Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
DI hari-hari menjelang Ramadan, frasa ”busana muslim” menjadi tren, muncul di mana-mana. Dari gerai-gerai pusat belanja hingga di artikel-artikel media massa. Tren ini akan terus berlangsung hingga Lebaran nanti. Maklum, pada bulan suci dan Lebaran, permintaan akan busana muslim memang tinggi. Banyak orang ingin terlihat lebih religius.
Reaksi ekonomis kenaikan permintaan ini adalah peningkatan suplai. Mulai butik para desainer ternama hingga toko di Tanah Abang menggenjot produksi busana muslim dan lalu mengiklankannya. Para desainer biasanya menggelar peragaan busana sebulan menjelang Ramadan. Pada saat yang sama, toko-toko busana menempel tulisan besar-besar: ”Busana Muslim”.
Pertanyaannya adalah apakah busana muslim itu? Kalau kita tanyakan itu kepada para penjaga toko di Tanah Abang, mereka akan menunjuk baju koko, jubah, jilbab, kaftan, sarung, peci, dan semua yang membuat kita tidak salah kostum saat ikut acara halalbihalal. Pengertian yang sama ada di kepala sebagian besar kita.
Pengertian ini ada benarnya. Setidaknya, secara tekstual, busana muslim bisa diartikan sebagai busana yang dipakai oleh penganut agama Islam (muslim). Tapi, pada saat yang sama, pengertian itu bisa salah jika kita membatasi busana itu hanya dipakai oleh kaum muslim.
Sarung misalnya. Kain yang tak berujung dan berpangkal ini di Indonesia merupakan simbol keislaman. Dulu ada istilah kelompok sarungan untuk kaum santri, sebagai ”lawan” kelompok abangan. Sarung memang merupakan ”seragam” para santri, ustad, dan kiai.
Tapi sarung di tempat lain tidak melulu dipakai orang Islam. Di India, sarung juga dipakai penganut Hindu, sedangkan di Burma atau negara-negara Indocina, sarung dipakai pemeluk Buddha.
Jubah, yang juga menjadi baju kebesaran para kiai, terutama yang sudah pergi ke tanah suci, sejatinya merupakan baju orang Timur Tengah. Para pastor memakai jubah yang sama, demikian juga pendeta Kristen Koptik di Mesir.
Kaftan kurang-lebih sama. Di Asia Selatan, baju ini memang bernama kearab-araban: shalwar-kameez, yang bisa diartikan sebagai celana dan baju. Meski bernama kearaban, busana model ini tidak hanya dipakai oleh Shahrukh Khan yang muslim, tapi juga Amitabh Bachan yang Hindu.
Baju koko, yang kini menjadi seragam majelis taklim, aslinya justru berasal dari Cina. Koko adalah penyebutan lain dari kokoh, kata bahasa Tionghoa yang berarti abang. Ini memang baju pria Tionghoa yang kerap berwarna merah terang dengan hiasan keemasan. Meski warnanya berganti menjadi putih, bentuknya tetap sama: kerah cheongsam, lengan dengan pipa terbuka, dan bagian bawah yang lurus, tidak dimasukkan celana.
Lalu busana muslim itu seperti apa? Jika yang Anda tanyakan adalah gaya atau bentuk tertentu, tidak ada yang dinamakan busana muslim. Jika yang dimaksudkan busana muslim adalah busana yang dipakai penganut Islam berdasarkan ketentuan dari agamanya, itu memang ada. Ada kewajiban menutup aurat dalam Islam. Jika yang Anda tanyakan adalah gaya atau bentuk tertentu, tidak ada yang dinamakan busana muslim. Islam tidak mewajibkan atau mengutamakan umatnya (muslim) mengenakan busana dengan bentuk tertentu. Apa pun bentuk busananya tak jadi masalah selama menutupi aurat. Karena itu, menurut saya, memakai jubah tak lebih islami daripada memakai jas dan dasi.
Bagaimana dengan jilbab? Kisahnya agak berbeda. Meski sejumlah agama lain—seperti Nasrani dan Yahudi—juga menyarankan pemakaiannya, hanya Islam yang benar-benar mewajibkannya. Saya tidak akan masuk dalam perdebatan hukum memakai jilbab. Karena ini kolom tentang bahasa, saya hanya akan menyinggung soal kesalahan penerjemahan jilbab.
Kita mengartikan jilbab sebagai kerudung. Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengartikannya sebagai ”kerudung lebar yang dipakai wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada”.
Padahal, dalam bahasa Arab, jilbab atau jilaabah, berarti jubah, baju panjang dari pundak sampai mata kaki. Sedangkan kerudung yang menutup kepala dikenal sebagai hijaab. Tapi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hijab dimaknai dengan makna tekstualnya: ”dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo