Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahaya Mufakat Semu

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Franz Magnis-Suseno Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

TUNTUTAN agar pengesahan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ditunda bukan sekadar taktik mereka yang tidak menyetujuinya, melainkan tuntutan tanggung jawab demokratis. Masalah pendidikan terlalu penting untuk diselesaikan cepat-cepat, apalagi jika ada prinsip-prinsip dasar yang tersangkut. Memaksakan sesuatu yang secara mendasar kontroversial menyalahi etika demokrasi.

Ada dua alasan yang mendukung penundaan itu. Pertama, debat pro dan kontra RUU Sisdiknas sudah terkena distorsi berat. Sebuah fakta dasar (yang hampir tidak disangkal oleh siapa pun) tersingkirkan oleh kontroversi sekitar satu unsur saja, hal pelajaran agama. Fakta itu adalah bahwa RUU Sisdiknas tidak cukup mutunya. Karena hal ini sudah dikemukakan berulang-ulang di pelbagai media oleh orang-orang kompeten lintas semua agama, saya hanya menyebutkan tiga defisit fatal RUU ini.

Pertama, RUU itu tidak secukupnya menunjukkan kesadaran bahwa pendidikan formal di Indonesia berada dalam krisis gawat. Tapi bagaimana pendidikan nasional mau ditingkatkan apabila krisisnya tidak disadari?

Kedua, rancangan ini diam tentang tantangan paling mendesak: bagaimana pola pengajaran yang anak didiknya dianggap pasif bisa diubah menjadi pendidikan yang merangsang anak untuk berani berpikir sendiri secara kreatif, kritis, dan inovatif, mampu berfantasi, berani bersikap jujur, mau bertanggung jawab, mampu bergaul enak dengan anak dari lingkungan subbudaya lain, pandai menangani konflik secara rasional, dan diantar ke sikap-sikap dasar demokratis.

Dan ketiga, RUU Sisdiknas tidak secukupnya mengangkat tantangan kunci yang satu lagi: bagaimana meningkatkan kompetensi pedagogis para guru agar bisa mengajar menurut pola yang semestinya ini.

Alasan penundaan kedua? Perlu dicapai keadaan saling mengerti lebih nyata di antara pihak yang sekarang berlawanan dalam hal pelajaran agama. Kalau kesalingmengertian ini tidak tercapai, UU Sisdiknas akan membuka kemungkinan konflik primordial yang serius. Sesudah 58 tahun merdeka, itukah yang kita perlukan?

Kesalingmengertian itu memang akan memerlukan give and take. Dari satu pihak, kalau kita tetap pada kesepakatan nasional bahwa negara ini bukan negara agama, mestinya jelas bahwa negara secara prinsipiil tidak berwenang untuk mewajibkan sesuatu dalam bidang agama, termasuk mewajibkan pelajaran agama. Negara bertugas melindungi hak atas pelajaran agama, tapi tidak berwenang mewajibkannya.

Di pihak lain, hal itu sama saja berlaku bagi sekolah swasta, termasuk yang berhaluan agama. Mereka sama saja wajib menghormati hak orang tua murid untuk menentukan pelajaran agama mana yang diterima, atau tidak diterima, oleh anak mereka.

Sebagai contoh, sebuah sekolah Katolik. Hanya karena Katolik, sekolah itu tidak berhak mendesak orang tua murid agar mengizinkan anak mereka menerima pelajaran agama Katolik. Desakan semacam ini melanggar kebebasan beragama (dan Gereja Katolik Konsili Vatikan II dengan terang-benderang menyatakan, pertama, dalam hal agama segala paksaan dan tekanan tidak dapat dibenarkan; kedua, yang berwenang menentukan pendidikan anak adalah orang tua mereka). Alasan bahwa orang tua sendiri secara tertulis menyatakan tidak berkeberatan akan mubazir apabila pernyataan itu menjadi syarat anak mereka untuk diterima. Memperjuangkan pluralisme mengandaikan menghormati orientasi keagamaan pluralis murid-murid.

Konsekuensinya, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, anak-anak bukan Katolik ditawari etika, budi pekerti, dan sebagainya. Yang kedua, kalau misalnya ada cukup banyak anak muslim, ya, diberikan pelajaran agama Islam. Dalam hal ini memang ada satu keberatan yang perlu ditanggapi, yakni ketakutan bahwa sekolah akan dipaksa menerima guru agama dari luar. Lalu bagaimana kalau guru itu picik atau fanatik atau memusuhi agama sekolah itu, lalu bisa menimbulkan kesulitan macam-macam dan memecah belah murid? Keberatan itu diatasi dengan jaminan kebebasan sekolah untuk memilih sendiri guru-gurunya. Bahwa pelajaran agama harus diberikan oleh guru dari agama itu sendiri dan bukan dari agama lain, tentu saja sangat wajar dan tidak ada alasan apa pun untuk mempersoalkannya.

Jadi, masalah yang sebenarnya begitu bikin panas bukan tak terpecahkan. Di satu pihak, kita seharusnya dapat menyepakati bahwa mewajibkan pelajaran agama bukan hak negara. Di pihak lain, kesepakatan itu hanya mungkin apabila segala praktek sekolah swasta, sejauh masih ada, untuk mendesakkan pelajaran agamanya sendiri kepada anak beragama lain diakhiri.

Namun pemecahan ini justru tidak mungkin apabila RUU Sisdiknas dipaksakan pengesahannya dengan mufakat semu atau dengan memakai mayoritas saja. Masalahnya terlalu fundamental. Anggap debat sampai sekarang, termasuk di DPR, sebagai proses belajar bersama secara demokratis. Dan berikan waktu cukup untuk mencapai kesepakatan tentang pendidikan nasional yang sejati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus