Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politik Luar Negeri Pragmatis ala Jokowi

Kebijakan politik luar negeri pragmatis ala Jokowi tak boleh terulang di pemerintahan berikutnya.

15 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karakter dan orientasi politik luar negeri Indonesia menunjukkan personalisasi sang presiden.

  • Pragmatisme Jokowi menggeser haluan politik luar negeri kita di Timur Tengah ke negara-negara teluk.

  • Indonesia harus lebih aktif terlibat dalam pembangunan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan di tingkat internasional.

DI masa awal kepemimpinannya pada 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan akan lebih berfokus ke persoalan dalam negeri, karena hal itu adalah “keahliannya”. Dari pernyataan itu, Lowy Institute for International Policy memprediksi kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi pun akan lebih banyak dijalankan oleh orang-orang di sekitar Presiden. Kala itu, Presiden dianggap tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menangani masalah luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faktanya, sepak terjang politik luar negeri Indonesia selama sepuluh tahun terakhir sangat "beraroma" Jokowi. Karakter dan orientasi politik luar negeri Indonesia menunjukkan personalisasi sang Presiden: pragmatis, populis, dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jokowi teguh menggunakan kebijakan politik luar negeri sebagai alat untuk kepentingan dalam negeri. Upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur secara masif adalah fokus perhatian pemerintahan Jokowi. Karena itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia pun dikerahkan untuk mendukung fokus tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu kecenderungan kebijakan politik luar negeri pada masa pemerintahan Jokowi adalah penekanan pada hubungan bilateral, yang biasanya berhubungan dengan kerja sama konkret dan hasilnya bisa dirasakan cepat. Masalah untung dan rugi sebagaimana orientasi pelaku usaha menjadi kalkulasi utama dalam perumusan dan implementasi politik luar negeri Indonesia.

Adapun masalah hubungan multilateral atau bahkan plurilateral yang biasanya menekankan pada pembangunan nilai-nilai “agung” tampak bukan jadi prioritas utama, kecuali untuk isu tertentu. Jokowi tampak tidak semangat untuk berpidato atau mempromosikan nilai-nilai besar kemanusiaan, baik hak asasi manusia, supremasi sipil, demokrasi, kesetaraan, maupun lingkungan. Hal ini terlihat dari ketidakhadiran Presiden dalam beberapa acara Majelis Umum PBB. Padahal ajang pertemuan itu merupakan tempat bagi para pemimpin dunia berbagi pandangan, memperkuat nilai-nilai, dan berupaya “menata” masa depan dunia.

Dalam konteks Timur Tengah, spirit Jokowi juga begitu kental. Orientasi politik luar negeri Indonesia mengenai berbagai persoalan di kawasan ini seolah-olah berubah. Secara tradisional, Indonesia sangat menekankan hubungan dengan negara-negara yang memiliki kedekatan historis, terutama dalam perang melawan kolonialisme. Mesir, Maroko, Suriah, Lebanon, Yaman, dan tentu saja Arab Saudi sangat penting dalam konteks ini.

Pragmatisme Jokowi menggeser haluan politik luar negeri kita di Timur Tengah ke negara-negara teluk. Jokowi cukup sering berkunjung ke negara-negara yang dikenal kaya raya ini. Kunjungan luar negeri pertama Jokowi ke kawasan Timur Tengah pada 2015 dilakukan ke Riyadh, Arab Saudi; Abu Dhabi, Uni Emirat Arab; dan Doha, Qatar. Negara-negara ini, terutama Uni Emirat Arab, cukup sering dikunjungi Jokowi. Beberapa kali kunjungan ke sana bahkan bersifat "khusus".

Jokowi seolah-olah melupakan Mesir, negara pertama yang memberi pengakuan Kemerdekaan RI. Padahal, dalam sejarah politik luar negeri Indonesia, presiden-presiden terdahulu—kecuali B.J. Habibie—selalu berkunjung ke negara ini. Hubungan Indonesia-Mesir bisa dikatakan istimewa, mengingat kedua negara sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Namun nilai romantisisme masa lalu itu seolah-olah dilupakan Jokowi.

Dari berbagai catatan di atas, penulis merasa perlu menyampaikan sejumlah catatan. Pertama, politik luar negeri bukan sekadar alat, tapi juga tujuan. Konstitusi kita dengan tegas mengamanatkan agar Indonesia aktif dan turut serta membangun perdamaian, keadilan, dan kesetaraan di muka bumi. Amanat ini seharusnya dijalankan melalui berbagai forum multilateral yang kita ikuti, bukan hanya untuk tujuan dan kepentingan domestik.

Di pemerintahan berikutnya, di bawah kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto, Indonesia harus lebih aktif terlibat dalam pembangunan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan di tingkat internasional. Peran dan sikap Indonesia bakal mempengaruhi posisi kita di kancah dunia ke depan. Tentu kita tidak mau kelak dicap sebagai negara pragmatis dan egoistis yang tak punya komitmen kuat terhadap pembangunan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, khusus dalam isu konflik Israel-Palestina, kita memang masih konsisten dengan sikap mendukung Palestina. Di kancah internasional, kita masih cukup lantang membela Palestina, tapi sayangnya hal itu tidak disertai ikhtiar konkret untuk mengupayakan penyelesaian konflik di sana.

Indonesia perlu lebih aktif mewujudkan perdamaian di Palestina, sesuai dengan amanat konstitusi: terlibat aktif mewujudkan perdamaian dunia. Kita memang perlu berteriak keras dalam isu kemanusiaan Palestina, tapi kita juga memerlukan langkah-langkah nyata yang substantif dan aktif terlibat dalam penyelesaian masalah.

Sikap konservatif yang cenderung pragmatis ini tampak jelas didorong oleh kepentingan taktis demi menghindari risiko beban politik. Sikap semacam ini memang mudah, murah, dan populer, tapi membuat kita tak aktif dalam upaya mencari penyelesaian berbagai masalah secara substantif. Pemerintahan Prabowo nanti tak boleh meniru kebijakan politik luar negeri ala Jokowi itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Ibnu Burdah

Ibnu Burdah

Guru Besar Kajian Dunia Arab UIN Sunan Kalijaga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus