Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Baik Belum Tentu Bermanfaat

Kiai Ali Krapyak sikapnya luwes & akomodatif dalam pergaulan. tetapi ia dapat bersikap keras dalam melakukan terhadap hal-hal yang esensial dalam agama. ia bersikap pragmatis terhadap masalah keagamaan yang rumit.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERTAWA senantiasa dilakukannya sepenuh hati. Raut mukanya seperti menyimpan tawa dalam kadar sangat besar. Sedikit alasan saja sudah cukup membuatnya tergelak-gelak. Seringkali orang di sekitarnya terbawa kepada suasana penuh tawa seperti itu. Hanya kesopanan bersikap di depan seorang kiai sajalah yang menahan mereka dari turut tertawa tergelak-gelak. Seperti kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati itu, Kiai Ali Krapyak memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang tempatnya sendiri dalam kehidupan itu. Begitu optimistis ia memandang peranannya dalam kehidupan, sehingga ia sering bagaikan bertindak semau-maunya. Menasihati menteri, menyindir orang lain dan membuat lelucon bahkan hingga tentang soalsoal keagamaan yang terdalam sekalipun (seperti kepercayaan kepada para wali). Ia sendiri yang menetapkan hak berbuat demikian, dan ia tidak bertanya kepada orang lain tentang tepat atau tidaknya tindakan seperti itu. Pokoknya ia yakin tentang penting atau benarnya suatu hal, langsung dilakukannya. Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat pemerintahan dari tingkat teras di pusat dan daerah, seringkali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah. Kasus RW Perkawinan dalam tahun 1973-74. Kasus tanda gambar Kiblat menjelang Pemilu 1977. Kasus aliran kepercayaan dalam SUMPR yang lalu. Kasus liburan puasa. Mengapakah kiai yang begitu luwes dan bersikap akomodatif dalam pergaulan dapat mengambil sikap 'keras' dalam kasus-kasus di atas? Bukankah itu berarti adanya inkonsistensi antara pola umum hidupnya yang serba akomodatif dan kekerasan kepala dalam beberapa hal? Jawabannya terletak pada kemampuan Kiai Ali untuk melakukan pilihan antara hal-hal esensial agama dari hal-hal yang dianggapnya bukan persoalan utama. Kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan identitas semula yang bersumber pada niiai-nilai keagamaan yang paling dalam. Ini terbukti dari keseluruhan pola kehidupan kiai yang unik ini. Sebagai kiai yang mendalam pengetahuan agamanya, sebenarnya ia cukup mengikuti sistem pendidikan tradisional yang sudah berjalan begitu lama, untuk memperoleh tempat terhormat dalam barisan ulama 'tangguh'. Itu tidak dilakukannya. Sebaliknya, ia membuka sekolah agama yang 'aneh': di samping kitab-kitab kuno agama, para santrinya dirangsang untuk membaca literatur baru dari Timur Tengah. Di samping mempelajari gramatika Arab kuno, para santri itu dirangsang untuk mempelajari literatur bahasa kontemporer. Di samping mendalami hukum agama dari buku-buku fiqh kuno, mereka didorong untuk mendalami juga literatur studi perbandingan dengan hukum-hukum lain yang dianut di Barat dan Timur. "Mengapa kiai menyuruh mereka membaca buku-bukunya Abduh, apakah tidak khawatir para sanki akan 'lepas dari NU?' Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas: "Kalau membaca buku macam-macam, nanti akan menjadi NU yang matang." "Mengapa Kiai begitu gandrung mengajar di IAIN, mengapa justru tidak membuka sendiri pengajian agama lanjutankhusus untuk kitab-kitab mazhab Syafi'i? Sambil tertawa lagi, Kiai Ali menjawab: "Di IAIN mereka akan memperoleh tambahan pengetahuan di samping kitabkitab mazhab tersebut." Di sini kita bertemu dengan pribadi yang mencari pemecahan pragmatis bagi masalah-masalah keagamaan yang rumit. Pragmatisme yang dihasilkan lalu memiliki perpaduan antara sikap rasionalistis dan keyakinan yang teguh akan kebenaran ajaran agama. Apa yang harus dipelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau, dan apa yang harus diambil dari kehidupan kontemporer bagi kepentingan penyesuaian dengan kebutuhan. Dalam kerangka seperti inilah dapat difahami 'penafsiran' Kiai Ali ini atas sebuah pendapat Imam Ghazali dalam karya utamanya, Ihya'. Imam Ghazali berpen- dapat, para remaja yang sedang menuntut ilmu harus tirakat. Antara lain dengan jalan memakan hanya daun-daunan dan sedikit buah-buahan, dan menjauhi 'makanan keras' (solid food) seperti nasi, jagung dan sebagainya. Apalagi daging, ikan dan ayam. Hanya nencernakan makanan 'serba prihatin' seperti itu sangat baik lan bermanfa'at untuk mencapai kedalaman ilmu agama. Pendapat seperti ini sudah tentu berlawanan dengan kebutuhan gizi para remaja yang sedang membutuhkan semua jenis makanan yang akan mengembangkan bentuk fisik tubuh mereka. Ketika ditanya pendapatnya tentang seruan Imam Ghazali untuk melakukan tirakat 'ngrowot' seperti di atas, jawab Kiai Ali adalah 'baik, tetapi belum tentu manfaat'. Kemampuan memberikan klasifikasi berdasarkan kategorisasi yang kompleks adalah kunci dari kemampuan adaptasi yang dilakukan Kiai Ali Krapyak ini. Mengakui kebaikan pendapat yang dirumuskan di masa lalu, sambil mencari manfaat yang baru, adalah salah satu bentuk adaptasi ini. Tanpa tercabut dari akar masa lalunya, adaptasi Kiai Ali cukup dinamis, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus