Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mengislamkan Batu Di Kali

Berdirinya pondok pesantren pabelan, magelang pada th 1965 yang dirintis oleh kiai hamam dja'far, tanpa modal, dengan 35 orang santri. pelajaran gratis, asal semua mau bekerja, hasilnya untuk pesantren.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA adalah orang ketiga yang dipangigil ke panggung -- setelah Piek Mulyadi dan Darrundono dari Pemda DKI, untuk mcnerima Hadiah Arsitektur Aga Khan . Berpakaian setelan jas warna gelap seperti yang diminta panitia, Hamam Dja'far malam itu merupakan satu-satunya pemenang Indonesia yang mengenakan peci hitam. Malam itu, 23 Oktober 1980, panggung khusus yang didirikan di Taman Shalimar, Lahore, terang-benderang oleh lampu. Begitu menerima piagam dan pialaAgha Khan, Hamam mengangkatnya tinggi. Gemuruh tepuk tangan menyambutnya. Siapakah Kiai Hamam? Gagasan-gagasannya lebih lanjut, yang menambah penge- nalan kepada pesantrennya, direkam dalam wawancara Susanto Pudjomartono dari TEMPO yang berangkat ke dan tinggal di Lahore bersama-sama. Saya memilih pesantren karena menurut Islam, konsep hidup adalah ibadah. Manusia Isram harus responsif terhadap keterpanggilan kebutuhan, harus mempunyai feeling yang tajam. Ayat pertama dalam Al Quran adalah Iqra telitilah. Ini berarti orang harus tahu medan, harus tahu yang dikerjakan. Pesantren Pabelan berdiri resmi 1965. Sebelum itu selama beberapa bulan saya mendatangi para tokoh tua dan muda di Pabelan untuk berunding dan menanyakan: sebetulnya kita ini mau apa? Hasilnya, 28 Agustus 1965 hari Sabtu Pahing (weton saya) jam 14.00, ditunggui para tokoh tua dan muda itu, bertempat di Masjid Pabelan1 saya resmikan dibukanya Pesantren Pabelan. Jumlah santri pertama 35 orang. Tanpa modal sama sekali. Karena butuh dana, 35 santri pertama itu saya ajak ke Sungai Pabelan. Saya tunjukkan pada mereka batu di sepanjang sungai. "Batu ini belum Islam. Batu ini baru berguna dan berfungsi kalau sudah menjadi bangunan. Atau kalau dijual dan hasilnya digunakan untuk mencari ilmu. Berfungsi itulah Islam. Jadilah kami mendirikan perusahaan leveransir batu dan pasir yang dijual ke AKABRI. Kemudian kami juga mengerjakan sawah milik orang-orang kaya secara bagi hasil. Kami buka kursus Panca Usaha Tani, dengan pengajar dari Dinas Pertanian setempat. Kemudian kami menanam jeruk, pisang dan lain-lain. Sekalipun sudah resmi berdiri pesantren, mereka belum mendapat pelajaran secara tetap. Saya mengajar pada saat istirahat dari kerja, di mana saja--di sawah, di pinggir sungai. Antara lain saya tekankan bahwa orang hidup harus berfungsi. Motto yang saya tanamkan waktu itu: "Takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja." Jadi tidak menyesal. Pelajaran di kelas I kemudian dilakukan di rumah bapak saya. Sampai 1970 pelajaran gratis, asal semua mau bekerja. Dari hasil menjual batu dan pasir, kami membeli peralatan. Kemudian bisa membeli kayu. Kemudian, ternyata, kami tak bisa membuat papan tulis sendiri. Lalu kami undang instruktur untuk melatih kami semua. Yang kami buat pertama papan tulis--supaya dibawa ke mana-mana untuk mengajar. Yang saya ajarkan pertama adalah Surah Al-Ma'un dalam Quran: "Tahukah kamu siapakah orang yang mendustakan agama? Yaitu mereka yang tidak mau menolong anak yatim, dan tidak mau mengajak memikirkan makanan orang miskin." Dari ajaran itu kami bentuk Badan Amil Zakat yang mengumpulkan 1/10 dari harta hasil bumi. Sampai sekarang badan ini tetap ada, dan persediaan gabah kami sampai beberapa ton. Di Pabelan saya ini juga petani, juga tukang, guru, peternak . . . Saya mulamula terpilih sebagai tokoh tani tingkat kecamatan, kemudian kabupaten, lalu provinsi, kemudian 1967-an sebagai tokoh tani nasional. PESANTREN Pabelan memang agak khas: ia tak lepas dari Lingkungannya. Di sini juga dididik santri putri. Alasannya, mendidik seorang putri berarti mendidik dia, anak-anaknya, juga suaminya--seluruh keluarganya. .juga dididik santri dari berbagai "suku terasing" seperti Nias, Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Timor Timur, bahkan ada juga yang dari Tengger (dan dewasa ini baru datang dua orang putri Muangthai red). Mereka kami minta dari Dirjen Bimas Islam. Hamam Dja'far adalah keturunan ke-6 dari Kiai Mohammad Ali bin Kiai Kertotaruno, yang menurut penduduk sekitar merupakan keturunan Sunan Giri 11. Masjid di Pabelan itu didirikan oleh Kiai Ali tersebut atau ayahnya. Hamam pernah belajar di berbagai pondok pesantren, antara lain Gontor. 1962-1965 ia bahkan pergi ke Jakarta "untuk tahu seluk-beluk politik". Pernah mengikuti perjalanan keliling berbagai tokoh seperti Idham Chalid, Ali Sastroamidjojo dan Aidit. Pendapatnya: Para politisi ternyata tidak seperti yang saya harapkan. Karena itu saya memutuskan bergerak di bidang pendidikan. Pernah saya ditawari diangkat menjadi anggota DPR. Saya tolak. Pendidikan adalah bidang saya." Waktu saya mendirikan pesantren, saya bertekad bahwa, bila dalam 5 tahun saya tidak berhasil, saya akan berusaha menjadi penulis yang baik. Kalau tidak ya berusaha agar menjadi orang kaya-agar bisa melaksanakan cita-cita saya. Ternyata alhamdulillah pesantren berhasil. " "Saya beranggapan orang tidak perlu belajar ke Mesir atau Arab Saudi. Di sana tidak ada lembaga pendidikan yang baik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus