Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPATU kulit hitam seharga tujuh juta rupiah telah disiapkan. Begitu juga jas warna gelap senilai delapan juta rupiah. Awalnya, busana mahal itu disediakan buat hari istimewa: pelantikan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014. Tapi Patrice Rio Capella, pemiliknya, urung menjadi politikus Senayan. Padahal saya sudah pasti terpilih, tuturnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Hampir dua tahun lalu, Rio maju sebagai calon legislator dari Partai Amanat Nasional untuk daerah pemilihan Bengkulu. Ketika itu menjelang akhir jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Bengkulu. Ia juga memimpin Partai Amanat Nasional di provinsi itu. Empat tahun sebelumnya, Rio juga menjadi calon wakil gubernur Bengkulu. Bekal itu dirasanya kuat untuk bertarung menuju Senayan.
Hasilnya, calon legislator nomor urut satu ini mendulang 33.738 suara dalam pemilihan pada April 2009. Partai matahari biru memperoleh satu kursi di Dewan, dan itu awalnya menjadi hak Rio. Tapi pesaingnya di PAN, calon legislator nomor urut dua, Dewi Coryati, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas perolehan suaranya di Kabupaten Kaur. Menurut aturan, gugatan Dewi diajukan melalui partai. Saya santai saja karena sudah pasti menang, kata Riokini meninggalkan PAN dan menjadi pemimpin Partai Nasional Demokrat.
Kepercayaan berlebih berakibat fatal. Bekas Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Bengkulu Sakroni mengatakan Komisi Pemilihan Umum Bengkulu tak hadir dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Tanpa data pembanding dari Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah menerima gugatan Dewi. Perolehan suara Rio memang bertambah menjadi 34.167. Tapi suara Dewi melonjak drastis dari hanya 20.590 menjadi 34.508. Kursi yang sudah di depan mata Rio melayang.
Rio mencoba menggugat balik putusan Mahkamah Konstitusi. Ia melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Bengkulu. Saya yakin Dewi menggunakan data palsu, katanya. Menurut Rio, Dewi mengambil suara dari calon legislator partai lain untuk menambah perolehan suaranya. Tapi perkembangan kasus ini di kepolisian nihil. Komisi Pemilihan Umum tak bisa berbuat banyak. Kami harus melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, kata Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary.
Dewi Coryati, yang sudah satu setengah tahun menjadi anggota Komisi Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan DPR, membantah memalsukan data. Ia menegaskan, proses pengajuan gugatannya sudah sesuai dengan prosedur. Lagi pula, data yang diajukannya melalui partai telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan Mahkamah sudah final dan mengikat. Tak ada satu kata pun dalam putusan yang menyatakan data itu palsu, katanya.
Dana kampanye Rp 1,7 miliar dan biaya perkara Rp 500 juta yang dikeluarkan Rio pun tak membuahkan hasil. Ia tak jadi duduk di kursi DPR. Hingga kini ia masih berang: Kursi Dewi haram!
HEBOH kursi haram di DPR muncul lagi dalam dua pekan terakhir. Adalah dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan sang ketua, Mahfud Md., sebagai pemicunya. Mahfud mengatakan ada putusan lembaganya yang dipalsukan guna memenangkan sejumlah calon.
Ribut-ribut tentang kursi ilegal itu sebenarnya sudah muncul sejak proses penetapan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum dimulai, Agustus 2009. Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Bambang Eka Cahya Widodo dan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform Hadar Nafis Gumay, yang mengamati proses rekapitulasi suara dan penetapan calon terpilih, mengatakan kebanyakan masalah bersumber pada surat Mahkamah Konstitusi.
Di antaranya surat Mahkamah tentang politikus Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani. Fernita Darwis, saksi partai itu pada saat rekapitulasi suara nasional, ingat semula calon terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I adalah Usman M. Tokan. Sang calon memperoleh 20.728 suara. Tapi belakangan nama Yani yang muncul. Fernita mengaku kaget melihat perubahan itu. Saya tak bisa apa-apa karena hanya bertugas mengamankan kursi partai, bukan siapa pemilik kursi, katanya.
Gugatan Yani menjadi sebab perpindahan kursi. Pengacara Partai Persatuan Pembangunan dalam penyelesaian perkara sengketa hasil pemilihan itu menggugat keputusan KPU ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, perolehan suara partai itu di daerah pemilihan Sumatera Selatan I menjadi 78.478 atau bertambah 10.417 suara. Pada 26 Agustus, KPU menyurati Mahkamah Konstitusi untuk meminta penjelasan perubahan itu. Keputusannya aneh karena suara partai lain tak berkurang. Logikanya, kalau ada penambahan suara, ada suara partai lain yang berkurang, kata Hafiz Anshary.
Balasan surat Mahkamah Konstitusi tak kalah aneh. Alih-alih menjawab perolehan suara partai lain, sehari kemudian surat jawaban yang ditandatangani panitera Zainal Arifin Hoesein malah menyatakan penambahan suara 10 ribu lebih itu milik Yani. Maka jadilah, perolehan suara Yani 28.126. Usman Tokan kemudian menggugat keputusan itu. Tapi Yani tetap melenggang ke DPR.
Sumber Tempo menyebutkan Yanilah yang meminta Mahkamah Konstitusi menulis surat itu ke KPU. Seorang anggota KPU mengatakan sebenarnya lembaganya juga mencurigai putusan Mahkamah Konstitusi yang menambah suara untuk Yani itu. Tapi, pada saat penetapan, KPU belum bisa memastikan adanya permainan. Baru setelah muncul kasus surat palsu, saya curiga, katanya.
Penetapan Ahmad Yani juga sempat diperdebatkan dalam rapat pleno KPU. Seingat saya memang sempat ramai waktu itu, kata Hafiz Anshary. Toh, KPU tak bisa berbuat banyak. Hafiz mengatakan perubahan suara hanya dimungkinkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Yani membantah bermain mata dengan Mahkamah Konstitusi. Ia berkukuh penetapannya sebagai legislator telah memenuhi syarat. Pengaduan Tokan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, menurut dia, juga tak terbukti. Sudah ada surat penghentian penyidikan perkara, katanya. Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Polri, Komisaris Besar Boy Rafli Umar, mengatakan tidak mengikuti perkara ini. Itu kasus lama, ujarnya.
Zainal Arifin juga menilai tak ada masalah dengan surat yang ditandatanganinya. Ia menyatakan hanya menjalankan tugas menjawab surat KPU. Memang penggugatnya adalah partai, jadi kami sebutkan suara itu untuk siapa, katanya. Senada dengan Zainal, Ketua Mahkamah Konstitusi menilai surat itu tak bermasalah. Mahfud menolak berbicara banyak mengenai kasus Yani. Capek bicara gitu-gitu melulu, ia menulis dalam layanan pesan singkat telepon seluler.
ARIF Wibowo, anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mencurigai Komisi Pemilihan Umum terlibat dalam upaya pemindahan kursi yang kisruh ini. Satu buktinya, menurut dia, partai banteng hampir kehilangan kursi di daerah pemilihan Papua milik Manuel Kaisiepo. Komisi menggelar rapat untuk mengubah karena ada suara yang tercecer dan belum masuk rekapitulasi nasional, kata Arif.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Bambang Eka Cahya Widodo membenarkan adanya upaya KPU mengubah kursi DPR di Papua. Kalau saya tidak teriak, pasti kursinya berubah jadi milik partai lain, katanya. Hafiz Anshary menyangkal lembaganya ikut memainkan perubahan kursi. Ia mengakui adanya suara tercecer. Tapi, tanpa putusan Mahkamah Konstitusi, ya tak bisa, katanya.
Bagaimana jika benar sejumlah kursi DPR haram? Hafiz Anshary mengatakan penetapan sudah lewat. Tugas KPU pun selesai sampai pada penetapan itu. Kami belum pernah membatalkan pelantikan, katanya.
Pengembalian kursi untuk mereka yang berhak bisa saja dilakukan. Syaratnya, harus ada putusan pengadilan yang menyatakan terjadi pemalsuan dokumen. Tapi prosesnya lama karena harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap.
Alhasil, kecil kemungkinan Patrice Rio Capella bisa mengenakan jas dan sepatu mahalnya melenggang ke gedung DPR.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo