Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengawasan ketat terhadap materi jihad dan khilafah di sekolah menunjukkan betapa gelapnya mata pemerintah dalam memandang radikalisme. Strategi itu tidak menyentuh akar persoalan dan tidak efektif membendung pertumbuhan gerakan radikal di kalangan pelajar.
Kebijakan itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Kementerian Agama Ahmad Umar. Dalam surat tertanggal 4 Desember 2019 itu, Kementerian Agama menyebutkan seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad harus ditarik. Kementerian mengklaim tujuan kebijakan ini adalah moderasi beragama dan pencegahan paham radikalisme.
Pemerintah berencana menghapus materi jihad dan khilafah dalam pelajaran fikih serta hanya memasukkannya ke sejarah Islam. Menteri Agama Fachrul Razi menganggap tidak ada yang salah pada materi khilafah dalam sejarah Islam. Menurut dia, masalahnya bersumber dari pengajarnya.
Alih-alih memberikan pencerahan tentang bahaya radikalisme, pemerintah malah menempatkan jihad dan khilafah sebagai hal yang terkesan tabu untuk dipelajari dan didiskusikan. Pemerintah semestinya mendorong guru dan siswa berpikiran merdeka. Pengawasan ketat terhadap materi pelajaran bukanlah solusi.
Konten jihad—secara harfiah berarti “sungguh-sungguh berjuang”—misalnya, tidak melulu mengajarkan soal perang atau memusuhi pemeluk agama lain. Jihad juga bisa dimaknai sebagai sungguh-sungguh mengasihi sesama, seturut ajaran Islam itu sendiri. Dengan mempelajari seluk-beluk jihad, murid madrasah justru bisa terhindar dari makna jihad yang salah.
Langkah Kementerian Agama mengawasi materi jihad atau khilafah dalam kurikulum madrasah sangatlah dangkal dan tak menyentuh akar radikalisme, yang kerap disamakan dengan fundamentalisme dan terorisme. Masih ada faktor-faktor lain yang membuat anak usia sekolah mudah terjerat radikalisme. Misalnya pendidikan keluarga, latar belakang guru, dan paparan media sosial.
Sesungguhnya salah kaprah pola pengajaran justru dimulai pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sendiri lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3 aturan tersebut menyebutkan pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, dan sebagainya. Dengan tujuan itu, segala urusan pendidikan, seperti kurikulum, cara belajar, bahkan cara berpakaian murid, diarahkan ke peningkatan keimanan dan ketakwaan.
Pasal itu akhirnya menjadi salah satu pintu masuk radikalisme melalui indoktrinasi agama yang berlebihan dan cenderung intoleran. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda cara berpakaian saja, murid sekolah bisa mengkafirkan orang lain. Persoalan ini tidak mungkin diselesaikan hanya dengan mengawasi materi soal jihad dan khilafah. Lebih baik Kementerian Agama mempertebal materi soal toleransi untuk murid madrasah.
Pemerintah juga harus segera mengembalikan tujuan utama pendidikan, yaitu mencerdaskan peserta didik. Salah satu muara kecerdasan itu adalah menghargai mereka yang berbeda keyakinan. Urusan keimanan dan ketakwaan tak perlu dicampuri terlalu jauh oleh negara. Jika pemerintah tak mampu mengembalikan tujuan pendidikan ini, niscaya radikalisme dan sikap intoleran mudah merasuki kalangan pelajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo