Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Separatisme Gaya Ekspatriat

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aboeprijadi Santoso
Wartawan, bekerja di Amsterdam

 

AWALNYA dari Takengon, Aceh Tengah. Ketika upaya damai RI-GAM pertama kali diteken, Mei 2000, Wakil RI Hassan Wirajuda berharap "ini awal perjalanan 100 langkah". Kemudian tercapai pakta yang lebih mantap (CoHA, 9 Desember 2002) tapi belum "100 langkah." Namun, awal Maret 2003, ratusan milisi sudah digerakkan dari Takengon. Tim monitor internasional hengkang dan proses damai merosot.

Setiap jeda dan gencatan dilanggar kedua pihak, tapi kali ini persiapan perang dan ultimatum Jakarta membuat babak final di Tokyo sia-sia. Bagi kedua pihak, Tokyo cuma panggung diplomasi berbasa-basi di muka donor internasional, ketika proses damai di lapangan sudah buyar di tengah persiapan operasi militer. Fait d'accompli memblokade solusi damai.

Aceh adalah pasang-surut kisah panjang dengan tiga kecenderungan: loyal, diam atau tiarap, dan berontak. Ketika dominasi pusat kuat, Aceh memilih satu dari dua opsi pertama. Ketika pusat redup atau kawasan guncang, Aceh akan berontak demi Aceh.

Menjelang akhir abad ke-19, ketika Inggris dan Belanda berebut Selat Malaka, Aceh bergolak. Atjeh Oorlog (Perang Aceh 1873-1913) menjadi perang terpanjang dalam sejarah Belanda. Perang itu resminya tak berkesudahan karena Aceh menggabung ke dalam perjuangan RI.

Saat republik muda ini lemah, Aceh berontak, kali ini di bawah Daud Beureueh. Tapi, di puncak kejayaan Orde Baru, 1980-an, Aceh kembali loyal. GAM yang lahir 1976 tiarap, dan Gubernur Aceh mengundang "DOM" (daerah operasi militer).

Dalam The Rope of God (1969), James Siegel melukiskan Aceh sebagai dinamika kaum ulama, ketika "Tali Ilahi" menjadi panutan umat. Tapi tiga dasawarsa Orde Baru—peluang pendidikan yang meningkat, minyak, gas bumi, dan ganja yang memikat, terutama tragedi perang kotor DOM—mengubah hampir segalanya.

Walhasil, ketika Soeharto mundur dan momentum baru bergulir di Aceh, para korban DOM menjadi gerilyawan dan kader-kader GAM jebolan Libya pulang. Reformasi dan eksodus-mudik kedua (yang pertama pada 1989) membuat bandul Aceh bergoyang—dan GAM naik daun.

GAM, sebagai gerakan, agak aneh. Pada 1980-an, bos GAM Teungku Hasan Muhammad di Tiro sering tampil di UNPO (semacam "PBB" bagi negeri-negeri tak bernegara) di Belanda. Ketika saya temui, April 1989, dia memamerkan foto-foto pemuda Aceh berlatih kemiliteran di Libya, tapi dalam kampanyenya tak ada seruan melawan penindasan dan lain-lain, sebagai lazimnya gerakan perjuangan.

Perang melawan "kolonialisme Indonesia-Jawa" baginya adalah "perang kemerdekaan bangsa Aceh". Yang janggal, GAM yang mestinya butuh dukungan rakyat malah memeras ("mengutip" istilahnya) rakyat—tak berbeda dengan oknum aparat RI. Singkatnya, legitimasi GAM bertumpu pada nasionalisme-etnis belaka.

Hasan di Tiro adalah orang yang konsekuen, tapi kaku. Dari sudut pandang GAM, kepeloporannya yang tegar dan panjang membuat dirinya memiliki legitimasi lengkap. Tapi, sejak ia kena stroke tiga tahun lalu, kepemimpinan GAM beralih ke Malik Mahmud dan Zaini Abdullah, dan GAM di pengasingan pecah di seputar isu suksesi.

Pada usia Hasan di Tiro (78 tahun), GAM bisa terancam krisis kepemimpinan. Pasalnya, siapa yang tersisa dari mereka yang dilantik jadi "Mantri Kabinet GAM" di Gunung Halimun pada 1976? Sebagian anggota "kabinet historis" itu sudah tiada, tinggal Di Tiro dalam kelompoknya, atau justru dalam sempalan GAM (MB-GAM Eropa) pimpinan Husaini Hassan, juga di Noborsk, Swedia. (Ketika Hasballah Saad, di Washington, April 2001, bertanya apa jadinya GAM sepeninggal Hasan di Tiro, Zaini Abdullah tak menjawab.)

Soal suksesi dan legitimasi ekspatriat GAM bisa penting karena GAM mendefinisikan diri bukan sebagai gerakan, melainkan "negara". Dalam kongres di Stavanger, Norwegia, Juli 2002, di muka masyarakat Aceh dari Belanda, Jerman, dan Skandinavia, diumumkan bahwa kepemimpinan GAM beralih ke tangan Malik Mahmud, GAM resmi menjadi "Neugara Aceh", dan AGAM jadi TNA, Tentara Neugara Aceh.

Jadi, kalau di banyak negara Asia-Afrika gerakan rakyat memimpin negara baru ketika menang, sebaliknya yang terjadi pada GAM: sebuah gerakan menjadi "negara" di pengasingan sebelum menang, untuk "memulihkan" suatu negara lama. Dengan kata lain, GAM adalah gerakan regresif—bukan gerakan perjuangan—yang seolah menanti hasil yang sudah dipatok di depan, entah kapan.

Masalahnya, ketika ruang demokratis perlu menjadi solusi bagi Aceh, bagaimana GAM yang menolak menjadi partai politik (ini pernah dikatakan Zaini) secara demokratis bisa diajak ikut menentukan nasib Aceh? Inilah problem gerakan regresif jika tak berpadu dengan generasi baru civil society di Aceh.

"Take the guns out of politics" adalah inti konsensus antara RI, GAM, dan donor internasional yang melandasi CoHA. Pesan itu masih dan hanya berharga bagi suatu solusi damai jika TNI menghentikan perang, GAM menjadi partai politik, dan ada mediator berwibawa. Kekerasan tak membawa solusi. Begitu juga bila sebuah negara sudah dipatrikan sebelum kontes yang demokratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum