Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Setelah Pembubaran Jamaah Islamiyah

Deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah merupakan kabar baik, tapi perlu strategi lanjutan untuk mencegah munculnya jaringan baru.

1 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada kalangan yang mengaitkan pembubaran diri JI ini dengan keberhasilan pendekatan lunak Detasemen Khusus 88 Mabes Polri.

  • Penangkapan aktor-aktor utama organisasi teror juga memberi andil tidak kalah penting dalam proses degradasi itu hingga terjadinya deklarasi pembubaran JI.

  • Beberapa kalangan sangsi akan 'ketulusan' pembubaran JI.

HASIL kesepakatan majelis para senior dengan para pemimpin lembaga pendidikan pondok pesantren yang berafiliasi dengan Al Jamaah Al Islamiyah menyatakan pembubaran Al Jamaah Al Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Republik Indonesia…”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan itu diucapkan Abu Rusydan, dengan didampingi 15 tokoh Jamaah Islamiyah (JI), dalam video pembacaan ikrar pembubaran organisasi mereka yang tersebar pada awal Juli 2024. Ikrar tersebut belakangan diketahui dilaksanakan pada 30 Juni 2024 di Hotel Lorin, Sentul, Bogor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abu Rusydan adalah tokoh senior JI anggota majelis di markaziyah yang memilih pemimpin (amir) seperti Abu Bakar Al Baasyir. Tidak ada tampilan menyeramkan dan “dalam tekanan” para tokoh yang dikenal sebagai pimpinan utama JI saat membacakan ikrar itu.

Ada kalangan yang mengaitkan pembubaran diri JI ini dengan keberhasilan pendekatan lunak Detasemen Khusus 88 Mabes Polri. Sidney Jones, yang sering dikutip pendapatnya dalam kajian terorisme, memandang pembubaran JI berhubungan dengan “penyelamatan” aset. Peneliti lain mengatakan pembubaran JI merupakan upaya menyembunyikan strategi.

Terlepas dari itu semua, ada fakta bahwa pemandu arah organisasi JI, seperti halnya organisasi teroris lain yang berbasis ideologi kekerasan berlandaskan nukilan ajaran agama, mengalami degradasi tajam. Al-Qaidah dan ISIS yang makin rontok akibat perpecahan dan terus digempur perlawanan dari berbagai kalangan diduga turut serta di dalam terdegradasinya organisasi-organisasi teroris di berbagai negara.

Di Indonesia, selain JI, Jamaah Ansharud Daulah (JAD) juga melemah. Di samping itu, peristiwa Arab Spring yang mengusung ide demokratisasi juga “berhasil” membuat perubahan di negara-negara sumber arah organisasi teror seperti JI dan JAD.

Penangkapan aktor-aktor utama organisasi teror juga memberi andil tidak kalah penting dalam proses degradasi itu hingga terjadinya deklarasi pembubaran JI. Aktor-aktor ini sebelumnya banyak berasal dari organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian bertransformasi menjadi JI dan JAD dan berbagai varian organisasi teroris lain.

Efektivitas Regulasi dan Kritik Internal

Penulis melihat peristiwa pernyataan pembubaran JI merupakan titik puncak kritik besar dan tajam yang justru dilakukan oleh Abu Rusydan terhadap doktrin organisasinya sendiri. Doktrin JI disimbolkan dengan sebutan doktrin 642, yang setara dengan Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI), Total Amniyah Total Solusi, dan Strategi Tamkin Jamaah Islamiyah (Strataji).

Dari doktrin-doktrin itulah, peristiwa Bom Bali I (2002), Bom JW Marriot (2003), bom di Kedutaan Besar Australia (2004), Bom Bali II (2005), dan Bom Ritz-Carlton (2009) terjadi. Peristiwa-peristiwa itu juga yang membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada 2002. Kemudian, pada 2003, terbit Undang-Undang Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian direvisi pada 2018.

Kita bersyukur bahwa hasil dari revisi pada 2018 berbuah pada nihilnya aksi terorisme di Indonesia pada 2023. Seiring dengan perubahan peraturan pemberantasan terorisme, evolusi penindakan pun terjadi. Jika mengacu pada peraturan di era 2002-2003, aparat penegak hukum hanya diberikan kewenangan pasca-aksi terorisme.

Aturan lama itu berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 2018, di mana aparat penegak hukum dapat melakukan pencegahan secara dini tanpa perlu lagi menunggu aksi terorisme terjadi. Meski demikian, undang-undang itu masih memiliki kelemahan dalam mengatasi problem penyebaran ideologi ekstrem, terorisme siber, dan pendanaan terorisme.

Dalam konteks pencegahan dini inilah, pendekatan lunak dari Densus 88 dapat dijalankan, sehingga dapat menggerakkan tokoh JI untuk mempertanyakan, bahkan mengkritik, doktrin JI dari dalam. Penanganan terorisme dari sisi penguatan regulasi yang diikuti dengan penindakan, kontra-radikalisme, dan deradikalisasi memberikan implikasi serius dengan makin tersudutnya kelompok ekstrem-teroris.

Menjawab Keraguan Publik

Banyak pihak masih ragu akan pembubaran JI yang terjadi tiba-tiba dan diglorifikasi. Beberapa kalangan sangsi akan “ketulusan” pembubaran JI dengan mengaitkannya kepada berbagai hal, dari pengamanan aset lembaga pendidikan hingga strategi taqiah (pengelabuan). Karena itu, penting untuk melakukan pengawalan lanjutan setelah pernyataan pembubaran dideklarasikan.

Sebagai wujud “ketulusan” pembubaran organisasi, para senior JI yang mendeklarasikan pembubaran perlu memastikan ketaatan para pengikutnya dari level markaziyah (pusat) hingga thoifah (akar rumput). Penulis mencatat empat hal penting ihwal hal ini.

Pertama, mereka perlu melakukan konsolidasi pembubaran sehingga memperkecil kemungkinan munculnya "sempalan" JI, sebagaimana para pendahulunya terbagi dalam beberapa faksi. Tokoh senior JI perlu melakukan dialog bersama mengantisipasi kemungkinan kelompok sempalan yang demikian.

Kedua, sebagaimana juga dinyatakan di dalam deklarasi pembubaran JI ihwal lembaga pendidikan “kader”, maka penting bagi tokoh JI untuk memastikan revisi kurikulum lembaga pendidikan yang terafiliasi dengannya. Revisi kurikulum ini juga perlu melibatkan pihak lain, baik dari sisi perencanaan, pembuatan kembali, maupun memastikan implementasinya. Kurikulum yang dimaksudkan bukan hanya yang formal tertulis, tapi juga aktivitas pendidikan harian yang biasa terjadi di pesantren (hidden curriculum).

Selanjutnya, para tokoh deklarator pembubaran JI juga perlu menyusulkan deklarasi aset-aset lembaga pendidikan dan lainnya yang dimiliki atau terafiliasi dengannya. Deklarasi ini juga termasuk aset-aset yang mungkin didanai melalui mekanisme pendanaan terorisme. Hal ini penting agar pemerintah dapat melakukan pembinaan yang tepat terhadap aset-aset tersebut sesuai dengan mekanisme yang tersedia.

Keempat, para tokoh deklarator pembubaran JI perlu memastikan bahwa proses resosialisasi terjadi di semua lini, dari markaziyah hingga thoifah. Resosialisasi ini bisa dilakukan dengan mendorong mantan aktivis, pendukung, simpatisan, dan afiliasinya untuk bergabung bersama organisasi-organisasi keagamaan yang selama ini komitmen dengan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan. Proses resosialisasi ini sering terhambat karena para mantan anggota kelompok teroris ini lebih senang berada di dalam inner group-nya.

Berdasarkan hemat penulis, setelah JI dibubarkan, negara juga perlu merumuskan strategi komprehensif agar tidak mengulangi praktik penanganan organisasi terlarang yang sebelumnya. Deradikalisasi berkelanjutan sebagai sebuah upaya menurunkan atau menghilangkan pemahaman radikal-terorisme sebagaimana diatur dalam regulasi mutlak diperlukan. Kerangka acuan deradikalisasi bagi eks anggota, simpatisan, dan pendukung JI perlu dirumuskan secara tepat.

Dalam jangka panjang, strategi deradikalisasi tersebut haruslah dilengkapi dengan instrumen penilaian, baik dalam konteks pemikiran maupun dalam konteks reintegrasi dan resosialisasi. Instrumen penilaian ini penting agar observasi atas penurunan pemikiran radikal-teror dan ekstrem dapat dilihat dengan cara-cara obyektif, dengan kehati-hatian, dan dalam banyak hal mengesampingkan dinamika relasi-emosional antara petugas deradikalisasi dan mitra deradikalisasi. 

Penegakan hukum terhadap setiap orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme perlu dilakukan dalam proses peradilan yang fair sesuai dengan kesalahan yang diperbuat berdasarkan aturan hukum yang adil. Aparat penegak hukum perlu menginventarisasi daftar anggota eks JI yang terlibat dalam aksi terorisme hingga saat ini sesuai dengan kategori keterlibatannya.

Hal yang tak kalah penting adalah pengembangan strategi dan konsep deradikalisasi dalam pemberantasan terorisme. Konsep pelembagaan deradikalisasi yang mungkin kita bisa modifikasi sebagaimana dilakukan oleh Amerika Serikat melalui Department of Homeland Security (DHS). 

Lembaga tersebut mengembangkan sistem fusi center sebagai wahana untuk optimalisasi pengumpulan data, analisis dan pertukaran informasi terkait dengan ancaman teroris di dalam negeri. Dalam hal terkait dengan pembinaan, deradikalisasi, hingga pembagian tugas antar-lembaga, tampaknya model demikian sangat diperlukan, sehingga masing-masing lembaga bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya serta tidak tumpang tindih.

Pada akhirnya, kita sebagai bangsa seharusnya sadar bahwa penanganan masalah terorisme dengan segala dinamikanya menjadi tantangan ke depan. Transformasi atau alih bentuk berbagai organisasi ekstrem dan teror haruslah dibarengi dengan penanganan yang tepat dan berkelanjutan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus