Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bahaya tanpa Agama

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief Rachman Pendidik, bekas Kepala SMU Labschool, Jakarta

RANCANGAN Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengalami perjalanan yang sangat kontroversial dalam proses pengesahannya. Hasil kerja panitia kerja RUU ini sedang diuji oleh masyarakat melalui demo-demo yang melibatkan kelompok Islam dan non-Islam. Sebagai pendidik, saya merasa terpanggil untuk urun rembuk agar kita semua tidak mereduksi permasalahan RUU Sisdiknas hanya pada persoalan pasal 13 dalam rancangan ini, yang sekarang populer dipahami sebagai "pasal agama".

Saya yakin, tidak ada seorang pun warga bangsa di republik ini, apa pun agamanya, yang tidak setuju dengan adanya pelayanan pendidikan agama yang baik bagi setiap siswa. Jika demikian, interpretasi dan prasangka baik saya mengatakan bahwa tentu ada sesuatu yang kurang pas pada RUU Sisdiknas tersebut.

Dari hasil kajian dan pengamatan, saya mengasumsikan adanya tiga faktor yang memicu kontroversi tersebut. Pertama, ada sebagian warga bangsa yang tidak mengerti apa itu RUU Sisdiknas, yang sebenarnya sudah selesai dibicarakan di tingkat panitia kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa RUU tersebut tidak tersosialisasi dengan baik sehingga tidak dipahami secara utuh.

Kedua, adanya interpretasi terhadap kosakata seperti iman, takwa, dan akhlak sebagai kosakata monopoli agama Islam. Inilah yang menimbulkan apriori dari golongan selain Islam. Padahal kata-kata tersebut adalah kosakata bahasa Indonesia yang kebetulan berasal dari bahasa Arab. Bahasa kita memiliki sumber leksikal yang amat kaya. Hal tersebut menjadi permasalahan karena ada proses sosiolinguistik yang belum matang. Artinya, apakah warga bangsa beragama Islam mau menerima kosakata dari sumber agama Hindu atau mereka yang beragama Buddha mau menerima kosakata dari agama Islam.

Ketiga, beberapa lembaga pendidikan yang belum cukup berpengalaman merasa akan kesulitan melaksanakan pasal 13 tersebut karena masalah teknis, di antaranya mencari tenaga guru dan menyediakan tempat ibadah.

Saya sangat menyesalkan jika kontroversi ini dihubungkan dengan hak asasi manusia atau keinginan agar pemerintah seharusnya tidak perlu ikut mengatur pendidikan agama di sekolah. Keprihatinan yang sama muncul bila demo-demo tersebut harus melibatkan anak didik atau tenaga guru atau masyarakat yang tidak mengerti esensi demo.

Setiap warga bangsa di republik ini tentu tidak rela bila negara ini menjadi negara sekuler dan berprinsip bahwa urusan agama adalah urusan pribadi. Kita sudah sepakat dengan konsensus nasional yang terdapat dalam Pancasila bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita juga memiliki konstitusi yang mengamanatkan bahwa tujuan pembangunan pendidikan adalah membentuk anak yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur dalam rangka mencerdaskan bangsa. Artinya, RUU Sisdiknas tersebut sudah sangat sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN. Ini jelas menunjukkan konsistensi dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Dan hal ini merupakan sebuah prestasi yang semakin mengarahkan bangsa ini kepada kemajuan yang sama-sama kita harapkan.

Di era globalisasi dan reformasi ini, kita benar-benar tertantang oleh budaya nilai yang memisahkan urusan dunia dan akhirat. Muaranya, ukuran sukses pendidikan menjadi keliru. Kekeliruannya terutama pada tertinggalnya upaya pembentukan watak yang berbudi pekerti luhur dan anak yang berkarakter. Padahal kita semua sangat mengerti dan memahami bahwa muara dari banyak masalah di negara ini adalah karena kerusakan moral dan akhlak. Sekali lagi, jelas bahwa RUU Sisdiknas ini dirancang dalam rangka upaya positif tersebut.

Sekolah bukanlah tempat untuk menimba ilmu saja, melainkan sebuah lembaga mikro sesudah unit keluarga, yang bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Di pihak lain, sekolah bukanlah tempat untuk menjadikan seseorang berwawasan sempit dan tidak dapat hidup bertoleransi dengan kelompok lain hanya karena metodologisnya yang sempit. Kembali, RUU ini mengamanatkan kepada kita semua bahwa heterogenitas di negara ini sedini mungkin harus disandingkan dalam satu jalinan yang harmonis, terutama melalui pendidikan di sekolah.

Mencermati kondisi itu semua, saya pikir kita harus lebih berhati-hati dan waspada terhadap upaya-upaya liberalisme tanpa batas, reformasi tanpa kendali, dan demokrasi tanpa pegangan. Pegangan kita adalah agama dan nilai-nilai luhur bangsa. Kita harus menyadari bahwa negara kita merdeka, selain karena perjuangan, juga karena agama mengajarkan bahwa orang harus berani untuk benar di mata Tuhan. Inilah yang selalu menjadi penggelora semangat rakyat Indonesia untuk tidak berputus asa dan pantang menyerah terhadap segala cobaan dan tantangan hidup yang silih berganti menerpa negara ini. Globalisasi yang tidak berdasarkan nilai-nilai agama dan adat bangsa akan menjadikan bangsa Indonesia bangsa yang tidak berharga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus