Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bansos Dahulu, Rasuah Kemudian

3 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANTUAN sosial sebagai sarana mendistribusikan anggaran pembangunan sebetulnya bukan gagasan yang keliru. Mengatasi penentuan proyek secara bottom-up lewat pelbagai musyawarah—dari desa sampai pusat plus tender ini dan itu sehingga memakan waktu—bantuan sosial ditentukan dari atas ke bawah. Undang-undang mengizinkan bupati atau gubernur memberikan bantuan sosial kepada lembaga yang membutuhkannya. Karena itu, memperbaiki masjid yang rusak atau membiayai turnamen olahraga, dalam batas anggaran tertentu, dianggap lebih cepat dikerjakan lewat bantuan sosial ketimbang mengharapkan dana cair lewat pelbagai tender. Kelemahan bantuan sosial adalah pertanggungjawabannya yang longgar.

Di tangan pemimpin yang rakus, gagasan sebaik apa pun selalu punya celah untuk "diakali". Sudah kerap kita dengar: lembaga pemohon bantuan sosial ternyata abal-abal—beralamat di kuburan atau lapangan sepak bola. Dana bantuan juga kerap dipakai untuk menyuap pemilih, terutama oleh pemimpin lokal yang ingin terpilih kembali dalam pemilu daerah. Karena itulah Presiden Joko Widodo memutuskan menghentikan penyaluran bantuan ini.

Terjadi di banyak daerah, penyalahgunaan bantuan kini terulang di Sumatera Utara. Syahdan, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap pengacara Otto Cornelis Kaligis, yang diduga menyuap hakim. Rasuah diberikan agar hakim memenangkan gugatan Kepala Biro Keuangan Provinsi Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis terhadap kejaksaan tinggi yang tengah mengusut korupsi dana bantuan sosial. Ahmad menggugat kejaksaan karena tak terima diperiksa sebagai saksi.

Pengusutan dugaan korupsi bantuan sosial itu telah berlangsung sejak 2011—ketika Sumatera Utara dipimpin Gatot Pujo Nugroho, pelaksana tugas gubernur menggantikan Syamsul Arifin, yang masuk penjara akibat menyelewengkan anggaran. Gatot diduga memakai dana bantuan untuk kampanye dalam pemilihan gubernur pada 2013. Penyidikan jaksa terhadap anggaran Sumatera Utara periode itu menunjukkan pemakaian dana bantuan tak sesuai dengan aturan.

Memakai teknik "makan bubur panas", kejaksaan mengusut dugaan korupsi dari pinggir. Itulah sebabnya yang lebih dulu masuk penjara adalah pejabat kecil, seperti ajudan dan staf. Penyelidikan merambat ke Ahmad Fuad Lubis ketika ia menjadi bendahara umum daerah tiga bulan lalu. Lewat pengakuan para tersangka, terungkap bahwa besel diberikan untuk melokalisasi penyidikan agar tak sampai ke Gubernur Gatot. Dari Ahmad diketahui bahwa sumber uang adalah Gatot sendiri. Pekan lalu, KPK menetapkan Gatot dan istrinya, Evi Susanti, sebagai tersangka.

Agar penyidikan berlangsung efektif, kejaksaan sepatutnya menyerahkan pengusutan korupsi bantuan sosial Sumatera Utara ini kepada KPK. Selama ini Komisi menjadi tumpuan harapan pengusutan korupsi, sementara jaksa dan polisi dianggap bersekutu dengan para koruptor. Dengan penyerahan ini, Komisi dapat menangani dua kasus dalam sekali hela. Gatot dapat dijerat dua kesalahan sekaligus: penyalahgunaan dana bantuan dan suap hakim.

Apalagi ada kecurigaan hakim dan jaksa "bermain api" dalam pengusutan perkara ini. Bertele-telenya pengusutan hingga memakan waktu lebih dari empat tahun telah memantik wasangka bahwa jaksa dan hakim telah menjadikan mereka yang dicurigai terlibat sebagai ATM. Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh mengabaikan sinyalemen ini. Penegak hukum yang terlibat harus diusut.

Para pengacara lancung harus selekasnya dilibas. Sudah lama jadi omongan, mereka kerap potong kompas untuk memenangkan gugatan: menyuap polisi, jaksa, dan hakim agar kliennya memenangi perkara.

Pengusutan yang tuntas dan selekas-lekasnya terhadap perkara suap ini akan menjadi peringatan bagi kepala daerah lain. Hari-hari ini politik daerah mulai menghangat menjelang pemilihan serentak pada Desember nanti. Bukan tak mungkin para inkumben memanfaatkan bantuan sosial yang bisa mereka atur semaunya menjadi sumber pendanaan kampanye.

KPK harus menjadikan perkara di Sumatera Utara sebagai momentum membasmi penyeleweng dana bantuan. Persaingan dalam pemilihan kepala daerah serentak hendaknya dimanfaatkan Komisi dalam mencari "pembocor" dan justice collaborator. KPK hendaknya juga menelusuri hingga ke hulu—partai politik penyokong para kandidat. Sudah jamak terdengar, korupsi pemilihan kepala daerah dengan menggunakan dana bantuan sosial kerap mendapat "restu" partai. Pada beberapa kasus, duit itu juga mengalir ke para pengurus organisasi politik tersebut.

Politik yang didanai dengan uang korupsi akan melahirkan pemimpin yang korup dan kemaruk. Jika terbukti, perkara Gubernur Gatot adalah contoh sempurna tentang korupsi yang dilakukan lintas generasi. Setelah sejumlah pendahulunya terperosok di lubang korupsi, "sang penerus" kini terjerembap di kubangan yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus