Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi sudah membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional pada 2022.
Hingga kini tidak terdengar suaranya dan tidak terlihat aksi nyatanya.
Penanganan kekeringan perlu perencanaan matang dan berkelanjutan.
Totok Siswantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah banyak dibentuk lembaga yang bertugas memitigasi bencana kekeringan, tapi kinerjanya belum optimal dan bahkan masih ada yang saling berpangku tangan. Dewan Sumber Daya Air Nasional, misalnya, seharusnya sangat proaktif dalam mengatasi bencana kekeringan yang sedang melanda di berbagai daerah saat ini.
Efek El Nino seharusnya dapat dimitigasi dengan baik. Dampak yang paling signifikan dari El Nino adalah bencana kekeringan, yang membuat makhluk hidup sengsara, bahkan binasa. Bukankah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memperingatkan hal itu jauh hari dan kondisi perubahan iklim sudah nyata terjadi?
Komunikasi pengurangan risiko bencana perlu digencarkan hingga menjadi budaya. Komunikasi mitigasi bencana selama ini terlalu teknis sehingga banyak masyarakat yang kurang paham. Bermacam teknologi sebenarnya telah diterapkan untuk mitigasi bencana, tapi sifatnya terlalu ilmiah sehingga kurang menyentuh pikiran publik.
Kekeringan ini semestinya sudah dianggap sebagai bencana nasional. Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana, salah satu langkah yang penting dilakukan untuk mengurangi risiko bencana adalah melalui mitigasi bencana, yakni serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Presiden Joko Widodo membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional pada 2022. Presiden menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk memimpin organisasi tersebut. Namun, sejak terbentuk, Dewan Sumber Saya Air tidak terdengar suaranya dan tidak terlihat aksi nyatanya.
Kekeringan yang sedang mendera berbagai daerah menyebabkan aktivitas bercocok tanam menjadi stagnan. Kekeringan mengakibatkan jumlah pengangguran di perdesaan meningkat. Selain itu, usaha peternakan rakyat terkena imbasnya karena peternak kesulitan mencari pakan rumput dan dedaunan serta air untuk memberi minum ternak mereka.
Kekeringan merupakan siklus tahunan yang seharusnya bisa diantisipasi dengan baik sehingga dampak buruknya tidak terulang. Namun antisipasi terhadap kekeringan selalu diabaikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Hal itu terlihat dari semakin banyaknya infrastruktur pengairan yang dibiarkan rusak karena belum mendapat porsi anggaran yang memadai. Debit air sungai juga terus merosot, bahkan banyak sungai yang kering kerontang akibat rusaknya lingkungan daerah aliran sungai.
Komunitas internasional sudah bersepakat bahwa kekeringan merupakan bencana alam yang membutuhkan penanganan dan tahap tanggap darurat. Pemerintah pusat dan daerah perlu memiliki sistem manajemen kekeringan, disertai platform untuk penanganan bencana. Kerja sama lintas disiplin ilmu dan antar-lembaga diperlukan untuk menemukan solusi yang kredibel, yang meliputi aspek teknis dan sosial-ekonomi yang tepat.
Dari domain ilmu pengetahuan, kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dari biasanya atau kondisi normal yang terjadi berkepanjangan hingga mencapai satu musim atau lebih panjang sehingga mengakibatkan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air. Dengan demikian, kekeringan terjadi dalam konteks iklim yang mengandung pengulangan dan terjadi di semua rezim iklim, di wilayah dengan curah hujan kecil ataupun besar. Penyimpangan yang terjadi bersifat sementara, tidak seperti wilayah kering lainnya (aridity) yang iklimnya bersifat permanen dan bercurah hujan kecil.
Kekeringan selalu dihubungkan dengan waktu, seperti keterlambatan awal musim hujan, tingkat pertumbuhan tanaman, serta parameter hujan, seperti intensitas dan jumlah kejadian hujan. Jadi, setiap kejadian kekeringan bersifat unik dalam karakteristik iklim dan dampak.
Keparahan kekeringan (drought severity) tidak hanya berhubungan dengan durasi, intensitas, dan sebaran spasial, tapi juga pada kebutuhan air manusia dan tanaman yang ada dalam sistem wilayah suplai air. Kejadian kekeringan sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta sulit diidentifikasi dan dikuantifikasi.
Kita perlu bertanya kepada BMKG dan Dewan Air, apa program penanganan yang menyeluruh dan tindakan mitigasi terpadu yang mengarah pada sistem penanggulangan kekeringan dalam manajemen risiko? Masyarakat jangan dikelabui dengan program yang tidak esensial atau sementara belaka. Masyarakat tidak butuh program populis dalam mengatasi bencana kekeringan, melainkan perlu solusi yang mendasar dan berkelanjutan karena penanganan kekeringan selama ini hilang begitu saja ketika musim hujan tiba. Padahal musim kekeringan berikutnya bisa lebih parah. Selama ini pemerintah terlalu menganggap bahwa negeri ini memiliki sumber daya air yang sangat melimpah sehingga mengabaikan sistem manajemen kekeringan.
Kekeringan juga menjadi problem serius di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, yang membentuk Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional (NDMC) yang dikoordinasi perguruan tinggi, seperti University of Nebraska-Lincoln. Tugas utama badan tersebut adalah membantu masyarakat dan instansi atau lembaga pemerintah mengembangkan serta melaksanakan tindakan untuk mengurangi kerawanan akibat kekeringan. Diperkirakan, setiap tahun, sebanyak 17 persen dari wilayah Amerika mengalami kekeringan parah. Hasil kerja NDMC telah dirasakan masyarakat, terutama dalam membantu perencanaan penanganan kekeringan, tindakan mitigasi proaktif, dan kerja sama dengan pakar kekeringan.
Negara lain yang sangat serius menangani masalah kekeringan adalah India. Negara ini mengalami frekuensi kekeringan yang semakin besar akhir-akhir ini. Untuk mencapai suatu sistem monitoring yang berdaya guna, jaringan pos dari berbagai instansi dan antar-negara bagian di India dipadukan secermat mungkin sehingga peta kekeringan dapat digambarkan secara rinci. Dalam hal ini mereka menggunakan indeks kekeringan presipitasi (SPI), indeks untuk menentukan penyimpangan curah hujan dalam suatu periode waktu berdasarkan presipitasi, yakni kondensasi uap air di atmosfer. Pemerintah India berhasil memperkirakan SPI untuk berbagai skala waktu dan dipetakan untuk melihat sebaran spasialnya guna menjalankan tindakan sosial dan solusi teknologi pengairan.
SPI telah digunakan di berbagai negara sebagai alat untuk memantau kekeringan. Lokakarya Indeks dan Sistem Peringatan Dini Kekeringan di University of Nebraska-Lincoln pada 2009 melahirkan Deklarasi Lincoln tentang Indeks Kekeringan, yang menyatakan bahwa SPI akan mencerminkan sifat kekeringan meteorologi di seluruh dunia. Kelebihan SPI adalah datanya sederhana, tapi mampu menjelaskan kekeringan dalam skala waktu, mengandung standardisasi, serta dapat mengindikasikan kering dan basah dengan cara yang sama.
Secara teoretis, Indonesia memiliki potensi sumber daya air nomor lima terbesar di dunia. Namun keberlimpahan air itu tak ada artinya ketika infrastruktur pengairan kurang dan bahkan daya dukung bendungan untuk penyediaan air irigasi, sanitasi, pembangkit listrik, dan industri banyak yang bermasalah karena rusaknya ekosistem daerah aliran sungai dan hancurnya hutan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo