Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pernyataan Johanis Tanak akan menghapus operasi tangkap tangan mendapat tepuk tangan DPR.
KPK bukan lagi komisi yang tugasnya memberantas korupsi.
Kepolisian dan kejaksaan belum siap menjadi pelopor pemberantasan korupsi.
KETIKA dicecar anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Johanis Tanak, calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2024-2029, dengan lantang menyebutkan akan menghapus operasi tangkap tangan yang dikenal dengan singkatan OTT. Semua anggota Komisi memberi tepuk tangan. Saat uji kelayakan dan kepatutan itu, Tanak sebenarnya sudah menjadi Wakil Pemimpin KPK. Ia ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo di tengah periode jabatan, menggantikan Lili Pintauli Siregar yang terkena kasus etik menonton balapan di Mandalika, Lombok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para wakil rakyat itu tampaknya riang gembira ketika mendengar kabar bahwa OTT akan dihapuskan. Maklum, DPR termasuk lembaga yang tingkat korupsinya tinggi. Mereka sangat cemas kalau korupsi yang mereka lakukan terungkap gara-gara OTT. Pernyataan Tanak itu dikecam para pegiat antikorupsi karena OTT punya “dampak kejut” bagi koruptor. Sebaliknya, wakil rakyat di Senayan justru senang bukan kepalang. Johanis Tanak akhirnya mendapat suara sempurna. Sebanyak 47 suara dia raih, paling tinggi di antara calon pemimpin KPK lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Tanak tak menjadi Ketua KPK karena suara terbanyak tidak otomatis mendapat jatah itu. Ketua harus dipilih tersendiri. Adalah Setyo Budiyanto yang terpilih sebagai Ketua KPK periode 2024-2029. Apa kelebihan tokoh ini? Hanya anggota DPR yang tahu, tapi tebakan umum adalah Setyo Budiyanto dari unsur kepolisian dengan pangkat komisaris jenderal. Polisi bintang tiga itu menjabat inspektur jenderal di Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian. Ketua KPK periode sebelumnya, Firli Bahuri, yang kini sudah menjadi tersangka tapi proses pengusutannya mandek, juga bintang tiga di Korps Bhayangkara. Adapun Tanak dari unsur kejaksaan.
Pada saat uji kelayakan dan kepatutan, Komjen Setyo juga ditanyai soal OTT. Menurut pendapat Setyo, OTT masih akan diterapkan, tapi sangat terbatas. Barangkali untuk menenteramkan masyarakat antikorupsi bahwa KPK masih “tetap galak”. Tapi apa ya masyarakat bisa diyakinkan kalau KPK kembali dengan muruahnya sebagai lembaga pemberantas korupsi yang patut diandalkan? Perlu pembuktian setelah KPK dilemahkan dengan undang-undang yang baru dan independensinya dirusak total oleh Presiden Joko Widodo. Prabowo Subianto sebagai presiden pengganti Joko Widodo memang “tetap galak” memberantas korupsi. Bahkan “sangat galak” sampai mau mengejar koruptor ke Antarktika. Namun galaknya itu masih terbatas pidato. Artinya masih “omon-omon”.
Apa yang akan terjadi dengan KPK setelah mendapat pimpinan yang baru ini? Banyak pihak yang menduga KPK bukan lagi komisi yang tugasnya memberantas korupsi, melainkan hanya komisi yang mencegah terjadinya korupsi. Hal ini terkait dengan alasan sejumlah petinggi—termasuk Johanis Tanak yang kini terpilih kembali sebagai pemimpin KPK—bahwa cara OTT itu bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penjelasannya panjang, tapi intinya adalah, ketika merencanakan OTT, para penyidik KPK pasti sudah mencium tanda-tanda terjadinya korupsi pada “korbannya”. Penyidik punya alat sadap yang memantau “korbannya” dengan tujuan akhir tangkap tangan. Nah, kenapa harus menunggu OTT yang “penuh drama” itu? Kenapa penyidik KPK tidak mencegah saja korupsi itu terjadi ketika tanda-tandanya sudah tercium? Istilah kerennya: kalau bisa dicegah, kenapa diberantas? Ini bisa menjadi perdebatan seru tanpa ujung.
Entahlah jika “Komisi Pencegahan Korupsi” lebih bermanfaat dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagi pihak yang setuju soal ini, KPK dengan P (pencegahan) nantinya berfokus bagaimana mencegah terjadinya korupsi, misalnya lewat digitalisasi yang kini banyak didengungkan. KPK akan ditugaskan untuk lebih banyak memikirkan hal itu. Adapun pihak yang memberantas korupsi dikembalikan kepada polisi dan kejaksaan. Bukankan KPK dibentuk karena polisi dan jaksa tidak siap pada masa lalu?
Masalahnya, apakah kepolisian dan kejaksaan kini sudah siap menjadi pelopor pemberantasan korupsi? Apakah instansi di bawah langsung presiden ini bisa independen serta tidak menjadi alat kekuasaan dan tak tebang pilih tergantung pesanan? Kasus Tom Lembong yang ditangani kejaksaan dan kasus Firli Bahuri yang ditangani kepolisian merupakan contoh kecil bagaimana instansi itu sesungguhnya belum profesional benar.
Ditunggu gerak langkah Presiden Prabowo dalam menangani bencana nasional korupsi ini. Tentu tak cuma lewat pidato.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo