Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Badan perencanaan pembangunan daerah yang menyusun perencanaan ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim kerap menghadapi banyak tantangan.
Keselarasan antara kebijakan pusat dan daerah kerap belum optimal sehingga menyebabkan implementasi tidak berjalan efektif.
Kebijakan fiskal daerah juga lebih sering mementingkan proyek jangka pendek untuk hasil cepat dan mengabaikan kebutuhan perencanaan jangka panjang yang ramah lingkungan.
PEMILIHAN kepala daerah atau pilkada serentak telah selesai digelar pada 27 November 2024. Euforia kemenangan pasangan calon kepala daerah terasa di banyak tempat—meskipun kita masih menanti hasil penghitungan manual Komisi Pemilihan Umum. Namun euforia itu jangan sampai melupakan agenda penting: agenda pembangunan daerah ke depan, terutama yang berwawasan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selesainya pilkada sejatinya menandai rampungnya dokumen rancangan teknokratik rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) pemerintahan sebelumnya. Rancangan teknokratik itu bebas nilai. Artinya, siapa pun kepala daerah yang terpilih harus melihat data dan fakta wilayahnya dalam dokumen itu. Masalahnya, tidak semua pemangku kepentingan memahami urgensi atau dampak jangka panjang perubahan iklim sehingga dukungan politik untuk perencanaan ramah lingkungan sering kurang kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan teknokratik RPJMD harus dibuat dengan metode dan kerangka berpikir ilmiah serta mengacu pada kondisi teknis pembangunan daerah, setidaknya sampai akhir tahun periode RPJMD sebelumnya. Rancangan ini akan menjadi acuan dalam penyusunan RPJMD serta bahan untuk merumuskan visi, misi, dan program prioritas kepala daerah. Penyusunan kerangka RPJMD biasanya dimulai setelah bupati/wali kota definitif terpilih dan dilantik.
Perencanaan pembangunan daerah saat ini dititikberatkan untuk memberi perhatian lebih pada aspek lingkungan dan keberlanjutan. Namun membuat perencanaan daerah yang ramah lingkungan sekaligus menjawab tantangan untuk menghadapi dampak perubahan iklim merupakan tugas kompleks karena melibatkan banyak aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Nah, di sinilah persoalannya. Badan perencanaan pembangunan daerah yang menyusun perencanaan ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim kerap menghadapi banyak tantangan. Perubahan iklim merupakan isu kompleks yang membutuhkan pemahaman multidisiplin, yang mungkin sulit bagi tim perencana di tingkat daerah tanpa dukungan teknis memadai. Ketidakpastian dampak perubahan iklim di masa depan juga membuat perencanaan jangka panjang menjadi lebih rumit.
Isu lingkungan dan perubahan iklim juga melibatkan berbagai sektor. Namun koordinasi antardinas yang berkepentingan sering terjalin lemah. Badan perencanaan juga kerap kesulitan menyinkronkan berbagai kepentingan dan kebutuhan sektor-sektor ini. Selain itu, keselarasan antara kebijakan pusat dan daerah sering belum optimal sehingga menyebabkan implementasi tidak berjalan efektif.
Dari sisi sumber daya, banyak badan perencanaan pembangunan daerah yang punya keterbatasan tenaga kerja ahli di bidang lingkungan, perubahan iklim, atau perencanaan berbasis data. Pelatihan teknis mengenai isu keberlanjutan atau mitigasi perubahan iklim masih minim sehingga kapasitas internal kurang berkembang.
Dengan berbagai keterbatasan itu, data tentang lingkungan dan perubahan iklim di tingkat daerah sering tidak lengkap atau kurang diperbarui. Alat atau sistem pendukung untuk menganalisis data juga sering tidak memadai sehingga perencanaan berbasis data dan bukti sulit dilakukan.
Dari sisi anggaran, prioritas anggaran untuk badan perencanaan pembangunan daerah kerap dialokasikan untuk perencanaan umum dibanding difokuskan pada isu lingkungan dan perubahan iklim. Kebijakan fiskal daerah juga lebih sering mementingkan proyek jangka pendek untuk hasil cepat dan mengabaikan kebutuhan perencanaan jangka panjang yang ramah lingkungan. Pembangunan di banyak daerah masih berfokus pada ekonomi atau infrastruktur tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan secara memadai.
Untuk menjawab berbagai tantangan itu, organisasi kami, Traction Energy Asia, berinisiatif memberikan pendampingan, di antaranya, di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur; Aceh Tamiang dan Gayo Lues, Aceh; Morowali, Sulawesi Tengah; dan Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Dari pengalaman mendampingi pemerintah daerah, ada beberapa pelajaran yang kami peroleh karena setiap kabupaten memiliki tantangan tersendiri dalam membuat rancangan teknokratik.
Trenggalek, misalnya, termasuk kabupaten yang cukup progresif dalam membuat rancangan teknokratik rendah karbon. Sebab, kabupaten ini menjadi salah satu daerah yang paling terkena dampak perubahan iklim. Sektor pertanian—sebagai potensi utama Trenggalek—sangat bergantung pada ketersediaan air tanah, yang selebihnya bertumpu pada curah hujan dan kemampuan tanah menyerap air.
Karena itu, alih-alih menggunakan diksi "berkelanjutan" atau "lestari" tanpa indikator terukur, Trenggalek memilih mencanangkan visi pembangunan yang nyata dan terukur. Mereka menyematkan judul: mewujudkan kabupaten net zero carbon, berpendapatan tinggi, dan berdaya saing kolektif.
Berbeda persoalannya dengan Morowali. Wilayah ini kadung menjadi bagian proyek strategis nasional (PSN) tambang dan smelter nikel. Rancangan teknokratik daerah ini seharusnya dirancang sebagai strategi agar Morowali dapat tumbuh tanpa tergantung tambang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Maret 2023, tingkat kemiskinan di Morowali mencapai 12,31 persen, di atas rata-rata nasional yang sebesar 9,36 persen. Artinya, kehadiran perusahaan tambang tidak menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan. Ekonomi regeneratif atau ekonomi yang tidak berbasis ekstraktif masih bisa dilakukan. Hal ini akan menjadi modal masa depan daerah seandainya kontrak industri pertambangan selesai.
Kabupaten-kabupaten di Indonesia seharusnya mempunyai kontribusi besar dalam mendorong program pembangunan rendah karbon dan mencapai target nasional nihil emisi karbon pada 2060. Dokumen teknokratik inilah yang menjadi dasar untuk menyusun strategi pembangunan rendah karbon di tingkat kabupaten.
Setidaknya ada tiga poin yang bisa dilihat dalam dokumen teknokratik itu. Pertama, menghitung emisi gas rumah kaca. Kedua, menyusun dokumen produk domestik regional bruto (PDRB) hijau. Ketiga, meninjau dokumen rencana tata ruang dan wilayah. Lewat dokumen itu, kita bisa mempelajari rencana pembangunan kawasan, timbulan emisi, dan potensi ancaman atas keanekaragaman hayati yang mungkin muncul karena pembangunan ekonomi. Setelah itu, barulah menyusun rencana aksi.
Dari sana akan terlihat sektor ekonomi mana yang harus dikurangi dan ditingkatkan. Sektor yang ditingkatkan tentu sektor yang berpegang pada prinsip emisi karbon rendah sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.