Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komite Eksekutif Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) memutuskan PSSI segera melaksanakan kongres luar biasa (KLB). Ini setelah Satuan Tugas Antimafia Bola memeriksa pelaksana tugas Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, sebagai tersangka penghancuran barang bukti. Satgas sebelumnya juga menetapkan I4 tersangka, yang semuanya "orang PSSI".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan situasi semacam itu, wajarlah jika kepengurusan PSSI saat ini dibongkar total melalui KLB. Dengan begitu, keadaan darurat persepakbolaan nasional yang dinodai berbagai kasus itu diharapkan dapat diatasi.
Sepanjang 89 tahun sejarah PSSI, belum pernah terjadi polisi memeriksa seorang ketua umum atau pelaksana ketua umum dalam kaitan dengan perkara pidana. Sudah bisa diprediksi Joko Driyono akan berlanjut menjadi tersangka pengaturan skor karena kasus penghancuran barang bukti itu berkaitan dengan kasus mafia bola atau pengaturan skor. Apalagi dari uang Rp 300 juta yang ditemukan polisi di apartemen Joko, Rp I50 juta di antaranya berhubungan dengan pengaturan skor. Kasus ini jelas membawa dampak yang menyulitkan bagi PSSI untuk berkarya dan berkreasi, sehingga wajar dan sudah pada tempatnya jika Komite Eksekutif memutuskan menggelar KLB.
Namun KLB kali ini mesti berbeda dari KLB sebelumnya. Gaya Edy Rahmayadi, Ketua Umum PSSI sejak 2016 yang mundur pada 20 Januari lalu, pada waktu menghadapi KLB pada 10 November 2016 tidak perlu ditiru. Upaya menghimpun kekuatan lewat negosiasi dengan pengurus klub atau Asosiasi PSSI Provinsi tidak perlu lagi dilakukan.
Banyak dari para pengurus itu bermasalah. Dukungan mereka kepada Edy juga lebih untuk kepentingan melanjutkan kiprah mereka menjadikan sepak bola sebagai lahan "bisnis gol". Inilah kekeliruan Edy sehingga ia terjebak di dalam lingkaran kepengurusan yang tak berintegrasi. Akibatnya, selama dua tahun mengelola PSSI, kiprah ER dalam membina pemain dan meningkatkan mutu kompetisi menjadi mentah lagi. Apalagi dilumuri pula dengan permainan mafia bola.
Keputusan Komite Eksekutif untuk melaksanakan KLB jelas sebagai upaya merombak total kepengurusan PSSI. Pemerintah pun tampaknya menaruh perhatian setelah pihak Istana kabarnya sedang mencari tokoh yang pantas menjadi Ketua Umum PSSI yang baru.
Kita batasi diri dulu untuk bicara soal siapa yang pantas dipilih sebagai ketua umum dan anggota Komite Eksekutif. Yang penting adalah bagaimana PSSI harus mempersiapkan diri untuk melaksanakan KLB, mengingat KLB yang akan dilakukan tidak bisa dilepaskan dari keadaan darurat. Jadi temanya jelas harus berkaitan dengan sikap revolusioner para pesertanya. Agaknya bisa meminjam apa yang dikatakan Bung Karno: "Revolusi adalah menjebol dan membangun."
Tema inilah yang sepantasnya diangkat dalam KLB mendatang. Hal inilah yang perlu dimatangkan saat ini. Untuk dapat melaksanakannya, sebaiknya perlu dibangkitkan lebih dulu kesadaran para pemilik suara dalam kongres yang berjumlah 108 orang tersebut.
Edy Rahmayadi pernah menyatakan bahwa "PSSI harus bersih". Tapi, selama dia memimpin PSSI, tubuh PSSI tetap "kotor" dan "berbau" sehingga harus dibersihkan total. Hal inilah yang harus disadari sepenuhnya oleh para pemilik suara dalam kongres nanti. Sebab, di antara 108 pemilik suara itu masih banyak yang bersikap "plinplan", tidak 100 persen berjiwa sepak bola yang sportif.
Dengan adanya KLB PSSI, masyarakat luas, khususnya komunitas persepakbolaan di Tanah Air, harus bisa diberi keyakinan bahwa sudah saatnya persepakbolaan nasional dibongkar total. Sudah terlalu lama PSSI dikangkangi oleh para mafioso, yang menjadikan sepak bola lahan perjudian dan pertaruhan, sehingga prestasi tim nasional hanya sesekali terangkat. Itu pun tidak sesungguhnya sebagai hasil kompetisi murni, tapi berkat permainan "wani piro". Sudah saatnya PSSI dibongkar total.