Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koalisi Kepala Desa dan Agenda Jokowi Tiga Periode

Apa hubungan tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa oleh Apdesi dan agenda Jokowi tiga periode.

26 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mendukung Joko Widodo untuk melanjutkan masa jabatan kepresidenannya hingga tiga periode. Organisasi itu kini menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa. Bagaimana memahami hubungan kedua peristiwa ini?


Gde Siriana
Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setahun lalu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyerukan dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan masa jabatan kepresidenannya hingga tiga periode. Perlu dicatat, beberapa pihak dalam Apdesi menyangkal klaim bahwa organisasi itu mendukung Jokowi tiga periode. Lalu, beberapa hari lalu, 17 Januari 2023, Apdesi menggeruduk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Tuntutan ini tentu saja harus merevisi Undang-Undang Desa. Ini sama halnya dengan perpanjangan masa jabatan presiden yang harus mengamendemen konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jejak dukungan politik Apdesi kepada Presiden Jokowi sesungguhnya terlihat jelas sejak dua tahun lalu. Pada awal Desember 2021, Ketua Umum Apdesi, Surta Wijaya, menyatakan bahwa organisasinya akan menganugerahi Presiden Jokowi dengan gelar Bapak Pembangunan Desa dan Bapak Kepala Desa Senusantara. Mobilisasi kepala desa untuk mendukung “Jokowi tiga periode” pun berlanjut di Istora Senayan pada 29 Maret 2022. Acara tersebut dihadiri Presiden Jokowi beserta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; Menteri Sekretaris Negara Pratikno; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar; Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi; serta Ketua Umum Apdesi, Surta Wijaya.

Menurut pengakuan Ketua Majelis Pembina Organisasi Apdesi, Muhammad Asri Anas, Luhut merupakan Ketua Pembina Apdesi. Ada juga dua penasihat organisasi, yaitu Halim Iskandar dan Tito Karnavian (Tempo, 30 Maret 2022). Selain itu, Abdul Halim adalah kakak kandung Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang pernah melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Adapun Budi Arie Setiadi merupakan Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam beberapa acara pada 2022, Budi Ari menyatakan dukungan Projo untuk Ganjar Pranowo. Dia mengklaim 85 persen pendukung Jokowi mengarahkan dukungan kepada Ganjar untuk pemilihan presiden 2024.

Dari rangkaian peristiwa di atas, dapat ditarik benang merah bahwa bukanlah suatu kebetulan semata ada hubungan antara manuver politik Apdesi dan agenda “Jokowi tiga periode”. Dalam tulisan ini, saya ingin mengingatkan kembali kekhawatiran saya dalam tulisan di Koran Tempo edisi 1 April 2022 bahwa para kepala desa sesungguhnya telah dimobilisasi untuk melancarkan agenda “Jokowi tiga periode” ini sejak dua tahun lalu.

Relasi kuasa dalam hubungan antara Apdesi dan elite pemerintahan Jokowi yang terlibat dalam mendukung isu “Jokowi tiga periode” dapat diamati dengan menggunakan konsep relasi kuasa yang dipaparkan Laura K. Guerrero dan Peter A. Andersen dalam Close Encounters: Communication in Relationships (2011). Relasi itu adalah power as perception (kuasa sebagai persepsi), power as a relational concept (kuasa sebagai konsep relasional), dan power as a resource-based (kuasa sebagai basis sumber daya).

Nama Luhut di pusaran isu “Jokowi tiga periode” tentu saja tidak terlepas dari kekuasaan yang dimilikinya, meski sesungguhnya hanya berbasis pada persepsi. Tanpa Jokowi, Luhut bukan siapa-siapa. Luhut, yang menggunakan isyarat kekuasaan dan bertindak proaktif, cenderung dianggap berkuasa oleh orang lain. Dalam berbagai keputusan atau kebijakan pemerintah, seperti selama masa pandemi Covid-19 ataupun proyek-proyek infrastruktur, Luhut selalu menjadi yang terdepan dalam inisiatif pengambilan keputusan meskipun posisinya sebatas pembantu senior presiden. Ihwal kekuasaan Luhut ini, saya menggunakan istilah supra-power, yaitu kekuasaan yang melebihi atau melampaui kewenangannya dalam posisi struktural. Supra-power yang dimiliki Luhut inilah yang memperkuat persepsi orang lain terhadap kekuasaannya.

Tentu saja power as perception tidak selalu mudah mempengaruhi orang lain. Untuk menggerakkan Apdesi, dibutuhkan power as a relational concept dan power as a resource-based. Masuknya beberapa pembantu Jokowi ke dalam organisasi Apdesi menunjukkan kekuasaan dalam hubungan yang terjadi. Kekuatan relatif yang dimiliki para menteri tentu saja sangat tidak sebanding dengan para kepala desa, sehingga dengan mudah kepala desa dapat dimobilisasi untuk mendukung “Jokowi tiga periode”. Tapi dalam relasi ini juga dapat diciptakan suatu simbiosis mutualisme, saling bekerja sama untuk tujuan yang sama, yaitu perpanjangan masa jabatan kepala desa dan presiden. Ibarat sepak bola, kepala desa dan presiden saling memberi umpan untuk mencetak gol.

Kekuasaan yang berbasis pada sumber daya dapat terjadi pada alokasi dana desa yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta penggunaannya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah. Secara keseluruhan, sejak 2015, dana desa telah disalurkan sebesar Rp 400,1 triliun. Adapun pada 2022, pagu dana desa telah ditetapkan sebesar Rp 68 triliun dan dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Ironisnya, anggaran desa sangat rentan disalahgunakan. Laporan Indonesia Corruption Watch pada 2021 menyatakan bahwa kasus tindak pidana korupsi paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa.

Dalam konteks relasi kuasa, alokasi anggaran desa yang makin besar setiap tahun di satu sisi menjadi “gula-gula” yang dapat memotivasi dan menggerakkan kepala desa untuk konsisten mendukung pemerintah pusat. Di sisi lain, ia dapat menyandera kepala desa dalam hal laporan penyalahgunaan anggaran desa.

Korupsi pada anggaran desa sangat mungkin terkait dengan ongkos kampanye calon kepala desa, yang mencapai ratusan juta rupiah. Misalnya, media melaporkan bahwa biaya kampanye pemilihan kepala desa di Jember sebesar Rp 130-150 juta. Bahkan ada media yang melaporkan biaya kampanye di Purwakarta hampir menyentuh Rp 1 miliar. Tentu saja, ongkos kampanye yang relatif sangat besar ini tidak sebanding dengan pendapatan resmi kepala desa. Meskipun demikian, jabatan kepala desa tetap menarik untuk diperebutkan dalam kontestasi politik tingkat desa.

Dalam kasus lain, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebutkan tarif menjadi pejabat kepala desa di Kabupaten Probolinggo sebesar Rp 20 juta. Besaran ongkos politik kepala desa ini linier dengan ongkos politik kepala daerah. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengungkapkan bahwa pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pemilihan kepala daerah.

Dengan demikian, berdasarkan konsep relasi kekuasaan, dapat disimpulkan bahwa relasi antara Apdesi dan elite pemerintahan Jokowi yang terkait dengan dukungan atas agenda “Jokowi tiga periode” lebih mengarah pada dominasi elite terhadap para kepala desa—yang mencerminkan power over-relation atau relasi kuasa yang mendominasi (Robert A. Dahl, 1957)—ketika Apdesi dijadikan salah satu alat strategis untuk mencapai tujuan. Ini sekaligus meragukan klaim pengurus Apdesi bahwa dukungan atas “Jokowi tiga periode” merupakan murni aspirasi internal karena kemurnian dukungan hanya dapat terjadi dalam relasi yang berbentuk pemberdayaan dan menampilkan wujud otonomi masyarakat, yang merujuk pada power to relation (Robert A. Dahl, 1957).

Manuver politik Apdesi selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana elite pemerintahan Jokowi ataupun elite di DPR merespons tuntutan Apdesi. Sangat mungkin, dalam waktu yang tidak lama, Apdesi akan menghidupkan kembali dukungannya atas wacana “Jokowi tiga periode” apabila itu diperlukan sebagai prasyarat atau sinyal bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi.

Agenda perpanjangan masa jabatan kepala desa dan presiden, selain akan berdampak pada amendemen konstitusi dan revisi undang-undang, berdampak pada kehidupan demokrasi yang sudah susah payah diperjuangkan selama 25 tahun sejak reformasi. Dalam dua tahun ke depan, pada tahun politik ini, agenda “Jokowi tiga periode” sangat mungkin menyebabkan konflik horizontal di akar rumput. Selain itu, konflik elite tentu saja akan makin tajam. Penolakan “Jokowi tiga periode” telah disampaikan Megawati Soekarnoputri di hadapan Jokowi. Tapi, melihat sikap Megawati tersebut direspons dengan manuver politik Apdesi, sangat mungkin bahwa agenda “Jokowi tiga periode” pelan-pelan tapi pasti masih dipaksakan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus