Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Alarm dari Propagandis Teroris

Kehadiran propagandis Katibat al Tawhid wal Jihad tak boleh dianggap remeh. Perlu perubahan strategi melawan kelompok teror.

26 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi menangkap anggota Katibat al Tawhid wal Jihad yang terafiliasi dengan kelompok teror Usamah bin Ladin.

  • Masuknya propagandis kelompok teroris menjadi alarm bahaya bagi penegak hukum Indonesia.

  • Pemerintah gagal mencari akar persoalan penyebab suburnya pengikut kelompok terorisme.

MASUKNYA empat anggota kelompok Katibat al Tawhid wal Jihad ke Indonesia harus menjadi perhatian para penegak hukum. Apalagi jika kelompok yang terafiliasi dengan Al-Nusrah Front, organisasi sayap Al-Qaidah—organisasi yang didirikan Usamah bin Ladin—itu benar-benar bermaksud merekrut jihadis asal negeri ini. Meski empat orang itu baru mulai menyebarkan propaganda, kepolisian harus bersiaga penuh mencegah penyebaran ajarannya.

Empat pengelola media propaganda Katibat al Tawhid asal Uzbekistan datang melalui Kuala Lumpur secara bergelombang, pada awal dan akhir Februari lalu. Sebagian dari mereka ditengarai sempat menyebarkan propaganda sebelum ditahan di Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Utara. Mereka lantas kabur dan membunuh petugas Imigrasi serta anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Markas Besar Kepolisian RI. Tiga pelaku ditangkap polisi dan satu orang lainnya ditemukan tenggelam di Kali Sunter.

Kehadiran propagandis Katibat al Tawhid menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi ladang penyebaran benih terorisme oleh organisasi teror internasional. Sejumlah pengamat menyebutkan bahwa kelompok itu telah memiliki pengikut di Indonesia. Mereka juga menargetkan merekrut simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang berbeda ideologi dengan Al-Qaidah. Pola baru yang diungkap Densus 88 ini bisa saja berhasil jika para propagandis itu berhasil memikat orang-orang yang tertarik pada ideologi ekstrem dan menanti kesempatan berjihad di tengah keruntuhan ISIS di Timur Tengah.

Baca: Bagaimana Katibat al Tawhid wal Jihad membangun jaringan di Indonesia?

Densus 88 serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebaiknya mewaspadai potensi ancaman dari Katibat al Tawhid dan kelompok lain yang bergerak tanpa terdeteksi. Apalagi sejumlah kelompok teror telah bersalin rupa dengan menjadi lebih terbuka, seperti yang terjadi pada Jamaah Islamiyah (JI). Selama bertahun-tahun, sel-sel JI beranak-pinak dan terus berkonsolidasi. Mereka bahkan mendirikan lembaga amil zakat resmi untuk menghimpun dana umat.

Metamorfosis gerakan kelompok teror tersebut menandakan bahwa BNPT dan Badan Intelijen Negara (BIN) terbukti gagal mengantisipasi. Terbukti, anggota JI, Ahmad Zain, sempat enam tahun menyelusup ke Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebelum ditangkap pada pertengahan November 2021. Personel JI lainnya, Farid Okbah, bahkan menjadi Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia, kegiatan politik yang sebelumnya haram dilakukan oleh kader Jamaah Islamiyah.

Kelompok teroris bisa dengan mudah berkamuflase dan menarik simpati mereka yang "siap masuk surga" dengan membunuh sesamanya. Mereka bisa memanfaatkan berbagai celah yang selama ini dibiarkan berlubang oleh negara ini. Sebagian bekas teroris yang mengikuti program deradikalisasi BNPT, misalnya, hanya pura-pura tobat dan kemudian beraksi kembali. Bahkan Aman Abdurrahman, pentolan Jamaah Ansharud Daulah yang terkoneksi dengan ISIS, diduga bisa menyebarkan ajarannya meski ditahan di Nusakambangan.

Baca: Banyak Nama Katibat al Tawhid

Tanpa kemampuan mendeteksi perubahan gerakan kelompok teroris, BNPT dan Densus 88 hanya akan menghadapi lingkaran setan yang terus berulang. Sedangkan hulu persoalannya tak pernah tersentuh. Akar terorisme tak melulu menyangkut fanatisme agama. Ia bisa tumbuh akibat kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum, atau pemerintahan yang represif. Maka, program deradikalisasi yang tidak mumpuni atau melalui penindakan dengan timah panas saja tak akan ampuh membabat radikalisme.

Pemerintah sebaiknya merangkul banyak kalangan untuk mensosialisasi kehidupan beragama yang lebih inklusif. Nilai-nilai toleransi dan pluralisme harus terus dicekokkan kepada murid di semua sekolah. Berbagai persoalan, seperti pelarangan atau pemaksaan penggunaan jilbab, tak boleh lagi berulang dan pelakunya harus mendapat hukuman. Pembiaran terhadap persoalan yang terkesan remeh itu hanya akan membuat bibit radikalisme tumbuh subur dan memberi karpet merah bagi kelompok seperti Katibat al Tawhid wal Jihad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus