Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lamban dan kacaunya distribusi kartu pintar untuk siswa miskin di Indonesia seharusnya tidak perlu terjadi jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cepat tanggap. Meski sudah berjalan lima tahun, pelaksanaan program unggulan Presiden Joko Widodo itu masih compang-camping. Akibatnya, jutaan murid sekolah kehilangan kesempatan belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai Desember tahun ini, Program Indonesia Pintar-nama resmi program pembagian kartu pintar-baru mencairkan 72,54 persen dari alokasi total anggaran sebesar Rp 8,46 triliun. Artinya, ada dana Rp 2,3 triliun yang mengendap di bank, yang seharusnya dibagikan kepada siswa-siswa berpotensi tapi tak punya uang untuk melanjutkan sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mengherankan jika angka putus sekolah di Indonesia tak menunjukkan perkembangan menggembirakan, meski program ini sudah lama diluncurkan. Survei Sosial-Ekonomi Nasional empat tahun lalu mencatat ada 5,3 juta anak usia 7-18 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah. Setahun kemudian, angkanya memang turun menjadi 4,6 juta anak, tapi jumlahnya masih amat signifikan. Fakta bahwa ada siswa tak bersekolah sebanyak itu di Indonesia sungguh memprihatinkan.
Padahal, jika dilaksanakan dengan baik, pembagian kartu pintar ini bisa mengatasi masalah anak putus sekolah tersebut. Apalagi, menurut data lembaga perlindungan anak dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNICEF, faktor ekonomi adalah alasan utama siswa putus sekolah. Anak-anak dari 20 persen keluarga termiskin hampir lima kali lebih mungkin untuk tidak masuk SD dan SMP, dibanding 20 persen dari keluarga terkaya.
Melalui program kartu pintar, siswa SD, SMP, dan SMA, dan yang sederajat bisa mendapat bantuan dana berkisar Rp 450 ribu sampai Rp 1 juta per tahun. Dengan uang itu, mereka bisa membeli buku, seragam, sepatu, dan peralatan sekolah.
Tapi lagi-lagi program yang bagus di atas kertas ini berantakan dalam pelaksanaannya. Buruknya pendataan siswa miskin di Kementerian Pendidikan-maupun Kementerian Agama yang mengatur pesantren dan madrasah-membuat siswa atau orang tua yang tidak aktif mendaftarkan diri tak bakal menerima kartu pintar. Ketidaktahuan publik ini diperburuk oleh minimnya sosialisasi dari pemerintah sendiri.
Kesalahan elementer semacam itu mengindikasikan tak adanya mekanisme evaluasi dan pengawasan yang baik. Di lain pihak, implementasi program kartu pintar juga terganjal oleh buruknya koordinasi antar-departemen soal pendataan peserta dan sosialisasi terhadap para penerimanya. Amburadulnya program ini menandakan ketidakseriusan para pembantu presiden menjalankan perintah atasannya.
Harapan kini ada di pundak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim. Sebagai pendiri dan eks pemimpin Gojek-sebuah perusahaan digital yang amat sukses-dia tentu memahami potensi solusi dari sektor teknologi untuk memecahkan masalah besar ini. Perbaikan mekanisme implementasi dari program ini akan sangat penting untuk mencegah masalah serupa terulang tahun depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo