Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam politik, makna sebuah kata tak lagi netral.
Makna kata pencitraan menjadi negatif ketika bertaut dengan politik elektoral.
Politik bahasa tak lepas dari bahasa politik.
TAHUN 2024 belum tampak, tapi persaingan menuju “RI-1” mulai beriak. Kelompok-kelompok relawan menggelar deklarasi memasyarakatkan bakal calon presiden. Ibarat ombak, kalau membesar, tandanya dukungan melimpah. Tapi, jika riak-riak saja, perlu strategi baru mengenalkan para bakal calon presiden itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para bakal calon presiden juga menjual dan mempromosikan diri. Dalam politik Indonesia, mereka yang memoles-moles diri untuk terkenal disebut sedang melakukan “pencitraan”. Label ini begitu populer seolah-olah merujuk pada “tipu daya” atau “muslihat”. Padahal berdasarkan konvensi yang paling denotatif, sebagaimana direkam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pencitraan” netral, bahkan cenderung positif, yakni “proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu; penggambaran”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konkretnya, pencitraan adalah cara seseorang membawakan/menampilkan dirinya di tengah khalayak agar eksistensinya dapat diterima. Sudah seyogianya tiap orang mencitrakan diri sepanjang ia telah berakal cukup. Pencitraan yang begini berlangsung sepanjang waktu.
Ketika berkolokasi dengan kata “politik” atau dimaknai dalam konteks politik, netralitas semacam itu lenyap seketika. Leksikon mental kita menyimpan “pencitraan” dalam keranjang konotasi negatif. Maknanya mengalami peyorasi. Ketika seseorang dikatakan melakukan “pencitraan”, artinya ia sedang melakukan perbuatan yang dibuat-buat atau tidak autentik.
“Pencitraan” bukan lagi fenomena yang alamiah. Sebagai bagian dari kepentingan jangka pendek, ia momental dan terikat waktu. Seperti hantu, ada maksud dan tujuan tertentu yang membayangi di belakangnya.
Bagi politikus tertentu, nampang di baliho di sepanjang jalan tidak cukup mangkus apabila rakyat badarai, yang menjadi target politiknya, tidak tahu siapa dia dan apa saja gerakan yang telah dilakukannya. Dalam situasi begitu, diperlukanlah perbuatan lain yang bisa diekspos melalui sorot kamera dan media sosial, seperti masuk gorong-gorong, mengatur lalu lintas kendaraan, menyapu jalan, menanam padi, dan mengeruk tanah memakai tangan tanpa pacul atau sekop. Kadang-kadang pencitraan yang tak dibuat alamiah memang bisa menjadi bumerang.
Sebagai anak kandung demokrasi, pencitraan adalah jalan lapang meraih popularitas. Karena pencitraan, orang entah siapa tiba-tiba menjadi berkuasa karena rekayasa diri diterima oleh banyak orang sebagai pemilik suara.
Bentuk pencitraan bermacam-macam. Ada politikus yang mencitrakan dirinya sebagai sosok yang sopan, santun, ramah, sederhana, merakyat, atau citra-citra lain yang sesuai dengan standar nilai kolektif pada umumnya, seperti jujur dan tegas. Kadang-kadang yang sopan dan santun distigmakan kurang kejujuran dan ketegasannya. Padahal semua itu bukanlah hal yang opsional di alam demokrasi kita. Rakyat berhak menuntut yang terbaik dari pemimpinnya.
Pencitraan atas nama kejujuran dan ketegasan umumnya tampil dengan ciri linguistik yang lugas, ceplas-ceplos, dan spontan. Namun itu belum cukup. Adakalanya marah-marah (melalui intonasi ataupun gestur) mesti menyertai, bahkan kalau perlu pakai bahasa-bahasa kasar supaya kesan tegasnya menebal. Sekalipun tidak ada hubungan logis antara kejujuran (dan ketegasan) dan marah-marah, toh, ada buzzer yang bisa membuatnya seakan-akan masuk akal.
Ngomong-ngomong soal buzzer, kata ini juga menarik disinggung. Buzzer dalam Kamus Merriam-Webster bermakna “one that buzzes (specifically: an electric signaling device that makes a buzzing sound)” yang merujuk pada “alat yang berdengung”. Kata netral ini menjadi begitu buruk karena bermakna mereka yang dibayar untuk memanipulasi opini publik. Pencinta bahasa mengindonesiakannya menjadi “pendengung”. KBBI belum merekamnya.
Buzzer, tampaknya, murni kreasi orang Indonesia atas kata buzz, slang dalam bahasa Inggris yang merujuk pada konsep “rumor” atau “gosip”. Dalam bahasa Inggris, istilah yang lazim digunakan adalah troll atau cyber troops (Bradshaw & Howard, 2017). Uniknya, di Indonesia, cyber troops merujuk pada perangkat kepolisian yang bertugas mengawasi dan menangani kejahatan di dunia maya.
Seumpama organisme, bahasa adalah “organisme” yang bergantung pada organisme lain, yakni manusia, pemilik, dan pemakainya. Bahasa bergantung pada ke-ada-an manusia—dan sebaliknya. Cara kita memperlakukan bahasa berpengaruh pada jalan hidupnya. Kita telah mengubah jalan hidup kata “pencitraan”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo