Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI dunia yang melawan Covid-19, di kehidupan yang kalang-kabut menghadapi epidemi, ada sebuah tempat yang dengan cepat—dan gugup—jadi harapan: Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara tiba-tiba tampak sebagai pemegang peran superbesar, sebuah struktur yang pepak, sebundel aturan yang cerewet, sesosok juru selamat yang baik. Dunia berubah. Negara—umumnya berarti pemerintah dan birokrasi yang menyertainya—kini tak menimbulkan waswas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan di Amerika yang takut diatur Big Government. Hari-hari ini di sana Negara dianggap wajar ketika mengintervensi soal besar dan kecil: di Alabama orang dicegah bersalaman; di Washington, DC, Presiden Trump—yang anti-sosialisme—memerintahkan perusahaan mobil General Motors memproduksi ventilator untuk rumah sakit. Di Prancis, orang dilarang lari pagi di jalanan yang kosong karena lockdown, dan menteri keuangannya menyatakan siap mengubah bisnis besar jadi BUMN jika mereka bangkrut. Di Spanyol, rumah-rumah sakit swasta dinasionalisasi, dan di Inggris, ada kecenderungan Negara mengambil alih beberapa sarana transportasi.
Di negeri-negeri di mana peran Negara selalu besar—karena sejarah politik dan ekonomi membuatnya demikian—Covid-19 membuka pintu lebih luas bagi jangkauan birokrasi.
Di Indonesia bahkan para rohaniwan mendukung larangan pemerintah agar tak ada ibadah berkelompok, seakan-akan—paling tidak selama beberapa bulan—agama-agama tak terkait lagi dengan “the celebration of the community” seperti digambarkan Ernest Gellner. Kini persaingan antara Tuhan dan para penguasa dunia dalam mengurus wabah tak seperti dulu. Di Prusia di tahun 1830-an, ketika wabah kolera mematikan ribuan orang, pemerintah membuat selebaran agar penduduk patuh kepada otoritas Negara dan tak hanya percaya kepada Tuhan. Sekarang seruan itu tak perlu. Di Wuhan yang berhasil menjinakkan Covid-19, Tuhan disisihkan. Negara adalah Panglima.
Di Indonesia, ada sikap yang ambivalen, mungkin tak stabil. Negara punya wajah yang berbeda-beda dalam kenangan bersama. Ada yang terbentuk karena trauma penindasan. Ada yang berlanjut karena hikayat, syair, dan cerita ketoprak tentang kekuasaan yang baik. Lebih sering, Negara dibayangkan dengan hasrat ketertiban.
Atau Negara dialami secara lain lagi, jika kita ikuti gambaran Geertz tentang kerajaan-kerajaan Bali lama. Di masa itu, tak ada konsentrasi kekuasaan yang sistematis, tak ada pengelolaan yang “obyektif”. Kecenderungan yang menonjol adalah menghadirkan pertunjukan, spectacle. Pelbagai upacara, sebuah teater, ditampilkan. Di sana “para raja dan pangeran bertindak sebagai impresario, pendeta jadi sutradara, dan para petani peran pembantu, awak panggung, dan penonton”. Kekuasaan berperan untuk mendukung kemewah-meriahan, bukan kemewah-meriahan untuk mendukung kekuasaan. Power serves pomp, not pomp power.
Saya tak tahu demikian pulakah Sriwijaya dan Majapahit. Kesultanan Aceh, Demak, Goa, Makassar, Ternate, Tidore, dan lain-lain mungkin berbeda: Negara adalah baginda, ulama, tentara. Mungkin juga Negara dikenang dengan bayangan Mataram abad ke-18: raja dan represi, atau—dalam gaya yang lebih elegan—simbol-simbol takhta dan ajaran mengabdi dan diabdi.
Baru di abad ke-19, ada perubahan yang radikal. Ingatan tentang itu lebih melembaga: Hindia Belanda ditegakkan, menggantikan VOC yang swasta. Negara, dalam endapan kolektif orang Indonesia, terbayang mirip kekuasaan itu. Struktur dan tindakannya membawa ciri-ciri modern: Negara adalah kekuasaan dengan ambisi lebih, yang mencoba mengontrol dan mengubah perilaku penduduk dengan sistem administrasi dan birokrasi yang terpusat.
Dalam batas tertentu, Hindia Belanda, sebagai Negara, mendapatkan legitimasinya karena membangun ketertiban yang kemudian disebut “zaman normal”. Tapi kekuasaan kolonial mengandung suasana curiga-mencurigai, juga ketika bermaksud menyelamatkan penduduk. Termasuk dari wabah.
Syahdan, di antara dasawarsa pertama dan kedua, wabah pes berkecamuk di Jawa. “Gubernemen” mencoba mengatasinya, dengan mengirim lulusan sekolah kedokteran STOVIA—antara lain dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Juga para mahasiswa dikerahkan, karena konon para dokter kulit putih tak hendak dikorbankan ke arena wabah. Kolonialisme punya kalkulasinya sendiri. Di saat itu Negara seperti yang digambarkan Nietzsche: “monster yang paling dingin hati”.
Buku Pest di Tanah Djawa dan Daja Oepaja Akan Menolak Dia, yang ditulis Kd. Ardiwinata (terbit di tahun 1915), menceritakan bagaimana untuk mencegah penyebaran tikus pembawa basil, rumah-rumah rakyat harus dirombak dan penduduk diisolasi dalam barak-barak bambu. Perasaan serasa dipenjara, kerugian harta, kecurigaan kepada pendatang (juga kepada penguasa Belanda) menimbulkan protes yang meluas. Di masa itulah Haji Misbach, seorang komunis yang juga tokoh gerakan Insulinde Surakarta, muncul di rapat umum mengutarakan apa yang dirasakan mengimpit orang banyak. Sejarawan Takashi Shiraishi mencatat datangnya “zaman bergerak”.
Negara pun ditolak—seperti dalam kerusuhan di beberapa tempat di Eropa di abad ke-19 ketika kolera menyerang dan ribuan orang mati. Apa yang kemudian disebut medicalization of society tak selamanya disambut; penguasa memaksakan karantina dan kebijakan yang perlu bagi kesehatan publik tapi dengan akibat langsung dirasa merugikan masyarakat.
Di St. Petersburg, Rusia, misalnya, pada Juni 1831. Rakyat berhimpun di Lapangan Sennaya. Mereka memprotes tindakan Kerajaan mencegah epidemi kolera yang memaksa mereka tinggal di karantina dan digembok. Protes pun meledak jadi kerusuhan; kalangan bawah percaya bahwa para terpelajar sedang mencekik mereka—bahkan para dokter dituduh meracuni sumur penduduk.
Di tengah ketimpangan sosial, di tengah hilangnya kepercayaan, Negara sulit dianggap juru selamat. Epidemi akan lebih mengerikan ketika tak ada lagi harapan. Dan kita tahu, harapan tak akan ada hanya karena Negara. Harapan tak akan ada tanpa compassion, dari mana keadilan-dan-kebebasan tumbuh, diikhtiarkan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo