Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Salah Kaprah Instruksi Menteri Tito

Instruksi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada gubernur dan bupati tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 semakin menabalkan bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan politik.

20 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anies Baswedan saat tiba di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, 17 November 2020. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Instruksi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kepada gubernur dan bupati tentang penegakan protokol kesehatan untuk pengendalian penyebaran Covid-19 semakin menabalkan bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan politik dalam mengatasi bencana kesehatan ini. Aturan yang diteken pada Rabu, 18 November lalu, yang berlandaskan arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas dua hari sebelumnya, itu tidak sepenuhnya menjawab beragam persoalan Covid-19 yang masih membelit Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apalagi nuansa politis di balik instruksi tersebut semakin mencuat karena berdekatan dengan pemeriksaan polisi terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait dengan kerumunan hajatan pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab. Polisi menengarai ada pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang sanksinya berupa hukuman 1 tahun penjara dan/atau denda Rp 100 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah Anies membiarkan kerumunan, bahkan berjumpa dengan Rizieq, jelas keliru. Sebagai kepala daerah, dan saat pemerintah sedang pontang-panting berkampanye soal protokol kesehatan, dia semestinya memberi contoh yang benar. Sanksi Rp 50 juta yang dijatuhkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap Rizieq hanya sebagai pemanis. Meski demikian, pelanggaran atas sanksi itu mesti merunut pada undang-undang. Tidak boleh ujug-ujug membuat instruksi berisi ancaman pemecatan, seperti yang pernah berlaku pada era Orde Baru.

Instruksi tersebut memberi kesan hanya menjadi alat untuk menakut-nakuti tanpa landasan hukum kuat. Bidikan itu tertera pada beberapa bagian instruksi yang ditulis tebal untuk menegaskan pesannya. Metode seperti ini tidak lazim dalam penulisan surat resmi dalam pemerintahan. Salah satu kata yang ditebalkan adalah “diberhentikan”, mengutip Pasal 78 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, alasan diberhentikannya seorang kepala daerah turut ditebalkan.

Aturan tersebut hanya mencocokkan kesalahan apa yang bisa dicari dari kepala daerah dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Tak ada catatan konteks dan proses penggunaan pasal pemakzulan itu. Undang-Undang Pemerintahan Daerah juga secara jelas mengatur prosedur pemakzulan kepala daerah, dari penentuan sikap dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) hingga mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk memeriksa duduk perkaranya. Beranjak dari putusan Mahkamah Agung itu, DPRD menindaklanjuti permohonan pemberhentian kepala daerah kepada presiden bagi gubernur, serta Menteri Dalam Negeri untuk bupati dan wali kota.

Walhasil, harapan bahwa instruksi Menteri Tito bisa menjadi solusi efektif mengatasi penyebaran Covid-19 di Tanah Air hanya akan menjadi panggang yang jauh dari api. Sebab, politik kekuasaan kembali lebih dominan ketimbang keselamatan masyarakat.

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus