Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK gampang membunuh gerakan radikal di negara ini. Kelompok semacam Jamaah Islamiyah atau mereka yang kini menamakan diri Tanzim al-Qaidah di Aceh bisa merekrut anggotanya dari mana saja. Bahkan sel penjara bisa menjadi tempat yang nyaman buat menyemaikan paham mereka.
Kisah Gema Awal Ramadhan merupakan satu contoh jelas. Dia ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiterorisme dua pekan lalu di Aceh. Lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri ini dihukum satu setengah tahun karena ikut menganiaya adik kelasnya, Wahyu Hidayat, hingga tewas. Di Penjara Sukamiskin, ia mengikuti ceramah Aman Abdurrahman, terpidana kasus bom Cimanggis 2004. Dalam sekejap, ia berubah menjadi puritan. Ia menolak bertemu dengan ibunya, seorang pegawai negeri, yang ia anggap sebagai thaghut, setan besar. Setelah bebas, ia bergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di Aceh.
Sistem pemenjaraan di negeri ini terbukti tak mangkus mematikan paham para terpidana terorisme. Sebagian tersangka yang ditangkap di Aceh adalah ”mantan” terpidana kasus terorisme. Mereka bergabung kembali, membentuk kelompok baru, dan melakukan kegiatan yang sama. Bukan cerita baru bila beberapa terpidana di dalam bui pun leluasa berkomunikasi dengan kelompok mereka di luar penjara.
Dari para tersangka yang ditangkap, diketahui setidaknya ada dua pola besar perekrutan. Pertama, hubungan kekerabatan. Keluarga Ali Ghufron dengan dua adiknya, Amrozi dan Ali Imron, merupakan contoh paling jelas. Mereka terlibat pengeboman Bali, 12 Oktober 2001. Ghufron dan Amrozi dihukum mati dan Ali menjalani hukuman seumur hidup.
Pola perekrutan kedua dilakukan melalui hubungan guru dan murid. Kelompok taklim di Lampung yang kini bergabung dengan kelompok di Aceh bisa disebut sebagai misal. Sejumlah tersangka dalam kasus lain direkrut guru mereka di Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebagian anggota kelompok bisa juga direkrut karena hubungan pertemanan.
Dengan pola seperti itu, disokong beredar luasnya aneka media penyebar radikalisme, paham ini sulit dimatikan. Video seruan jihad bisa gampang didapat di lapak kaki lima hingga Internet. Guru-guru penyeru radikalisme juga bebas berceramah di mana saja. Janji ”kepastian” masuk surga ternyata laku dijual sebagai daya tarik. Jalannya pun sungguh ideal, ”membersihkan negeri dari sistem yang kufur dan batil”. Para ideolog kelompok ini menawarkan negeri impian, tempat ”tidak ada televisi yang merusak akhlak dan menjerumuskan anak-anak kita”.
Maka, ada dua pekerjaan besar yang bisa dilakukan untuk menangkal paham itu agar tak tumbuh membesar. Pertama, aksi-aksi penawar radikalisme perlu digiatkan. Tak cukup dengan mencetak banyak-banyak buku atau video tandingan yang dilakukan pemerintah, masyarakat perlu dilibatkan. Kampanye tentang bahaya radikalisme, seperti halnya gerakan antinarkotik bisa dilakukan. Keluarga sebagai komunitas masyarakat terkecil mesti berperan mempertebal toleransi dan bersedia menerima perbedaan, agar ideologi tidak ditafsirkan secara sempit—dan akhirnya berakibat destruktif.
Pekerjaan besar kedua, ini harus dilakukan pemerintah, yakni merumuskan rehabilitasi yang tepat bagi para terpidana kasus terorisme. Polisi selama ini melakukan program deradikalisasi, antara lain dengan menyokong ekonomi mereka. Tapi itu tak cukup, terutama karena sebagian besar terpidana menolak bantuan polisi, yang mereka sebut thaghut.
Polisi mencatat telah menangkap 452 tersangka kasus terorisme sejak 2000-an. Ratusan terpidana kini masih menjalani masa hukuman di sejumlah penjara. Hal utama yang harus dilakukan adalah memastikan penjara tidak menjadi ”pesantren” baru buat memperpanjang barisan kelompok radikal. Sungguh tak masuk akal seorang terpidana teroris dibiarkan memiliki delapan telepon seluler dan bebas berkomunikasi dengan jaringannya. Ada pula terpidana yang leluasa berceramah melalui telepon, lalu disiarkan melalui pengeras suara di tempat pengikutnya.
Badan Penanggulangan Terorisme yang akan dibentuk pemerintah semestinya berperan besar dalam proses pelunturan radikalisme ini. Badan bisa melibatkan, misalnya, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial, juga psikolog untuk melakukannya. Melibatkan ”teman sepaham” untuk membantu deradikalisasi, seperti dilakukan polisi yang menggunakan sesama alumni Afganistan, tak haram dilakukan sepanjang bisa dikontrol.
Gerakan radikal tak mungkin dibunuh sama sekali, terutama di negeri penuh celah hukum seperti Indonesia. Apalagi penyebaran paham ini jauh melampaui batas-batas negara. Tertangkapnya warga negara asing atau aliran dana dari negara lain merupakan bukti nyata. Tak ada jalan lain. Pemerintah, juga kita semua, perlu terlibat dalam usaha menangkal paham radikal, agar tak membesar dan meneror kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo