Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK salah bila dikatakan, perganti an Kepala Kepolisian Republik Indonesia kali ini merupakan peristi wa yang mendapat perhatian luar biasa dari hampir semua pihak—terutama yang mendambakan supremasi hukum di republik yang bulan depan ber usia 65 tahun ini. Apalagi belakangan ini kepolisian mengalami ujian bertubi-tubi, terakhir pengungkapan rekening gedembal sejumlah jenderal yang sampai saat ini belum terang-temarang.
Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang, telah meng ajukan nama delapan perwira tinggi se bagai calon penggantinya ke Komisi Kepolisian Nasional. Komisi ini bertanggung jawab kepada Presiden, dan memang bertugas antara lain memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Kepala Kepolisian. Komisi kelak me milih beberapa nama untuk diajukan ke Presiden, yang selanjutnya akan mencalonkan satu atau dua orang ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Delapan nama perwira tinggi barangkali sedang dite lisik Komisi Kepolisian Nasional. Tetapi, menurut satu sumber, calon pengganti Bambang sudah disiapkan sejak hampir setahun lalu. Satu tim Badan Intelijen Keamanan diturunkan untuk ”menyelidiki kompetensi secara tertutup dengan mengutamakan obyektivitas”. Tim ini menyelidiki lima perwira tinggi, yakni Nanan Soekarna, Oegroseno, Imam Sudjarwo, Timur Pradopo, dan Susno Duadji. Nama terakhir ini, ketika itu, masih menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal.
Masalahnya mulai menarik ketika semua kandidat men dapat penilaian positif. Mereka, misalnya, dinyatakan ”hidup sederhana, harmonis, dan taat beragama”. Sama sekali tidak ada catatan negatif. Jika berita yang tercantum dalam surat yang dinyatakan ”ilegal” itu benar, sesungguhnyalah penilaian itu sangat penting dan mustahak. Alangkah indahnya jika ”tim rekrutmen” membuka sistem dan metode penelitiannya kepada publik, terutama tentang parameter yang digunakan untuk menyimpulkan penilaian tersebut. Sebab, mengukur ”hidup sederhana”, ”harmonis”, dan ”taat beragama” seseorang tentulah bukan perkara gampang. Jika kriteria dan parameter itu dibuka, banyak lembaga rekrutmen lain akan merasa tertolong dalam melaksanakan pekerjaannya.
Dalam kenyataannya, dan secara kasat mata, agak absurd mengenakan label ”hidup sederhana” kepada para ”kandidat” itu. Beberapa di antara mereka memiliki ru mah bernilai miliaran rupiah. Bahkan satu di antara nya, yang kabarnya menduduki peringkat pertama dalam penilaian itu, yakni Susno Duadji, belakangan malah tersangkut masalah hukum yang lumayan pelik dan ruwet. Beberapa nama lagi tercantum da lam daftar pemilik rekening gendut yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, memang telah melakukan semacam clearance menge nai ”rekening berkabut” itu. Tetapi, ha rus diakui, clearance itu malah me ning galkan lagi sejumlah pertanyaan penting. Dengan berlindung di balik Undang-Undang Nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Ke terbukaan Informasi, Kepolisian se olah-olah mempertahankan semacam status quo terhadap pe nyelidikan rekening mencurigakan itu.
Aritonang mengakui, memang masih ada perwira yang belum melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pembe rantasan Korupsi. Kepala Kepolisian telah melayangkan surat edaran kepada para perwira itu untuk segera me laporkan bandanya. Tetapi, Kepolisian juga menyatakan, 17 dari 23 rekening mencurigakan yang ditelisik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terbukti wajar. Dari enam yang tersisa, hanya dua yang terindikasi pidana dan sedang menjalani proses hukum. Dua rekening masih diteliti, satu rekening ditunda karena pemiliknya sedang mengikuti pemilihan bupati, dan satu rekening dinyatakan ”wassalam” karena pemiliknya telah wafat.
Di tengah suasana ”berkabut” ini, apa lagi yang bisa diharapkan dari pergantian seorang Kepala Kepolisian? Satu di antara kriteria yang harus ditegakkan adalah menelusuri sumber kekayaan para kandidat dengan jernih, terbuka, dan jelas tatanan hukumnya. Jika harta itu, misalnya, dinyatakan sebagai hasil usaha, sejauh mana sesungguhnya polisi boleh berusaha? Dalam hal ini, Presiden harus memberi ”jalan” kepada Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tapis terakhir adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan telah menegaskan, kriteria bebas rekening mencurigakan akan menjadi prioritas ketika Dewan melakukan uji kelayakan dan kepatutan kandidat. Kriteria ini tak boleh ditawar.
Dengan mengamendemen Undang-Undang Kepolisian, di masa depan perlu dipikirkan calon Kepala Kepolisian dari luar institusi tersebut, terutama jika kita menginginkan kaum profesional duduk di jabatan publik itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo