Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemberian konsesi buat organisasi masyarakat keagamaan justru menguntungkan perusahaan tambang.
Bisnis pertambangan berisiko membuat keuangan perguruan tinggi berdarah-darah.
Perubahan UU Minerba membuka ruang kriminalisasi bagi masyarakat adat di sektor pertambangan.
PEMBAHASAN revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara yang dilakukan mendadak oleh Dewan Perwakilan Rakyat sungguh mencurigakan dan penuh kejanggalan. Selain prosesnya bermasalah, draf revisi undang-undang ini mengabaikan masyarakat lokal dan mengancam lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat pleno mengenai penetapan pembahasan revisi UU Minerba itu digelar pada Senin malam, 20 Januari 2025, atau pada hari terakhir saat reses. Revisi undang-undang ini bahkan tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2025. Dua hari setelah rapat pleno, DPR menggelar rapat dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelakuan DPR merevisi undang-undang secara ugal-ugalan, tidak transparan, dan dilakukan saat masa reses ini mengingatkan kita pada anggota legislatif periode sebelumnya. Saat itu mereka menghasilkan UU Cipta Kerja yang menguntungkan segelintir pemburu rente. Lima tahun lalu, DPR juga merevisi UU Minerba dalam waktu kilat di tengah masa pandemi dengan memberikan karpet merah kepada korporasi menguasai lahan tambang.
Fokus revisi undang-undang kali ini adalah memberikan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada organisasi keagamaan dan perguruan tinggi. Ketentuan mengenai pemberian WIUP khusus bagi organisasi masyarakat tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024.
Yang kerap luput dari perhatian, pemberian konsesi tambang buat ormas ujung-ujungnya menguntungkan perusahaan tambang. Terganjal oleh kemampuan teknis, ormas akan menjalin kerja sama dengan korporasi. Beberapa dari mereka sebelumnya adalah perusahaan yang wilayah kerjanya terkena penciutan lahan.
Di sisi lain, pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi berisiko mengundang malapetaka. Ketika masuk bisnis pertambangan, kampus berorientasi mengejar profit dan mengabaikan lingkungan. Masalahnya, punya jurusan pertambangan dan mengelola bisnis tambang adalah dua hal yang berbeda. Alih-alih mendorong kemandirian kampus, bisnis tambang berisiko membuat keuangan perguruan tinggi berdarah-darah bila gagal mengelolanya.
Sudah ada contoh di masa lalu saat Institut Pertanian Bogor (IPB University) mendapat hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 100 ribu hektare di Riau. Meski memiliki akademikus dan mahasiswa kehutanan, IPB gagal mengelola HPH tersebut dan melepasnya ke negara.
Patut diduga pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi sebagai upaya pemerintah membungkam suara kritis mahasiswa dan akademikus. Dengan memberikan akses sumber daya alam yang begitu besar, pemerintah bisa mengendalikan atau setidaknya menekan kampus agar tidak mengkritik kebijakan pemerintah, khususnya di sektor pertambangan.
Jika hal itu terjadi, kita akan kehilangan salah satu pilar demokrasi, yaitu kebebasan akademik. Kampus akan menjadi lembaga yang tunduk kepada kekuasaan politik dan ekonomi, bukan lagi sebagai tempat menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Revisi UU Minerba menunjukkan perilaku DPR dan pemerintahan Prabowo Subianto tak berbeda dengan pemerintahan periode sebelumnya, yakni sama-sama bergantung pada industri ekstraktif dan permisif terhadap eksploitasi sumber daya alam. Padahal sejumlah negara di belahan dunia lain mulai meninggalkan bisnis tambang.
Biasanya, ketergantungan pada sektor tambang dibarengi dengan sikap permisif terhadap eksploitasi sumber daya alam. Degradasi lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem, menjadi dampak yang tidak terelakkan. Fenomena ini ditunjukkan oleh mesranya hubungan antara aktor-aktor di lembaga kekuasaan, institusi masyarakat, dan akademikus.
Tak bisa dimungkiri, sektor pertambangan punya kontribusi terhadap pendapatan negara, nilai ekspor, dan penciptaan lapangan kerja. Namun ketergantungan yang berlebihan menciptakan ekonomi monosektor yang rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global sehingga menempatkan negara dalam posisi rentan.
Kebijakan protambang bahkan kerap mengabaikan masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, yang kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam mereka. Perubahan UU Minerba masih membuka ruang kriminalisasi bagi masyarakat adat di sektor pertambangan. Salah satu pasal dalam draf revisi rentan disalahgunakan untuk mempidanakan masyarakat dan menghalangi mereka memperjuangkan haknya.
Proses revisi UU Minerba yang penuh kejanggalan makin menguatkan dugaan adanya kepentingan bisnis di baliknya. Longgarnya regulasi memperkuat posisi korporasi dibanding masyarakat lokal dan berisiko menimbulkan kerusakan ekologis yang lebih parah. ●