Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ancang-ancang Ibu Presiden

10 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana memilih presiden yang bermutu? Wacana untuk menjawab pertanyaan ini sedang menjadi topik hangat bagi segelintir politikus di Indonesia. Rupanya, bagi mereka, tiga tahun sebelum pemilihan berlangsung adalah waktu yang tepat untuk mulai mengelus kandidat masing-masing. Umumnya para ketua umum partailah yang dijagokan.

Golkar, misalnya, menggadang Aburizal Bakrie; Partai Amanat Nasional memunculkan Hatta Rajasa; Gerindra mempromosikan Prabowo Subianto; Hanura menyorong Wiranto; Partai Persatuan Pembangunan mencuatkan Suryadharma Ali; dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masih nyaring menyuarakan Megawati.

Yang tidak umum justru muncul dari partai terbesar, Demokrat. Nyaris tak terdengar suara yang menjagokan ketua umumnya, Anas Urbaningrum. Yang ramai diusulkan justru Ibu Negara Kristiani Herrawati atau lebih populer disebut Ibu Ani. Putri Jenderal Sarwo Edhie ini oleh para penggagasnya dianggap paling pas untuk menggantikan sang suami, yang tak mungkin lagi mencalonkan diri karena sudah menjabat dua periode.

Pencalonan ini segera menuai kontroversi. Para pengkritik langsung melontarkan tuduhan: keluarga Susilo Bambang Yudhoyono sedang membangun dinasti politik. Bukan tuduhan yang sama sekali tanpa dasar. Daftar nama pendiri dan pengurus Partai Demokrat memang banyak diisi nama kerabat SBY. Bahkan Edhie Baskoro, putra bungsu SBY, adalah sekretaris jenderal partai berjaket biru ini.

Kalaupun tuduhan ini benar, keluarga Yudhoyono bukanlah yang pertama melakukannya. Megawati Soekarnoputri, putri Presiden Indonesia pertama, sudah lebih dulu memeloporinya. Suami dan putri Presiden RI keenam ini adalah pejabat teras di PDIP. Mendiang Soeharto bahkan lebih awal lagi. Semua putra-putrinya menjadi petinggi Golkar, bahkan yang sulung sempat diangkat menjadi menteri.

Karier politik juga sedang dirintis Yenny Wahid, putri Presiden RI keempat yang baru saja mendeklarasikan partai politik baru, pecahan dari Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan ayahnya dan sekarang dipimpin Muhaimin, masih kerabatnya juga. Walhasil, keluarga B.J. Habibie, yang sempat menjadi Presiden Indonesia ketiga, mungkin satu-satunya keluarga mantan Presiden RI yang tak terlihat tertarik membangun dinasti politik.

Kecenderungan para pemimpin politik membangun dinasti tak hanya di pusat pemerintahan. Di berbagai daerah, semakin banyak gubernur dan bupati yang melakukan hal serupa. Anak atau istri yang meneruskan jabatan bupati sudah ada beberapa, padahal reformasi baru berusia 12 tahun. Demikian juga semakin maraknya hubungan keluarga di antara pejabat politik di daerah menunjukkan keinginan membangun dinasti politik sudah menggejala.

Pertanyaannya kemudian adalah apa dampak gejala ini bagi kesehatan demokrasi negara kita.

Jawabnya tak mudah, tapi bukan tak mungkin dicari. Salah satu cara memperolehnya adalah dengan melihat pengalaman di negara lain. Sebab, terbangunnya dinasti politik memang tak hanya terjadi di negara otoriter, seperti Korea Utara, Suriah, dan Kuba, tapi juga di negeri yang menjalankan demokrasi.

Dan jika global benchmarking ini dilakukan, kesimpulannya ternyata cenderung negatif. Di Amerika Serikat, misalnya, dua anak presiden yang menjadi kepala negara—John Quincy Adams dan George W. Bush—boleh dikata masuk kategori gagal atau setidaknya tidak kinclong. Kategori yang sama ditempati juga oleh Maria Gloria Macapagal-Arroyo di Filipina dan Evita Peron di Argentina.

Bahkan, di beberapa negara, seperti Pakistan dan Bangladesh, persaingan dinasti politik dua keluarga menjadi sumber ketidakstabilan politik. Adapun yang tidak dapat dikatakan negatif adalah kinerja dinasti Nehru di India dan dominasi tiga dinasti politik di Yunani. Namun, untuk mengkategorikan mereka berkinerja kinclong pun rasanya sulit.

Kendati mungkin terlalu dini untuk dinilai, kesan prestasi tak istimewa juga tersirat dari kinerja Presiden Cristina Fernandez de Kirchner yang menggantikan suaminya di Argentina, ataupun dari Benigno Simeon Cojuangco Aquino III, putra Cory Aquino yang baru dilantik menjadi Presiden Filipina.

Jadi, mengharapkan jaminan kualitas kenegarawanan dari kandidat yang berasal dari dinasti politik kelihatannya tak didukung data empiris. Bahkan, bila tak hati-hati, dapat menyebabkan sistem politik terdominasi hanya oleh beberapa keluarga. Karena itu, untuk menghindari munculnya ancaman oligarki politik, rakyat Indonesia dianjurkan mengingat kembali alasan utama mengapa Indonesia didirikan dalam bentuk republik.

Republik pada intinya adalah sistem kenegaraan yang memberi kesempatan yang sama kepada setiap warga menjadi pemimpin. Gagasan ini lahir sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan sistem monarki dan sistem nondemokratik lainnya, yang membuat kesempatan menjadi pemimpin sebuah bangsa hanya tersedia pada satu gelintir elite warganya.

Membangun dinasti politik, karena itu, mungkin adalah hak demokratis yang tak bisa dilarang tapi sebenarnya tak selaras dengan semangat demokrasi. Halal tapi tak menyehatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus