Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Cegatan Dekat Setopan

Samsudin Adlawi*

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap tahun, polisi menggelar setidaknya enam kali operasi lalu lintas. Operasi itu dilakukan serentak secara nasional. Tujuannya adalah menciptakan kondisi yang aman dan lancar di seluruh wilayah Indonesia.

Nama razia kendaraan bermotor itu berbeda-beda, tergantung momennya. Misalnya Operasi Lilin. Penggunaan kata “lilin” ini sesuai dengan momen Natal dan tahun baru. Operasi pada Desember itu bertujuan menciptakan kondisi lalu lintas yang aman menjelang hingga perayaan Natal dan tahun baru. Selain di tempat ibadah, operasi itu dilakukan di antaranya di pusat belanja.

Polisi juga punya Operasi Ketupat. Sesuai dengan namanya, operasi ini diadakan saat perayaan Idul Fitri. Tepatnya mulai H-7 hingga H+7 Lebaran. Tujuan utamanya adalah menertibkan arus mudik dan arus balik. Biasanya, saat melakukan Operasi Ketupat, polisi tidak menilang. Mereka hanya memberikan teguran agar arus lalu lintas aman dan lancar.

Polisi juga punya Operasi Simpatik, Operasi Patuh, Operasi Zebra, dan Operasi Lintas. Tapi orang di kampung saya (Banyuwangi, Jawa Timur) hanya punya satu sebutan untuk operasi lalu lintas yang dilakukan polisi, yakni cegatan.

Tidak ada yang tahu persis asal-usul sebutan cegatan untuk operasi lalu lintas ini. Teman saya yang asli Tulungagung menyebut cegatan dengan “momen”. Menurut teman lain, penyair Lukman Hakim dari Madura, masyarakat di Pulau Garam, jika ada operasi lalu lintas, langsung berkata ada operasiyan. Ada pula yang mengatakan amba’an.

Amba’an semakna dengan cegatan. KBBI Daring tidak mengenal diksi cegatan. Tapi KBBI punya lema pencegatan, yang berkonotasi negatif, yakni “proses, cara, perbuatan mencegat: polisi akan melakukan pencegatan terhadap mobil buronannya yang diperkirakan akan melewati jalan itu”.

Seperti KBBI, masyarakat di kampung saya punya stigma terhadap operasi lalu lintas. Meski sudah membawa surat-surat kelengkapan kendaraan, mereka sebisa mungkin menghindari cegatan polisi. Sebab, berdasarkan pengalaman sejumlah orang, saat kena cegatan, tidak ada benarnya. Surat-surat sudah lengkap, tapi ada polisi yang mencari-cari kesalahan, misalnya kaca spion disebut tidak standar atau pelat nomor dibilang tidak asli. Ujung-ujungnya, si pengendara tetap harus menerima nasib: kena tilang.

Penilaian negatif itu menancap begitu dalam di otak masyarakat. Susah untuk menghapusnya. Hingga sekarang, cegatan itu masih menjadi sesuatu yang sebisa mungkin dihindari. Sampai-sampai, ketika rombongan polisi yang habis melakukan cegatan makan di warung dan memarkir kendaraan dinas di pinggir jalan, pengendara sepeda motor dan mobil enggan lewat. Mereka memilih berhenti di tempat agak jauh atau mencari jalan lain.

Aksi cegatan polisi melahirkan solidaritas masyarakat di kampung saya. Pengendara sepeda motor yang baru saja melewati lokasi cegatan akan secara spontan memberikan kode kepada pengendara lain yang berpapasan dengannya. Kode berupa jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf “V” itu diacungkan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Kalau tidak, ia akan membunyikan klakson sepeda motornya sebanyak dua kali. Kode pengendara mobil lain lagi. Mereka menghidupkan lampu jauh dua kali. Hal itu dilakukan berkali-kali.

Selain itu, cegatan memunculkan heroisme. Biasanya pengendara yang baru kena “cegat” polisi memilih balik arah untuk memberi tahu pengendara lain agar hati-hati—dengan kode yang disebut tadi. Padahal yang bersangkutan tidak kena tilang.

Pengendara sepeda motor dan mobil yang menerima kode itu langsung paham. Biasanya mereka akan berhenti menunggu sampai cegatan selesai, atau memilih balik kanan mencari jalan lain, meski surat-surat kendaraannya lengkap.

Memang sulit menghapus stigma cegatan. Padahal tidak semua operasi lalu lintas berujung pada tindakan polisi berupa tilang. Misalnya Operasi Simpatik. Dalam Operasi Simpatik, polisi hanya mengimbau agar pengendara melengkapi surat-surat dan atribut kendaraannya.

Masyarakat di daerah saya juga masih kesulitan mengujarkan “lampu merah”, apalagi traffic light. Lidah mereka sudah telanjur terbiasa menyebut setopan. Pernah, suatu ketika, setelah menerima kode dari seorang pengendara sepeda motor, saya langsung bertanya, “Ada apa?” Ia berteriak, “Hati-hati, ada cegatan dekat setopan,” lantas menggeber sepeda motornya.

Namun kali ini saya bersyukur. KBBI sudah memasukkan lema setopan yang semakna dengan traffic light: “lampu lalu lintas (merah, hijau, kuning) yang dapat menandai kendaraan yang lewat harus berhenti atau berjalan lagi”. Maka saya pun kini tidak malu mengatakan, “Harap berhati-hati saat melintas di setopan.”

*) Wartawan Jawa Pos, penyair

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus