IA adalah orang ketiga yang dipangigil ke panggung -- setelah
Piek Mulyadi dan Darrundono dari Pemda DKI, untuk mcnerima
Hadiah Arsitektur Aga Khan . Berpakaian setelan jas warna gelap
seperti yang diminta panitia, Hamam Dja'far malam itu merupakan
satu-satunya pemenang Indonesia yang mengenakan peci hitam.
Malam itu, 23 Oktober 1980, panggung khusus yang didirikan di
Taman Shalimar, Lahore, terang-benderang oleh lampu. Begitu
menerima piagam dan pialaAgha Khan, Hamam mengangkatnya tinggi.
Gemuruh tepuk tangan menyambutnya.
Siapakah Kiai Hamam? Gagasan-gagasannya lebih lanjut, yang
menambah penge- nalan kepada pesantrennya, direkam dalam
wawancara Susanto Pudjomartono dari TEMPO yang berangkat ke dan
tinggal di Lahore bersama-sama.
Saya memilih pesantren karena menurut Islam, konsep hidup
adalah ibadah. Manusia Isram harus responsif terhadap
keterpanggilan kebutuhan, harus mempunyai feeling yang tajam.
Ayat pertama dalam Al Quran adalah Iqra telitilah. Ini berarti
orang harus tahu medan, harus tahu yang dikerjakan.
Pesantren Pabelan berdiri resmi 1965. Sebelum itu selama
beberapa bulan saya mendatangi para tokoh tua dan muda di
Pabelan untuk berunding dan menanyakan: sebetulnya kita ini mau
apa?
Hasilnya, 28 Agustus 1965 hari Sabtu Pahing (weton saya) jam
14.00, ditunggui para tokoh tua dan muda itu, bertempat di
Masjid Pabelan1 saya resmikan dibukanya Pesantren Pabelan.
Jumlah santri pertama 35 orang. Tanpa modal sama sekali.
Karena butuh dana, 35 santri pertama itu saya ajak ke Sungai
Pabelan. Saya tunjukkan pada mereka batu di sepanjang sungai.
"Batu ini belum Islam. Batu ini baru berguna dan berfungsi kalau
sudah menjadi bangunan. Atau kalau dijual dan hasilnya digunakan
untuk mencari ilmu. Berfungsi itulah Islam.
Jadilah kami mendirikan perusahaan leveransir batu dan pasir
yang dijual ke AKABRI. Kemudian kami juga mengerjakan sawah
milik orang-orang kaya secara bagi hasil. Kami buka kursus Panca
Usaha Tani, dengan pengajar dari Dinas Pertanian setempat.
Kemudian kami menanam jeruk, pisang dan lain-lain.
Sekalipun sudah resmi berdiri pesantren, mereka belum
mendapat pelajaran secara tetap. Saya mengajar pada saat
istirahat dari kerja, di mana saja--di sawah, di pinggir sungai.
Antara lain saya tekankan bahwa orang hidup harus berfungsi.
Motto yang saya tanamkan waktu itu: "Takut mati jangan hidup,
takut hidup mati saja." Jadi tidak menyesal.
Pelajaran di kelas I kemudian dilakukan di rumah bapak saya.
Sampai 1970 pelajaran gratis, asal semua mau bekerja. Dari hasil
menjual batu dan pasir, kami membeli peralatan. Kemudian bisa
membeli kayu. Kemudian, ternyata, kami tak bisa membuat papan
tulis sendiri. Lalu kami undang instruktur untuk melatih kami
semua. Yang kami buat pertama papan tulis--supaya dibawa ke
mana-mana untuk mengajar.
Yang saya ajarkan pertama adalah Surah Al-Ma'un dalam Quran:
"Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama? Yaitu
mereka yang tidak mau menolong anak yatim, dan tidak mau
mengajak memikirkan makanan orang miskin." Dari ajaran itu kami
bentuk Badan Amil Zakat yang mengumpulkan 1/10 dari harta hasil
bumi. Sampai sekarang badan ini tetap ada, dan persediaan gabah
kami sampai beberapa ton.
Di Pabelan saya ini juga petani, juga tukang, guru, peternak
. . . Saya mulamula terpilih sebagai tokoh tani tingkat
kecamatan, kemudian kabupaten, lalu provinsi, kemudian 1967-an
sebagai tokoh tani nasional.
PESANTREN Pabelan memang agak khas: ia tak lepas dari
Lingkungannya. Di sini juga dididik santri putri. Alasannya,
mendidik seorang putri berarti mendidik dia, anak-anaknya, juga
suaminya--seluruh keluarganya. .juga dididik santri dari
berbagai "suku terasing" seperti Nias, Kalimantan Tengah, Irian
Jaya, Timor Timur, bahkan ada juga yang dari Tengger (dan dewasa
ini baru datang dua orang putri Muangthai red). Mereka kami
minta dari Dirjen Bimas Islam.
Hamam Dja'far adalah keturunan ke-6 dari Kiai Mohammad Ali
bin Kiai Kertotaruno, yang menurut penduduk sekitar merupakan
keturunan Sunan Giri 11. Masjid di Pabelan itu didirikan oleh
Kiai Ali tersebut atau ayahnya.
Hamam pernah belajar di berbagai pondok pesantren, antara
lain Gontor. 1962-1965 ia bahkan pergi ke Jakarta "untuk tahu
seluk-beluk politik". Pernah mengikuti perjalanan keliling
berbagai tokoh seperti Idham Chalid, Ali Sastroamidjojo dan
Aidit. Pendapatnya: Para politisi ternyata tidak seperti yang
saya harapkan. Karena itu saya memutuskan bergerak di bidang
pendidikan. Pernah saya ditawari diangkat menjadi anggota DPR.
Saya tolak. Pendidikan adalah bidang saya."
Waktu saya mendirikan pesantren, saya bertekad bahwa, bila
dalam 5 tahun saya tidak berhasil, saya akan berusaha menjadi
penulis yang baik. Kalau tidak ya berusaha agar menjadi orang
kaya-agar bisa melaksanakan cita-cita saya. Ternyata
alhamdulillah pesantren berhasil. "
"Saya beranggapan orang tidak perlu belajar ke Mesir atau
Arab Saudi. Di sana tidak ada lembaga pendidikan yang baik".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini