Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sepi Siaran di Hari Nyepi

Karena dilarang, stasiun radio dan televisi ”tiarap” siaran di Bali pada saat perayaan Nyepi. Bentuk lain intervensi negara dalam urusan agama.

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANGAT disayangkan jika tak ada yang mengkritik keras larangan siaran bagi radio dan televisi pada saat hari raya Nyepi di Bali pekan lalu. Larangan itu bukan cermin keindonesiaan. Dari kasus itu, bisa jadi akan ada kelompok masyarakat lain yang berusaha membawa urusan agama yang bersifat privat ke tataran publik. Bila hal itu diakomodasi, negara ini bisa punya daftar panjang pemaksaan terhadap setiap orang untuk bukan saja menghormati, melainkan juga ikut mengalami ritual perayaan agama mana pun.

Pemaksaan, dengan alasan apa pun dan dari posisi mana pun, adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip toleransi dan keberagaman. Juga bertolak belakang dengan semangat konstitusi negara ini bahwa agama adalah urusan pribadi (privat), yang dipisahkan dari urusan negara. Jika harus disebut, larangan siaran di Bali merupakan wujud sektarianisme. Lebih substansial, hal itu justru mencerminkan kedangkalan dalam memahami agama.

Dalam Hindu, Nyepi merupakan perayaan pergantian tahun Saka. Pada saat itu, umat Hindu wajib melaksanakan catur-brata penyepian, yakni pantang menyalakan api, pantang bekerja, pantang bersenang-senang, dan pantang bepergian. Selama sehari penuh, dalam kesenyapan dan puasa total, umat Hindu merenung, membersihkan diri. Tujuannya tak lain adalah perbaikan hidup perorangan.

Pengekangan diri itu mestinya datang dari hati orang per orang. Mematikan listrik, tidak bekerja, menghindari hiburan, tidak keluar dari rumah, semuanya terpulang pada pribadi atau dilakukan atas inisiatif sendiri. Tidak perlu komando. Perusahaan listrik, misalnya, tak perlu mematikan arus dari pusat. Begitu pula stasiun radio dan televisi, mereka bisa tetap siaran. Memaksakan pemutusan arus, penghentian siaran, dan yang lainnya, bukan saja menafikan prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab atas hubungannya dengan Tuhan. Tindakan itu pun menabrak kepentingan orang lain yang bukan penganut Hindu.

Walau tak terdengar ada keluhan, benturan itulah yang terjadi sehubungan dengan larangan siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali. Komisi, yang mengaku bertindak atas dasar masukan dari masyarakat dan rekomendasi Gubernur Bali, telah menerjang hak warga non-Hindu. Ini merupakan keputusan inkonstitusional karena telah menjadikan hal-ihwal pelaksanaan ritual agama sebagai urusan negara. Untuk memastikan adanya ketaatan, Komisi bahkan menjadikannya sebagai indikator penilaian bagi stasiun televisi yang sedang meminta izin stasiun berjaringan.

Dengan larangannya itu, disadari atau tidak, Komisi Penyiaran Bali telah menjadikan diri sebagai alat dari kelompok yang mengatasnamakan agama untuk mengintervensi ruang publik. Komisi sesungguhnya telah mengabaikan kenyataan bahwa negara ini tidak didirikan berdasarkan agama—prinsip yang seharusnya berlaku di mana pun di wilayah negara ini.

Bali memang berpenduduk mayoritas penganut Hindu. Tapi mayoritas tak berarti seluruhnya. Dan tak serta-merta berarti privilese. Seperti di wilayah lain, di Bali juga ada pendatang, turis asing, atau penduduk beragama lain. Kita tentu tak ingin provinsi lain yang bagian terbesar penduduknya muslim, dan karena itu merasa istimewa, melarang aneka hal bagi umat agama lain pada saat Ramadan, misalnya. Seharusnya Komisi Penyiaran Bali menyadari hal ini dan justru ikut mencegah kemungkinan timbulnya daftar pemaksaan yang berkaitan dengan agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus