Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Apa yang terjadi seandainya kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan?
Novel-novel Margaret Atwood menyajikan masa depan yang mengerikan.
Tapi apa artinya masa depan jika tak ada masa lalu?
TIAP Desember kita menatap bola kristal, atau semacam itu. Atau kitab nujum. Kita bertanya apa yang akan kita alami di masa yang akan datang—dan lupa bertanya apa gunanya kita mengetahui apa yang akan datang. Margaret Atwood, novelis yang banyak menulis fiksi tentang masa depan yang menakutkan, memperingatkan, “Andai kau tahu apa yang akan terjadi, andai kau tahu semua hal yang akan terjadi nanti—andai kau tahu sebelumnya akibat tindakanmu—kau akan celaka. Kau akan remuk seperti Tuhan. Kau akan jadi batu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat itu terselip dalam novel The Blind Assassin—dan mungkin sebab itu ceritanya berlatar belakang Kanada di tahun 1930-an, sebuah masa lalu di negeri yang seakan-akan tak mau bergegas ke zaman nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah The New Yorker menyebut Atwood “the prophet of dystopia”. Tentang zaman kelak, novelis ini anti-utopia. Ia menampik menciptakan imajinasi tentang utopia, tentang zaman yang serba beres, bagus, dan berarti. Novel Atwood, The Handmaid's Tale, Oryx and Crake, dan The Year of the Flood, memaparkan akhir riwayat manusia dan alam sebagai sebuah apokalipse yang mengerikan, seperti mimpi buruk.
Saya tak tahu kenapa Atwood sering disebut sebagai penulis science-fiction, cerita rekaan yang bertolak dari imajinasi tentang dampak sains bagi kehidupan. Saya tak yakin para penggembira sains akan senang.
Novel Oryx and Crake, misalnya, di mana sains membangun dunia, sepenuhnya “distopian”. Sejarah hanya diibaratkan “kuil-kuil pasir yang ditimpa angin”: setelah kerja keras tanpa henti, abad demi abad, menggali, meraut, mengebor, semua rontok, runtuh, terus-menerus, di mana-mana.
Sementara itu, ada bioengineering dan sekelompok mirip manusia yang telah direkayasa secara genetis hingga tak akan pernah menderita sakit oleh wabah yang berjangkit. Makhluk didesain. Dikembangkan tablet yang disebut BlyssPluss, yang menjanjikan kesehatan dan kebahagiaan, tapi diam-diam sebenarnya ditujukan buat sterilisasi agar makhluk mandul. Pada gilirannya, setelah tersebar, obat mirip Viagra ini mengakibatkan wabah. Kematian meluas—sesuai dengan rencana.
Atwood tampak mengaitkan perkembangan sains dan teknologi dengan malapetaka. Tapi ia sadar warna gelapnya berlebihan. Maka ia lebih suka menyebut dirinya penulis “ustopia”: gabungan utopia dan distopia—imajinasi tentang masyarakat yang sempurna dan sekaligus tentang masyarakat yang hancur. Sebab, kata Atwood, yang satu selalu mengandung versi yang laten dari yang lain.
Ia sebenarnya tak sendirian. Novel 1984 George Orwell, misalnya, yang terbit pada 1949, menceritakan masyarakat masa depan yang sepenuhnya dikontrol dan dijajah kekuasaan politik, bahasa, dan teknologi. Manusia dikendalikan kuasa yang misterius, Big Brother. Novel The Brave New World Aldous Huxley, yang ditulis di tahun 1931, menggambarkan masyarakat manusia di zaman nanti: otak warganya direkayasa dan teknologi mengatur siapa yang akan jadi generasi baru.
Jika ada yang optimistis dalam novel seperti itu, maka kita mendapatkannya dalam keyakinan bahwa ia akan disimak justru ketika teknologi bersinar cemerlang menyilaukan. Penulis seperti Atwood menggarisbawahi sebuah kearifan klasik: manusia tak bisa berlanjut utuh tanpa melampaui dilema moral. Pilihan-pilihan kian rumit ketika sejarah berubah dan kemajuan menorehkan luka.
“Kita tahu dunia tak akan sama seperti semula. Sejumlah orang tertawa, sejumlah orang menangis. Kebanyakan diam. Saya teringat satu baris dari kitab Hindu, Bhagavad-Gita. Wishnu sedang membujuk Arjuna, agar menjalankan tugasnya. Untuk meyakinkan sang kesatria, ia mengubah dirinya bertangan banyak dan berkata, “Kini akulah Maut. Penghancur dunia.”
Itu kata-kata J. Robert Oppenheimer, fisikawan yang disebut “bapak bom atom”, ketika menyaksikan betapa mengerikannya daya destruktif senjata yang baru diuji coba di bulan Juli 1945 itu. Oppenheimer tahu, ada yang para saintis tak tahu: bagaimana memutuskan pada detik mana secara moral senjata itu pantas dipergunakan. Tak ada rumus, sebagaimana tak ada kalkulus dalam banyak hal di kehidupan. Yang jelas, “para fisikawan telah mengetahui dosa”, kata Oppenheimer, “dan inilah pengetahuan yang tak bisa mereka hilangkan”.
Kini kita berharap dosa itu membayangi para saintis di saat teknologi dengan kecerdasan buatan, AI, sedang disempurnakan. Stephen Hawking melihat, kecerdasan mesin ini akan melampaui kecerdasan manusia sebagaimana kecerdasan manusia melampaui kecerdasan siput. Dampaknya dalam jangka pendek bergantung pada siapa yang mengendalikannya, tulis Hawkings dalam Brief Answers to the Big Questions, buku yang diterbitkan setelah ia meninggal. Tapi “dampak jangka panjangnya bergantung pada jawaban apakah ia bisa sungguh-sungguh dikendalikan”.
Tanda tanya tak berhenti. Ilmu dan teknologi mengagumkan, tapi bukannya tanpa ambiguitas. Sejak akhir Perang Dunia II para filosof menyadari itu. Selalu ada kemungkinan manusia, seperti diingatkan Margaret Atwood, “akan remuk seperti Tuhan”, ketika melihat dirinya mampu menyatukan optimisme dengan Kepastian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo