Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Berburu Kosakata Indonesia

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Sahidah

  • Pengajar Pascasarjana Institut Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur

    MENGAPA seseorang harus merasa menggunakan atau menyelipkan kata Inggris di antara kalimat bahasa Indonesia? Karena kekurangan kosakata, memang sengaja untuk sebuah efek, atau sekadar citra belaka?

    Sebuah pertunjukan wicara (lazim dikenal sebagai talk show) di televisi. Acara yang sering disiarkan secara langsung (lazim disebut live) ini sangat penting untuk menciptakan ruang bagi khalayak untuk memahami isu hangat. Dalam acara Coffee Break di TV One pada April lalu, pembawa acara mewawancarai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Mochammad Jasin. Namun tulisan ini tidak akan mengurai perdebatan tentang korupsi, melainkan penggunaan bahasa dalam acara tersebut. Mari mulai dari nama acara, Coffee Break, yang ditambahi dengan cogan obrol­an curhat dan inspiring. Seharusnya kita bisa mengganti nama tayangan itu dengan Jeda Kopi dan kata inspiring bisa diganti dengan penuh ilham. Bukankah menyatukan kata obrolan, curhat, dan tiba-tiba inspiring menimbulkan keanehan?

    Yang memprihatinkan, tamu undangan sering kali menyisipkan bahasa Inggris di sana-sini. Pembawa acara dan narasumbernya sepatutnya menyampaikan masalah yang dibahas dalam bahasa Indonesia yang baik dan mudah dipahami khalayak mengingat talk show merupakan acara umum yang diharapkan dinikmati pemirsa luas. Adalah aneh dalam sebuah pembahasan berbahasa kebangsaan, kita menemukan kosakata asing pembicara, seperti prefer, deterrent effect, treatment, record, logic, complimentary, reformed, dan exemption plan, sedangkan pembawa acaranya menyebut supply and demand, booklet report, dan blue­print.

    Apatah lagi, tema ini penting karena narasumber menyentil pelayanan masyarakat yang diberikan pemerintah acap kali berbalut uang pelicin. Pada waktu yang sama, ia mengkritik perlakuan berbeda yang diberikan Kantor Imigrasi dalam pengurusan paspor. Apa pun alasan yang diberikan, bahwa cepat itu mahal dan lambat itu murah, jelas-jelas melukai keadilan masyarakat. Tentu sebuah penyampaian pesan dari pihak berwenang semestinya menimbang pemirsa terbesar negeri ini. Teori komunikasi paling dasar menunjukkan rangsangan (stimulus) akan melahirkan tanggapan (response). Alih-alih mencerahkan warga kebanyakan, acara seperti ini tak lebih dari kekenesan penampil semata-mata.

    Belum lagi ia melafalkan record dengan /re/ yang berbunyi akhir /é/ pepet, bukan /i/ (seraya disuarakan dengan rikawd), sehingga tuturan dalam wawancara itu makin menggenapkan keteledoran yang bersangkutan dalam berbahasa secara taat asas. Kalaupun ia ingin mengungkapkan bahasa Inggris, semestinya kata itu memang mengandaikan istilah teknis, yang menuntut takrif khusus, misalnya being-in-the-world, sebagai sebuah istilah filsafat eksistensialis yang secara khas menjelaskan cara mengada di dunia ini. Namun apakah arif mengungkapkan kerumitan ini di depan kebanyakan pendengar yang awam itu?

    Mungkin kita bisa memaklumi jika mereka berbicara di depan mahasiswa dan kaum terpelajar, meskipun kita sering bertanya mengapa kebanyakan orang cenderung menyelipkan kosakata bahasa Inggris dalam pembahasan dan percakapan. Apalagi kebanyakan kata tersebut diungkapkan dalam susunan tuturan berbahasa Indonesia dan sudah memiliki padanan kata Indonesia. Bagaimanapun, cara ini tidak akan membantu kita meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Sebab, mereka sok pamer dan salah kaprah bahwa dengan menggunakan bahasa tersebut, mereka telah beranggapan melakukan sesuatu yang ilmiah.

    Padahal keilmiahan itu diukur dari tiga hal pokok, yaitu adanya obyek pembahasan, metodologi, dan temuan. Untuk itu, siapa pun yang ingin terlibat dalam pembahasan sebuah wacana, mereka tidak perlu terperangkap dalam pencitraan yang lancung dengan mengutamakan (tak perlu prefer, bukan?) kejelasan persoalan kajian, pendekatan yang terang, serta gagasan yang disampaikan secara tersusun rapi. Bagaimanapun, pengungkapan kasus Mochammad Jasin di atas tidak dimaksudkan memojokkan pegawai yang bersangkutan, tapi merupakan contoh saja. Betapa banyak narasumber di televisi yang terbiasa menghamburkan kata-kata Inggris, meskipun mereka berbicara dalam bahasa Indonesia dan kata-kata tersebut bisa dicari padanan­nya.

    Demikian pula, TV One adalah hanya salah satu dari sekian banyak televisi kita yang gemar menerakan acara dalam bahasa Inggris, seperti Today’s Dialogue di Metro TV. Tentu media terakhir ini jauh lebih dahsyat dalam mencampuradukkan dua bahasa pada aneka ragam acara. Berbeda dengan Televisi Republik Indonesia. Stasiun ini menyebut Dialog Aktual untuk salah satu tayangan, demikian pula nama-nama acara yang lain sejalan dengan aturan yang baku. Tidak aneh, kita sering menyebut presenter, padahal kata ini tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, 2008. Apakah dengan menyebut penyampai, sebagaimana diterakan pada halaman 1216 kamus tersebut, seseorang tidak bisa menyampaikan berita atau kabar?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus