SEBUAH tempat yang tampak miskin. Sebuah kompleks dengan
atap-atap seng, tanah berpasir keputih-putihan dan
dinding-dinding setengah tembok atau kayu, dengan kawat ram yang
kasar sebagai ganti jendela. Seperti sekumpulan kandang ternak,
hanya sangat bersih, menyebar di tanah 5 ha berpusat pada sebuah
masjid sangat bersahaja yang berumur satu setengah abad.
Kolam tua di kiri kanan masjid, pohnn-pohon berbagai jenis
yang sebagian meranggas, dan sebuah lapangan utama di depan
masjid, melengkapi kesan sebuah kompleks perguruan silat yang
tersembunyi di tanah pegunungan. Dan di sinilah tinggal 1.113
pendekar,368 orang dari mereka perempuan.
Pondok Pesantren Pabelan, sebuah dusun di Muntilan, sekitar
6 km dari Candi Borobudur memang mengesankan sebuah kubu bagi
penempaan "ilmu dalam". Dan kompleks itulah yang 23 Oktober
kemarin, dalam sebuah serernoni di Lahore, pakistan , mendapat
penghargaan dari The Aga Khan Award for Architecture--sebuah
badan dunia milik imam kaum muslimin sekte Isma'iliah yang
berkantor di Jenewa. Mereka mendapat piala Agha Khan plus uang
US$ 78.000---sementara LP3ES (Lembaga penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial), konsultannya, menerima US$
10.000.
Tetapi, arsitektur? Untuk sebuah kompleks miskin yang
keputih-putihan? "Walaupun tak ada penemuan arsitektural yang
luar biasa sekarang ini, lembaga ini (Pabelan) mampu
mengembangkan ekspresi arsitektural yang asli yang menjawab
tuntutan pedesaan modern." Salah satu pertimbangan tersebut
diberikan oleh 9 juri yang terdiri dari para arsitek dan sarjana
dari banyak negara di dunia--termasuk Soedjatmoko, Rektor
Universitas PBB di Tokyo itu.
"Para juri umumnya kagum pada bentuk pendidikan lewat
pesantren seperti yang dilakukan Pabelan," kata Soedjatmoko,
"yang di samping mendidik santri juga me- latih masyarakat
setempat." Itu mencerminkan pertimbangan yang lebih luas di
banding yang umumnya dianggap hanya memperhatikan gedung.
Aktivitas Pabelan kemudian jadi penting.
Pabelan sendiri merupakan satu dari 15 pemenang di seluruh
dunia. Dan dari Indonesia, ia pun tidak sendirian: Pemda DKI
Jakarta juga mendapat--dengan hadiah US$ 40.000. Melihat bahwa
yang dinilai adalah proyek perbaikan kampung Mohammad Husni
Thamrin (MHT), yang dianggapberhasil memberi manfaat tanpa
merusak bentuk-bentuk asli perkampungan, menjadi jelas pula
orientasi Aga Khan Award ini.
Kategori yang diberikan baik kepada Pabelan maupun MHT DKI
adalah 'Bangunan Sosial untuk Pembangunan Arsitektur Masa
Depan'. Keduanya, dengan nilai hadiah berbeda, dianggap searah
dengan masa depan arsitektur Islam yang dicitakan: arsitektur
yang bisa menjawab tantangan ratusan juta rakyat miskin, sesuai
dengan lingkungan asal, dan bukan yang monumental.
Kiai Haji Hamam Dja'far, yang berangkat ke Lahore untuk
upacara "penghor- matan di bawah bulan penuh" di Taman
Shalamar--salah satu peninggalan indah dari Dinasti Mughal
Islam--sudah tentu tidak mengharap hadiah dari mana pun ketika
mempelopori pembentukan kembali pesantren ini, resminya pada
1965. Yang terpikir pada orang muda ini (27 tahun waktu itu),
hanyalah, kira-kira, bagaimana menghidupkan kembali lembaga
pendidikan muslimin khas pribumi yang menyatu dengan masyarakat
sekelilingnya--dan lebih mempertajam kesatuan itu dalam bentuk
hidup dan belajar bersama antara para santri, kiai dan orang
desa.
Nilai yang diemban jelas tetap tradisional--berakar dalam
budaya setempat -- hanya disertai pengarahan. Dari satu segi,
inilah yang menyebabkan Ahdurrahman Wahid misalnya, kolumnis dan
orang Pesantren Tebuireng Jombang yang sedang membangun
Pesantren Ciganjur, Jakarta (dan yang ditulis namanya dalam
berkas Aga Khan Award sebagai konsultan Pabelan), mengatakan
bahwa kemenangan Pabelan "sebenarnya lambang kemenangan
pesantren umumnya."
Sebab pesantren umumnya memang seperti itu: bergerak dalam
paguyuban dengan pendidikan bersistem paguron, di mana kiai
(guru) merupakan tokoh sentral sedang para murid berdiam di sana
bagai anak-anaknya sendiri--sebuah pendidikan 24 jam tanpa perlu
menjanjikan ijazah, dan di atas segalanya: bergaya desa.
Bahkan dalam bentuk yang masih asli, pembagian ruangan
kompleks juga sama: masjid di tengah, rumah kiai sebelah kanan
masjid dan rumah santri sebelah kiri (wayang: Pandawa di kanan,
Kurawa di kiri, dan bertemu dalam "pergulatan ilmu" di
tengah--di masjid), sebuah lapangan di depan masjid, kamar-kamar
para santri lain mengelilingi "pusat" itu, dan kuburan di
belakang masjid. Bayangan ini dalam garis besar masih tampak di
Pabelan.
Toh Pabelan bukan pesantren tradisional. Terpenting
pengajaran di sini, bagian yang formal, diberikan di kelas.
Lebih dari itu inilah barangkali pesantren pertama yang
mencampurkan santri putra dan putri dalam satu kompleks. Di
sini, seorang gadis 13 tahun berdiri di depan kelas dan berucap:
Ladies and gentlemen, assalamu 'alaikum . ." Mereka bercakap
sehari-hari terutama dalam bahasa Arab dan Inggris, dan menulis
dalam majalah tempel yang dipasang di berbagai tempat dalam
edisi tiga bahasa Di sini pula para santri di samping
memperdalam agamanya juga bergelut dengan sawah, kambing dan
alat pertukangan.
Juga membaca berbagai koran dan majalah (perpustakaan di sini
berlangganan tetap) serta mendengar siaran radio luar-negeri dan
sangat penting: mereka didorong menyimpulkan sendiriberbagai
pendapat - yang bisa berbeda-beda--misalnya tentang ajaran dan
hukum keagamaan, setelah diberikan "alat-alat"-nya. Diskusi
menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren yang 24 jam.
Dan untuk seluruh kegiatan itu, sama seperti pesantren
tradisional: mereka tak akan diberi kertas ijazah--apalagi
gelar.
Pesantren Pabelan memang harus dilihat dalam gugusan
"pesantren baru" di tanah air: ia kelanjutan usaha "memodernkan"
lembaga pribumi itu. Keterbukaan pikiran itu misalnya, di
samping penguasaan bahasa asing, bisa dicari jejaknya sampai ke
Pesantren Gontor, Ponorogo, yang didirikan 1926 oleh KH Ahmad
Sahal (alm.), KH Zainuddin Fanani (alm.) dan KH Zarkasyi--tiga
cicit Ki Ageng Anom Basori, yang mendirikan pesantren di Desa
Jetis, 5 km dari situ, di abad XVIII. Sistem kelas memang
kemudian banyak dipakai berbagai pesantren--setelah didirikannya
madrasah, pertama kali oleh Muhammadiyah (berdiri 1912), yang
agaknya mentang dimaksud memberi alternatif lain di samping
pesantren. Memang, akhirnya madrasah yang menyediakan asrama
dengan siswa yang datang dari luar kota menjadi tak ubahnya
sebuah pesantren --seperti Madrasah Diniyah Putri dari Encik
Rahmah El Yunusiyah di Padang Panjang, yang berumur tak jauh
berbeda dengan Pesantren Gontor.
Tapi pada pesantren tradisional, sistem kelas hampir selalu
dipakai hanya sebagai tambahan bagi sistem sorogan, weton,
bandungan atau pasaran. Ini memang jenis pengajaran "asli":
jenjang pendidikan ditentukan oleh judul kitab standar yang
dibaca sendiri-sendiri di depan kiai, dibaca bersama atau
dikuliahkan secara masal. Di Pesantren Pabelan seperti juga di
Gontor, sistem asli inilah yang justru merupakan tambahan bagi
sistem kelas: tidak diwajibkan, toh disediakan.
Tapi segi lain dari Pabelan--ketrampilan--adalah buah
perkembangan baru berikutnya. Benar, ciri pesantren dahulu
memang mendidik murid untuk berdiri sendiri dan mengurus dirinya
sendiri, belajar kitab menurut pilihannya pada kiai sambil
belajar bekerja dengan membantu sang guru. Hanya, rupanya
perkembangan mutu ilmu keagamaan, dan terutama makin banyaknya
jumlah santri akibat pertambahan penduduk, menggeser fungsi
tersebut ke belakang dan memunculkan pesantren hampir semata
sebagai tempat mengaji kitab-kitab.
Tetapi sebelum Dr. Mukti Ali men jadi Menteri Agama di tahun
1970-an, dan menyarankan ketrampilan sebagai "milik pesantren
yang dilupakan", kesadaran perlunya pendidikan ketrampilan
tentunya sudah terdapat. 1960 misalnya sebuah kompleks sekolah
pertanian Islam dengan nama pesantren dibangun di Ciampea,
Bogor, di tanah seluas 10,5 ha-Pesantren Darul Fallah yang maju.
Berbagai pesantren tradisional kemudian juga meniru jalan
yang ditempuh Pesantren Suryalaya misalnya--pondok yang berdasar
tarekat (tasauf) aliran Qadiriah-Naqsyabandiyah di pedusunan
Tasikmalaya--yang membuat dan yang mampu mengairi 200 ha sawah
penduduk, punya perkebunan dan sekaligus memberikan praktek
pertanian kepada para santri. Apalagi pesantren yang bekerja
sama dengan LP3ES seperti 'An Nu qoyah' di Guluk-guluk, Sumenep,
Madura.
OH ada yang membedakan Pabelan dari "pesantren
berketrampilan" lain. Kiai Hamam sendiri, seperti bisa
disimpulkan dari penuturan Habib Chrizin (yang dalam berkas The
Aga Khan for Architecture disebut sebagai deputy Kiai Hamam),
mulai bukan sebagai pemberi pelajaran agama yang lazim. Di
antara pelajaran yang pertama diberikan kepada 35 jebolan SD dan
SLP --yang dikumpulkan di rumahnya, sebab belum ada ruang
kelas--adalah menanam pohon jeruk. "Dan itulah ngaji," Habib
berkata. Sebab Kiai tidak menganut pembagian "ilmu agama" dan
"ilmu umum": tak ada misalnya persentase pelajaran agama yang
25% seperti di Darul Fallah Bogor, tak ada pula penambahan
pelajaran ketrampilan "sebagai imbangan" seperti pada pesantren
tradisional misalnya.
Di Pabelan, yang aktual kelihatannya memang bukan hadis Nabi
yang berbunyi "berbuatlah untuk duniamu seakan kau hidup abadi,
dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan kau mati besok" yang boleh
disangka membagi hidup menjadi dua kotak, dan oleh Habib
dikatakan "diucapkan Nabi melihat kepada siapa beliau bicara".
Melainkan kredo muslim yang dibaca dalam salat "Bahwa salatku,
ibadahku, hidupku, matiku, semua bagi Allah Tuhan Semesta".
Hidup adalah ibadah, dan dengan begitu menuntut kepandaian--apa
pun juga--adalah "ngaji".
Itu berarti, filosofinya, keseluruhan hidup itu merupakan
penjabaran ajaran agama.
SATU misal. Dalam Kitab-kitab fiqh bukan main banyaknya
perbincangan tentang air dan kebersihan. Tapi penduduk Pabelan,
yang tak punya sumur, hanya sekali-sekali mandi di sungai yang
bisa 1 km jauhnya. Karena itu kiai mengajar para santri: mereka
"sedang menjabarkan ajaran tentang air" ketika meminta bantuan
ITB buat mengajar para santri untuk bersama-sama membuat pompa
hidram, dan menaikkan air dari Sungai Pabelan setinggi 12 meter
ke kompleks pesantren Dan berdirilah WC maupun kamar mandi umum
untuk masyarakat sekitar, di samping terpenuhinya kebutuhan para
santri.
Perbedaan kedua: usaha sosial itu bukan semata-mata dimaksud
memberi manfaat kepada lingkungan. Melainkan bersama-sama dengan
penduduk sekitar hidup dalam "masyarakat belajar" yang diharap
optimal. Di sini sebenarnya hanya terdapat satu perbedaan antara
santri dan penduduk: yang pertama juga menuntut ilmu dalam
kelas, sementara yang kedua tidak. Namun, setidak-tidaknya,
daerah pesantren adalah daerah lewatan penduduk, sementara
pekarangan penduduk daerah lewatan para santri: batas pinggir
kompleks pondok memang tidak jelas. "Dan tidak mungkin dibikin
jelas," kata Muhammad Balya, seorang ustaz.
Kalaupun itu hanya masalah tata kompleks yang mungkin akan
berubah, setidak- nya pergaulan akrab bisa dilihat dari proses
belajar mengajar ini orang desa diajar bertukang oleh para ustaz
dan santri yang dahulu diajar oleh tukang desa, lalu orang desa
mengajar para santri berikutnya, dan bersama mereka mendirikan
bangunan kelas, asrama atau lainnya. Yang orang desa dibayar,
yang santri tidak. Itulah sebabnya selain masjid, semua bangunan
di situ plus perabotnya dibuat sendiri oleh " santri asrama" dan
"santri desa". Tak heran bila Ustaz Moh. Balya tadi bilang
"Kelas hanya 1/4 dari kehidupan pesantren yang sebenarnya. "
Dan di tengah bangunan yang sama modelnya itu pula mereka
bersama mengelola Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM). Ini
merupakan pembantu rumah sakit: para santri dan penduduk
dilatih tiga bulan oleh dokter--mereka menjadi "mantri" untuk
berbagai penyakit ringan, dan mengajak penduduk ke rumah sakit
bila pcnyakitnya menurut mereka hanya bisa ditangani dokter.
Usaha seperti ini barangkali saja mendapat sedikit penunjang
setelah dipilihnya seorang santri, Mokhtar Abbas, bekas
mahasiswa ITB asal Aceh, menjadi Kepala Desa Pabelan.
Sementara itu dalam kompleks sendiri kesejahteraan santri,
termasuk makan, diusahakan dengan sistem koperasi. Para santri
sendiri yang menentukan berapa mereka harus membayar per
bulan--Sekarang ini Rp 6,5 ribu, lengkap dengan biaya
belajar--meskipun mereka lebih dipuji bila membavar in natura
"Sebab mereka tidak makan uang, melainkan nasi," kata seorang
ustaz. Dan dari koperasi ini pula para guru makan mereka memang
tidak dibayar, kecuali uang transport. Memang, tentunya uang itu
cukup buat pembeli sabun atau kadang-kadang mengganti dasi semua
guru, yang pria, dalam Kelas memakai dasi--untuk menghormati
pelajaran", menurut Habib --meski orang luar biasanya
tercengang.
Dengan pendidikan yang, menurut Habib lagi, "bukan
pendidikan karier melainkan pelayanan sosial," memang bisa orang
berpikir: tidakkah segi akademis mundur ke belakang? Orang
misalnya membandingkannya, kalau tidak dengan pesantren
tradisional yang mengajarkan kitab-kitab kuno, dengan
Gontor--yang tidak merasa perlu menerima tawaran LP3ES buat
kerja sama itu.
TAPI secara formal, tingkat pelajaran di sini sama dengan di
Gontor atau banyak tempat lain., Di sini kelas 1-3 setingkat
dengan Tsanawiyah dan SMP, sementara kelas 3-6 setingkat dengan
'Aliyah dan SPG. Dan, seperti pernah dikatakan Kiai Hamam
sendiri, Pabelan sudah sukses bila berhasil memberikan
kunci-kunci kepada santri. Dan kunci-kunci itu dalam kenyataan
adalah: bahasa Arab (dan Inggris), semangat terbuka untuk segala
pendapat dan penemuan, dan latihan hidup. Dengan itu seorang
lulusan boleh menjadi apa saja--sementara bertukang atau bertani
itu hanya pemberi kemungkinan. Maksud pertama memang bukan
sekolah ketrampilan. Karena itu dari para santri yang 32,8%
berlatar-belakang petani 31,4% pedagang dan 30,7% pegawai dan
militer itu, ada yang melanjutkan ke IKIP, IAIN atau lainnya.
Banyak sekali yang pulang ke desa dan merintis usaha di sana.
Ada pula, ternyata, seorang lulusan yang jadi pramugari Garuda.
Tidak, jangan dikira para siswa di sini kelewat tegang dan
letih. Di ruang ruang makan, para guru wanita (16 dari 48)
mendadak berubah menjadi "pelayan" para santri (lelaki maupun
wanita) yang tiba-tiba kelihatan sebagai adikadik mereka.
Seorang gadis kecil, santri baru lulusan SD, menangis karena
rindu rumah. Seorang ustazah datang dan mengajaknya
ngobrol-ngobrol. Para santri itu bermain gitar, bongkar pasang
radio, ikut kesenian. Bioskop? "Kalau perlu kita semua
nonton--satu kelompok," kata Habib--bukan nonton sendirian untuk
"segala film".
Toh Khaerul Umam, sutradara AI Kautsar itu, melaksanakan
pengambilan filmnya di sini. "Khaerul Umam-lah yang mengecat
mahkota masjid itu," kata Habib, menunjuk ke puncak. Dan itu
bukan satu-satunya kesempatan mereka menyaksikan seniman seperti
Rendra atau para bintang film. Arifin C. Nur dan rombongannya
bulan puasa dulu memberi lokakarya teater di sini.
Umar Kayam, datang dan bisa mengobrol semalam suntuk dengan
Kiai. Ayip Rosidi, ketua Dewan Kesenian Jakarta, datang ke sini
lebih dulu sebelum menempatkan putri-putrinya-- dan sekarang
menjadi besan Kiai Hamam: putrinya kawin dengan adik Kiai.
Pelukis Nashar pun memutuskan mengirim anaknya ke sini--di
samping KH E.Z. Muttaqin, Ketua Majlis Ulama Jawa Barat.
Sebuah bis dengan 50 orang masuk, dan turunlah para tamu
luar kota. Tamu seperti ini merupakan langganan. Tapi juga tamu
luar negeri, dari organisasi pemuda atau sosial misalnya. Bahkan
Ivan Illich, pemikir besar penulis Desbooling Society yang
terkenal itu. V.S. Naipaul, novelis Inggris terkemuka yang
dicalonkan untuk hadiah Nobel, ingin pula menengok sesudah
melihat Afghanistan.
Dan jangan lupa Pater Mangunwijaya lebih dari sekali datang
ke sini bersama romo-romo temannya. Ki Sarino Mangunpranoto
pemilik sekolah bergaya tradisional di Ungaran, sering ke sini.
Dan anak-anak seminari Katolik dari Kentungan, Yogya, pernah
pula menginap di sini.
"Semua itu ada gemanya untuk para santri," kata Habib.
Karena dunia luas dengan itu terbuka--dari sebuah tempat kecil,
miskin, yang tanpa banyak diduga menarik perhatian orang-orang
di luar.
Adalah Sidney Jones, anggota staf Ford Foundation, yang
sebermula mengajukan usulan untuk kemenangan pesantren ini. Juga
Farukh Afshar, arsitek Iran, yang tinggal beberapa hari di
Pabelan dan membuat berbagai potret kompleks. Ia konsultan
arsitektur yang biasa diminta meneliti calon pemenang. Juga
Hasan-Ud-Din Khan, anggota Yayasan Agha Khan, yang malah ingin
membuat jurnal tentang arsitektur.
Mudah-mudahan saja arsitektur pesantren memang masih banyak
yang tidak "rusak". Diketahui, sebagai perbandingan dengan
Pabelan, bahwa semangat di belakang para pengurus pesantren --
tradisional sekalipun -- sebenarnya semangat membikin gedung,
bahkan bertingkat. Bangunan pesantren menjadi makin lama makin
menyolok dibanding rumah-rumah SeKitar yang boleh jadi merana,
seperti dikatakan Abdurrahman Wahid.
Dengan areal yang makin lama makin sempit, unsur kelapangan
lantas luput dari perhatian. Pondok Krapyak (Yogya) yang maju
misalnya, terasa sesak jarak berbagai bangunan riuh rendah,
istimewa dengan bangunan bertingkatnya.
Justru dalam pengaturan jarak itu Pabelan dinilai unggul:
memberi perasaan nyaman dalam pemandangan, di samping
"penggunaan sumber, bahan dan teknologi lokal, dan usaha
mengintegrasikan tradisi dengan unsur-unsur modern," seperti
tertulis dalam berkas pertimbangan. Disayangkan bahwauntuk
kompleks yang enak itu, yang tanpa gedung bertingkat dan tanpa
AC, terdapat pula bangunan baru dari beton yang tidak mengarah
nilai tradisional. "Tapi itu bantuan dari pejabat yang dibikin
oleh pemborong," kata Dawam Rahardjo, direktur LP3ES membela.
Soalnya tentu, orang ingin tampak "modern" -- walaupun
seandainya hanya kulit. Terakhir bahkan terdengar kabar: balai
desa di Pabelan sendiri, yang bangunan pesantrennya sudah
dihargai karena integrasinya dengan lingkungannya yang miskin,
merencanakan membikin pagar halaman dari tembok dan besi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini