Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pesantren Pabelan, Penghargaan ...

Pesantren pabelan, magelang yang didirikan oleh kiai hamam pada th 1965, mendapat penghargaan 'the aga khan award for architecture'. (ag)

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH tempat yang tampak miskin. Sebuah kompleks dengan atap-atap seng, tanah berpasir keputih-putihan dan dinding-dinding setengah tembok atau kayu, dengan kawat ram yang kasar sebagai ganti jendela. Seperti sekumpulan kandang ternak, hanya sangat bersih, menyebar di tanah 5 ha berpusat pada sebuah masjid sangat bersahaja yang berumur satu setengah abad. Kolam tua di kiri kanan masjid, pohnn-pohon berbagai jenis yang sebagian meranggas, dan sebuah lapangan utama di depan masjid, melengkapi kesan sebuah kompleks perguruan silat yang tersembunyi di tanah pegunungan. Dan di sinilah tinggal 1.113 pendekar,368 orang dari mereka perempuan. Pondok Pesantren Pabelan, sebuah dusun di Muntilan, sekitar 6 km dari Candi Borobudur memang mengesankan sebuah kubu bagi penempaan "ilmu dalam". Dan kompleks itulah yang 23 Oktober kemarin, dalam sebuah serernoni di Lahore, pakistan , mendapat penghargaan dari The Aga Khan Award for Architecture--sebuah badan dunia milik imam kaum muslimin sekte Isma'iliah yang berkantor di Jenewa. Mereka mendapat piala Agha Khan plus uang US$ 78.000---sementara LP3ES (Lembaga penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), konsultannya, menerima US$ 10.000. Tetapi, arsitektur? Untuk sebuah kompleks miskin yang keputih-putihan? "Walaupun tak ada penemuan arsitektural yang luar biasa sekarang ini, lembaga ini (Pabelan) mampu mengembangkan ekspresi arsitektural yang asli yang menjawab tuntutan pedesaan modern." Salah satu pertimbangan tersebut diberikan oleh 9 juri yang terdiri dari para arsitek dan sarjana dari banyak negara di dunia--termasuk Soedjatmoko, Rektor Universitas PBB di Tokyo itu. "Para juri umumnya kagum pada bentuk pendidikan lewat pesantren seperti yang dilakukan Pabelan," kata Soedjatmoko, "yang di samping mendidik santri juga me- latih masyarakat setempat." Itu mencerminkan pertimbangan yang lebih luas di banding yang umumnya dianggap hanya memperhatikan gedung. Aktivitas Pabelan kemudian jadi penting. Pabelan sendiri merupakan satu dari 15 pemenang di seluruh dunia. Dan dari Indonesia, ia pun tidak sendirian: Pemda DKI Jakarta juga mendapat--dengan hadiah US$ 40.000. Melihat bahwa yang dinilai adalah proyek perbaikan kampung Mohammad Husni Thamrin (MHT), yang dianggapberhasil memberi manfaat tanpa merusak bentuk-bentuk asli perkampungan, menjadi jelas pula orientasi Aga Khan Award ini. Kategori yang diberikan baik kepada Pabelan maupun MHT DKI adalah 'Bangunan Sosial untuk Pembangunan Arsitektur Masa Depan'. Keduanya, dengan nilai hadiah berbeda, dianggap searah dengan masa depan arsitektur Islam yang dicitakan: arsitektur yang bisa menjawab tantangan ratusan juta rakyat miskin, sesuai dengan lingkungan asal, dan bukan yang monumental. Kiai Haji Hamam Dja'far, yang berangkat ke Lahore untuk upacara "penghor- matan di bawah bulan penuh" di Taman Shalamar--salah satu peninggalan indah dari Dinasti Mughal Islam--sudah tentu tidak mengharap hadiah dari mana pun ketika mempelopori pembentukan kembali pesantren ini, resminya pada 1965. Yang terpikir pada orang muda ini (27 tahun waktu itu), hanyalah, kira-kira, bagaimana menghidupkan kembali lembaga pendidikan muslimin khas pribumi yang menyatu dengan masyarakat sekelilingnya--dan lebih mempertajam kesatuan itu dalam bentuk hidup dan belajar bersama antara para santri, kiai dan orang desa. Nilai yang diemban jelas tetap tradisional--berakar dalam budaya setempat -- hanya disertai pengarahan. Dari satu segi, inilah yang menyebabkan Ahdurrahman Wahid misalnya, kolumnis dan orang Pesantren Tebuireng Jombang yang sedang membangun Pesantren Ciganjur, Jakarta (dan yang ditulis namanya dalam berkas Aga Khan Award sebagai konsultan Pabelan), mengatakan bahwa kemenangan Pabelan "sebenarnya lambang kemenangan pesantren umumnya." Sebab pesantren umumnya memang seperti itu: bergerak dalam paguyuban dengan pendidikan bersistem paguron, di mana kiai (guru) merupakan tokoh sentral sedang para murid berdiam di sana bagai anak-anaknya sendiri--sebuah pendidikan 24 jam tanpa perlu menjanjikan ijazah, dan di atas segalanya: bergaya desa. Bahkan dalam bentuk yang masih asli, pembagian ruangan kompleks juga sama: masjid di tengah, rumah kiai sebelah kanan masjid dan rumah santri sebelah kiri (wayang: Pandawa di kanan, Kurawa di kiri, dan bertemu dalam "pergulatan ilmu" di tengah--di masjid), sebuah lapangan di depan masjid, kamar-kamar para santri lain mengelilingi "pusat" itu, dan kuburan di belakang masjid. Bayangan ini dalam garis besar masih tampak di Pabelan. Toh Pabelan bukan pesantren tradisional. Terpenting pengajaran di sini, bagian yang formal, diberikan di kelas. Lebih dari itu inilah barangkali pesantren pertama yang mencampurkan santri putra dan putri dalam satu kompleks. Di sini, seorang gadis 13 tahun berdiri di depan kelas dan berucap: Ladies and gentlemen, assalamu 'alaikum . ." Mereka bercakap sehari-hari terutama dalam bahasa Arab dan Inggris, dan menulis dalam majalah tempel yang dipasang di berbagai tempat dalam edisi tiga bahasa Di sini pula para santri di samping memperdalam agamanya juga bergelut dengan sawah, kambing dan alat pertukangan. Juga membaca berbagai koran dan majalah (perpustakaan di sini berlangganan tetap) serta mendengar siaran radio luar-negeri dan sangat penting: mereka didorong menyimpulkan sendiriberbagai pendapat - yang bisa berbeda-beda--misalnya tentang ajaran dan hukum keagamaan, setelah diberikan "alat-alat"-nya. Diskusi menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren yang 24 jam. Dan untuk seluruh kegiatan itu, sama seperti pesantren tradisional: mereka tak akan diberi kertas ijazah--apalagi gelar. Pesantren Pabelan memang harus dilihat dalam gugusan "pesantren baru" di tanah air: ia kelanjutan usaha "memodernkan" lembaga pribumi itu. Keterbukaan pikiran itu misalnya, di samping penguasaan bahasa asing, bisa dicari jejaknya sampai ke Pesantren Gontor, Ponorogo, yang didirikan 1926 oleh KH Ahmad Sahal (alm.), KH Zainuddin Fanani (alm.) dan KH Zarkasyi--tiga cicit Ki Ageng Anom Basori, yang mendirikan pesantren di Desa Jetis, 5 km dari situ, di abad XVIII. Sistem kelas memang kemudian banyak dipakai berbagai pesantren--setelah didirikannya madrasah, pertama kali oleh Muhammadiyah (berdiri 1912), yang agaknya mentang dimaksud memberi alternatif lain di samping pesantren. Memang, akhirnya madrasah yang menyediakan asrama dengan siswa yang datang dari luar kota menjadi tak ubahnya sebuah pesantren --seperti Madrasah Diniyah Putri dari Encik Rahmah El Yunusiyah di Padang Panjang, yang berumur tak jauh berbeda dengan Pesantren Gontor. Tapi pada pesantren tradisional, sistem kelas hampir selalu dipakai hanya sebagai tambahan bagi sistem sorogan, weton, bandungan atau pasaran. Ini memang jenis pengajaran "asli": jenjang pendidikan ditentukan oleh judul kitab standar yang dibaca sendiri-sendiri di depan kiai, dibaca bersama atau dikuliahkan secara masal. Di Pesantren Pabelan seperti juga di Gontor, sistem asli inilah yang justru merupakan tambahan bagi sistem kelas: tidak diwajibkan, toh disediakan. Tapi segi lain dari Pabelan--ketrampilan--adalah buah perkembangan baru berikutnya. Benar, ciri pesantren dahulu memang mendidik murid untuk berdiri sendiri dan mengurus dirinya sendiri, belajar kitab menurut pilihannya pada kiai sambil belajar bekerja dengan membantu sang guru. Hanya, rupanya perkembangan mutu ilmu keagamaan, dan terutama makin banyaknya jumlah santri akibat pertambahan penduduk, menggeser fungsi tersebut ke belakang dan memunculkan pesantren hampir semata sebagai tempat mengaji kitab-kitab. Tetapi sebelum Dr. Mukti Ali men jadi Menteri Agama di tahun 1970-an, dan menyarankan ketrampilan sebagai "milik pesantren yang dilupakan", kesadaran perlunya pendidikan ketrampilan tentunya sudah terdapat. 1960 misalnya sebuah kompleks sekolah pertanian Islam dengan nama pesantren dibangun di Ciampea, Bogor, di tanah seluas 10,5 ha-Pesantren Darul Fallah yang maju. Berbagai pesantren tradisional kemudian juga meniru jalan yang ditempuh Pesantren Suryalaya misalnya--pondok yang berdasar tarekat (tasauf) aliran Qadiriah-Naqsyabandiyah di pedusunan Tasikmalaya--yang membuat dan yang mampu mengairi 200 ha sawah penduduk, punya perkebunan dan sekaligus memberikan praktek pertanian kepada para santri. Apalagi pesantren yang bekerja sama dengan LP3ES seperti 'An Nu qoyah' di Guluk-guluk, Sumenep, Madura. OH ada yang membedakan Pabelan dari "pesantren berketrampilan" lain. Kiai Hamam sendiri, seperti bisa disimpulkan dari penuturan Habib Chrizin (yang dalam berkas The Aga Khan for Architecture disebut sebagai deputy Kiai Hamam), mulai bukan sebagai pemberi pelajaran agama yang lazim. Di antara pelajaran yang pertama diberikan kepada 35 jebolan SD dan SLP --yang dikumpulkan di rumahnya, sebab belum ada ruang kelas--adalah menanam pohon jeruk. "Dan itulah ngaji," Habib berkata. Sebab Kiai tidak menganut pembagian "ilmu agama" dan "ilmu umum": tak ada misalnya persentase pelajaran agama yang 25% seperti di Darul Fallah Bogor, tak ada pula penambahan pelajaran ketrampilan "sebagai imbangan" seperti pada pesantren tradisional misalnya. Di Pabelan, yang aktual kelihatannya memang bukan hadis Nabi yang berbunyi "berbuatlah untuk duniamu seakan kau hidup abadi, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan kau mati besok" yang boleh disangka membagi hidup menjadi dua kotak, dan oleh Habib dikatakan "diucapkan Nabi melihat kepada siapa beliau bicara". Melainkan kredo muslim yang dibaca dalam salat "Bahwa salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semua bagi Allah Tuhan Semesta". Hidup adalah ibadah, dan dengan begitu menuntut kepandaian--apa pun juga--adalah "ngaji". Itu berarti, filosofinya, keseluruhan hidup itu merupakan penjabaran ajaran agama. SATU misal. Dalam Kitab-kitab fiqh bukan main banyaknya perbincangan tentang air dan kebersihan. Tapi penduduk Pabelan, yang tak punya sumur, hanya sekali-sekali mandi di sungai yang bisa 1 km jauhnya. Karena itu kiai mengajar para santri: mereka "sedang menjabarkan ajaran tentang air" ketika meminta bantuan ITB buat mengajar para santri untuk bersama-sama membuat pompa hidram, dan menaikkan air dari Sungai Pabelan setinggi 12 meter ke kompleks pesantren Dan berdirilah WC maupun kamar mandi umum untuk masyarakat sekitar, di samping terpenuhinya kebutuhan para santri. Perbedaan kedua: usaha sosial itu bukan semata-mata dimaksud memberi manfaat kepada lingkungan. Melainkan bersama-sama dengan penduduk sekitar hidup dalam "masyarakat belajar" yang diharap optimal. Di sini sebenarnya hanya terdapat satu perbedaan antara santri dan penduduk: yang pertama juga menuntut ilmu dalam kelas, sementara yang kedua tidak. Namun, setidak-tidaknya, daerah pesantren adalah daerah lewatan penduduk, sementara pekarangan penduduk daerah lewatan para santri: batas pinggir kompleks pondok memang tidak jelas. "Dan tidak mungkin dibikin jelas," kata Muhammad Balya, seorang ustaz. Kalaupun itu hanya masalah tata kompleks yang mungkin akan berubah, setidak- nya pergaulan akrab bisa dilihat dari proses belajar mengajar ini orang desa diajar bertukang oleh para ustaz dan santri yang dahulu diajar oleh tukang desa, lalu orang desa mengajar para santri berikutnya, dan bersama mereka mendirikan bangunan kelas, asrama atau lainnya. Yang orang desa dibayar, yang santri tidak. Itulah sebabnya selain masjid, semua bangunan di situ plus perabotnya dibuat sendiri oleh " santri asrama" dan "santri desa". Tak heran bila Ustaz Moh. Balya tadi bilang "Kelas hanya 1/4 dari kehidupan pesantren yang sebenarnya. " Dan di tengah bangunan yang sama modelnya itu pula mereka bersama mengelola Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM). Ini merupakan pembantu rumah sakit: para santri dan penduduk dilatih tiga bulan oleh dokter--mereka menjadi "mantri" untuk berbagai penyakit ringan, dan mengajak penduduk ke rumah sakit bila pcnyakitnya menurut mereka hanya bisa ditangani dokter. Usaha seperti ini barangkali saja mendapat sedikit penunjang setelah dipilihnya seorang santri, Mokhtar Abbas, bekas mahasiswa ITB asal Aceh, menjadi Kepala Desa Pabelan. Sementara itu dalam kompleks sendiri kesejahteraan santri, termasuk makan, diusahakan dengan sistem koperasi. Para santri sendiri yang menentukan berapa mereka harus membayar per bulan--Sekarang ini Rp 6,5 ribu, lengkap dengan biaya belajar--meskipun mereka lebih dipuji bila membavar in natura "Sebab mereka tidak makan uang, melainkan nasi," kata seorang ustaz. Dan dari koperasi ini pula para guru makan mereka memang tidak dibayar, kecuali uang transport. Memang, tentunya uang itu cukup buat pembeli sabun atau kadang-kadang mengganti dasi semua guru, yang pria, dalam Kelas memakai dasi--untuk menghormati pelajaran", menurut Habib --meski orang luar biasanya tercengang. Dengan pendidikan yang, menurut Habib lagi, "bukan pendidikan karier melainkan pelayanan sosial," memang bisa orang berpikir: tidakkah segi akademis mundur ke belakang? Orang misalnya membandingkannya, kalau tidak dengan pesantren tradisional yang mengajarkan kitab-kitab kuno, dengan Gontor--yang tidak merasa perlu menerima tawaran LP3ES buat kerja sama itu. TAPI secara formal, tingkat pelajaran di sini sama dengan di Gontor atau banyak tempat lain., Di sini kelas 1-3 setingkat dengan Tsanawiyah dan SMP, sementara kelas 3-6 setingkat dengan 'Aliyah dan SPG. Dan, seperti pernah dikatakan Kiai Hamam sendiri, Pabelan sudah sukses bila berhasil memberikan kunci-kunci kepada santri. Dan kunci-kunci itu dalam kenyataan adalah: bahasa Arab (dan Inggris), semangat terbuka untuk segala pendapat dan penemuan, dan latihan hidup. Dengan itu seorang lulusan boleh menjadi apa saja--sementara bertukang atau bertani itu hanya pemberi kemungkinan. Maksud pertama memang bukan sekolah ketrampilan. Karena itu dari para santri yang 32,8% berlatar-belakang petani 31,4% pedagang dan 30,7% pegawai dan militer itu, ada yang melanjutkan ke IKIP, IAIN atau lainnya. Banyak sekali yang pulang ke desa dan merintis usaha di sana. Ada pula, ternyata, seorang lulusan yang jadi pramugari Garuda. Tidak, jangan dikira para siswa di sini kelewat tegang dan letih. Di ruang ruang makan, para guru wanita (16 dari 48) mendadak berubah menjadi "pelayan" para santri (lelaki maupun wanita) yang tiba-tiba kelihatan sebagai adikadik mereka. Seorang gadis kecil, santri baru lulusan SD, menangis karena rindu rumah. Seorang ustazah datang dan mengajaknya ngobrol-ngobrol. Para santri itu bermain gitar, bongkar pasang radio, ikut kesenian. Bioskop? "Kalau perlu kita semua nonton--satu kelompok," kata Habib--bukan nonton sendirian untuk "segala film". Toh Khaerul Umam, sutradara AI Kautsar itu, melaksanakan pengambilan filmnya di sini. "Khaerul Umam-lah yang mengecat mahkota masjid itu," kata Habib, menunjuk ke puncak. Dan itu bukan satu-satunya kesempatan mereka menyaksikan seniman seperti Rendra atau para bintang film. Arifin C. Nur dan rombongannya bulan puasa dulu memberi lokakarya teater di sini. Umar Kayam, datang dan bisa mengobrol semalam suntuk dengan Kiai. Ayip Rosidi, ketua Dewan Kesenian Jakarta, datang ke sini lebih dulu sebelum menempatkan putri-putrinya-- dan sekarang menjadi besan Kiai Hamam: putrinya kawin dengan adik Kiai. Pelukis Nashar pun memutuskan mengirim anaknya ke sini--di samping KH E.Z. Muttaqin, Ketua Majlis Ulama Jawa Barat. Sebuah bis dengan 50 orang masuk, dan turunlah para tamu luar kota. Tamu seperti ini merupakan langganan. Tapi juga tamu luar negeri, dari organisasi pemuda atau sosial misalnya. Bahkan Ivan Illich, pemikir besar penulis Desbooling Society yang terkenal itu. V.S. Naipaul, novelis Inggris terkemuka yang dicalonkan untuk hadiah Nobel, ingin pula menengok sesudah melihat Afghanistan. Dan jangan lupa Pater Mangunwijaya lebih dari sekali datang ke sini bersama romo-romo temannya. Ki Sarino Mangunpranoto pemilik sekolah bergaya tradisional di Ungaran, sering ke sini. Dan anak-anak seminari Katolik dari Kentungan, Yogya, pernah pula menginap di sini. "Semua itu ada gemanya untuk para santri," kata Habib. Karena dunia luas dengan itu terbuka--dari sebuah tempat kecil, miskin, yang tanpa banyak diduga menarik perhatian orang-orang di luar. Adalah Sidney Jones, anggota staf Ford Foundation, yang sebermula mengajukan usulan untuk kemenangan pesantren ini. Juga Farukh Afshar, arsitek Iran, yang tinggal beberapa hari di Pabelan dan membuat berbagai potret kompleks. Ia konsultan arsitektur yang biasa diminta meneliti calon pemenang. Juga Hasan-Ud-Din Khan, anggota Yayasan Agha Khan, yang malah ingin membuat jurnal tentang arsitektur. Mudah-mudahan saja arsitektur pesantren memang masih banyak yang tidak "rusak". Diketahui, sebagai perbandingan dengan Pabelan, bahwa semangat di belakang para pengurus pesantren -- tradisional sekalipun -- sebenarnya semangat membikin gedung, bahkan bertingkat. Bangunan pesantren menjadi makin lama makin menyolok dibanding rumah-rumah SeKitar yang boleh jadi merana, seperti dikatakan Abdurrahman Wahid. Dengan areal yang makin lama makin sempit, unsur kelapangan lantas luput dari perhatian. Pondok Krapyak (Yogya) yang maju misalnya, terasa sesak jarak berbagai bangunan riuh rendah, istimewa dengan bangunan bertingkatnya. Justru dalam pengaturan jarak itu Pabelan dinilai unggul: memberi perasaan nyaman dalam pemandangan, di samping "penggunaan sumber, bahan dan teknologi lokal, dan usaha mengintegrasikan tradisi dengan unsur-unsur modern," seperti tertulis dalam berkas pertimbangan. Disayangkan bahwauntuk kompleks yang enak itu, yang tanpa gedung bertingkat dan tanpa AC, terdapat pula bangunan baru dari beton yang tidak mengarah nilai tradisional. "Tapi itu bantuan dari pejabat yang dibikin oleh pemborong," kata Dawam Rahardjo, direktur LP3ES membela. Soalnya tentu, orang ingin tampak "modern" -- walaupun seandainya hanya kulit. Terakhir bahkan terdengar kabar: balai desa di Pabelan sendiri, yang bangunan pesantrennya sudah dihargai karena integrasinya dengan lingkungannya yang miskin, merencanakan membikin pagar halaman dari tembok dan besi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus