Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gempa yang menghancurkan Pulau Nias di Sumatera Utara adalah tragedi nasional. Meski gempa berkekuatan 8,7 pada skala Richter ini digolongkan oleh pemerintah sebagai "bencana daerah", ketidakberdayaan kita membantu korban dengan cepat adalah musibah tersendiri. Bukannya pemerintah tidak cepat tanggap atau kepedulian kita berkurang, namun apa yang kita miliki ternyata jauh dari memadai. Tepat apa yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah tidak lamban, tetapi memang tidak bisa berbuat banyak karena kita tak punya sarana yang cukup. Ini kekurangan kita secara nasional.
Dengan agak berterus terang, kita bangsa yang miskin. Kita tak cukup punya anggaran untuk memiliki sarana yang diperlukan dalam situasi darurat seperti ini. Apalagi kalau bencana terjadi di daerah terpencil semacam Pulau Nias. Untuk membawa peralatan berat ke sana, dibutuhkan waktu.
Sekarang kita menyadari kemiskinan dan kekurangan kita untuk mengurusi wilayah yang demikian luas. Untuk menolong warga Nias, pemerintah Singapura langsung mengirimkan tiga helikopter Chinook beserta satuan militer untuk evakuasi medis, menyusul sebuah pesawat transpor C-130 yang membawa pasukan tambahan dan logistik. Lalu, apa yang dilakukan oleh pemerintah kita sendiri? Militer kita tidak memiliki helikopter yang memadai, apalagi untuk segera diterjunkan ke Nias. Jusuf Kalla juga hanya bisa bertanya, berapa sih kita punya pesawat Hercules. Padahal Singapura itu negeri yang wilayahnya hanya satu pulau, dan tidak luas pula. Bandingkan dengan wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Peralatan militer kita mengenaskan, dan ketika kita dihadapkan pada bencana seperti yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, kita semakin sadar bahwa militer bukan cuma mesin perang. Militer juga ujung tombak dalam situasi darurat bencana.
Itu baru pertolongan darurat untuk evakuasi korban. Untuk pertolongan medis pun kita hanya bisa mengandalkan alat tradisional seperti membuat rumah sakit di bawah tenda. Karena rumah sakitnya darurat, kendala lainnya menjadi banyak, butuh air bersih yang cukup, butuh penerangan listrik yang cukup, dan sebagainya. Untungnya, banyak negara yang ingin membantu. Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, segera mengarahkan kapalnya yang berfungsi sebagai rumah sakit terapung berlayar ke Nias.
Bantuan dari negara maju dan negara tetangga, termasuk badan dunia seperti PBB, memang mempercepat pemulihan keadaan darurat di daerah bencana. Tapi, untuk masa depan, kita seharusnya memikirkan peralatan dan sarana standar untuk bisa bergerak cepat jika ada bencana. Kita harus selalu ingat bahwa kita hidup dalam potensi bencana gempa yang tinggi. Dan kawasan potensi gempa itu sendiri merata di seluruh wilayah Indonesia. Dalam catatan para pakar gempa, tak ada wilayah di Indonesia yang benar-benar aman dari gempa.
Dalam kaitan ini, menarik sekali pemikiran untuk membenahi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), termasuk melengkapi badan ini dengan alat-alat canggih yang bisa mendeteksi terjadinya bencana alam susulan akibat gempa bumi seperti tsunami. Meskipun kita selalu terlambat—lagi-lagi karena alasan kurangnya dana yang menunjukkan betapa miskinnya negeri ini—pemerintah sudah menganggarkan dana untuk membeli peralatan itu. Jika peralatan itu telah terpasang, akan dibentuk sistem peringatan dini secara nasional, dan BMG akan menjadi ujung tombaknya. Sistem peringatan dini nasional ini akan ditingkatkan menjadi sistem peringatan dini regional, yang artinya tersambung dengan sistem serupa di negeri tetangga yang sudah lebih dulu memilikinya.
Peralatan boleh canggih, tetapi bagaimana manusia-manusia di belakang peralatan itu? Konon, dalam kasus gempa di Nias yang terjadi tengah malam itu, BMG sudah mengadakan kajian beberapa saat setelah gempa, dan mengirimkan hasil kajiannya ke beberapa instansi lewat faksimile. Rupanya, para pejabat di instansi terkait masih tidur nyenyak dan baru membaca hasil kajian BMG setelah jam kantor buka.
Tidak jelas, seberapa benar "rumor" ini. Yang jelas, Kepala BMG Gunawan Ibrahim sudah dipanggil Presiden Yudhoyono, Jumat pekan lalu, untuk mempercepat terbentuknya sistem peringatan dini nasional itu. Esok harinya BMG langsung mengadakan rapat untuk merumuskan sistem. Dalam sistem ini akan dilibatkan Departemen Informasi dan Komunikasi, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Dalam Negeri, dan Kepolisian Negara. Adapun Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi membentuk satuan tugas di daerah rawan gempa dan bersiaga 24 jam.
Bencana alam adalah misteri, dan hanya Tuhan yang tahu kapan datangnya. Kewajiban kita untuk selalu waspada agar tidak ada korban jatuh akibat kelalaian belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo