukung upaya pelestarian alam secara berkelanjutan. Lobi yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar itu tidak hanya terjadi di luar ruangan, tapi juga di dalam ruang-ruang negosiasi.
Beberapa perusahaan hadir sebagai bagian dari delegasi negara, yang memberi mereka akses langsung untuk mempengaruhi teks perundingan. Misalnya, delegasi Jepang dan Swiss dilaporkan datang bersama perwakilan dari sektor farmasi, yang berusaha melobi untuk melemahkan upaya pungutan terhadap penggunaan data genetik alam.
Dengan demikian, COP16 CBD tidak hanya menjadi ajang bagi negara-negara menyusun kebijakan lingkungan yang lebih baik, tapi juga sebagai arena bagi perusahaan-perusahaan besar mengarahkan hasil negosiasi ke arah yang lebih menguntungkan mereka. Keterlibatan sektor swasta, meskipun bisa membawa pendanaan dan inovasi, berisiko besar mengarah pada solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan hilangnya keanekaragaman hayati.
COP16 CBD di Cali menunjukkan betapa kuatnya pengaruh yang dapat dimiliki perusahaan-perusahaan besar dalam perundingan internasional mengenai perlindungan keanekaragaman hayati. Meskipun ada kemajuan menuju kesepakatan global yang lebih baik untuk alam, lobi-lobi yang dilakukan sektor swasta dapat menjadi ancaman untuk melemahkan komitmen tersebut.
Karena itu, sangat penting bagi negara-negara, masyarakat sipil, dan komunitas masyarakat adat menjaga suara mereka serta memastikan perlindungan alam tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan kesepakatan yang dicapai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.