Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTAMBAH panjang saja daftar korban penerapan hukum "tajam ke bawah tumpul ke atas". Hukum yang sangar terhadap kawula kecil, tapi tersipu untuk si kuat, kali ini menimpa Adun—bukan nama sebenarnya. Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, memvonis anak 15 tahun itu bersalah karena mencuri sandal jepit. Dia memang tidak dipenjarakan. Namun, selama "proses hukum", perlakuan terhadap dia sama sekali tidak berkeadilan.
Polisi yang sandalnya dicuri, Brigadir Satu Ahmad Rusdi Harahap, jaksa, dan hakim sama sekali tidak berempati kepada si tertuduh. Mereka hanya menerapkan hukum "kacamata kuda": pencurian adalah tindak kriminal, dan anak-anak bisa diadili berdasarkan Undang-Undang Nomor 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Mereka tidak mempertimbangkan trauma yang diakibatkan vonis bersalah bagi masa depan si anak.
Adun bukan korban pertama. Sudah banyak terjadi praktek "tajamnya hukum" terhadap orang tanpa uang dan kuasa. Ada remaja yang ditahan polisi karena mencuri pulsa senilai Rp 10 ribu. Ada Minah, nenek 65 tahun asal Banyumas, yang dimejahijaukan karena mencuri tiga biji kakao senilai Rp 2.000. Amirah, seorang pembantu rumah tangga di Pamekasan, Madura, diadili tanpa pengacara dan dipenjarakan karena mencuri sarung seharga Rp 3.000. Permohonannya agar tidak dipenjarakan karena harus menghidupi anak yang masih kecil sama sekali tak digubris hakim.
Kasus-kasus itu menjadi bukti betapa penegakan hukum bukanlah untuk mewujudkan keadilan. "Pro justicia" sama sekali tak tampak di sini. Apalagi kita menjadi saksi bagaimana hukum begitu "ramah" terhadap terpidana macam Gayus Tambunan, yang bisa berpesiar ke Bali, Singapura, dan Thailand, atau para koruptor yang dengan mudahnya memperoleh potongan masa tahanan karena "berjasa" menyumbang kegiatan sosial di penjara.
Kiriman 1.000 pasang sandal jepit untuk Kepolisian Republik Indonesia merupakan bentuk protes terhadap kelakuan hamba wet. Sama seperti ketika publik mengumpulkan koin mencapai Rp 800 juta untuk Prita Mulyasari, yang diminta mengganti rugi Omni International Hospital Rp 312 juta karena dianggap mencemarkan nama gara-gara menulis e-mail keluhan. Mahkamah Agung kemudian membebaskannya dari ganti rugi.
Sebenarnya, untuk kasus pencurian sandal jepit—juga pulsa, biji kakao, dan lain-lain—polisi tak perlu berdalih bahwa tindak kriminal harus diproses untuk menimbulkan efek jera. Jaksa juga tidak harus beralasan: wajib meneruskan kasus dari polisi. Apalagi hakim tidak semestinya memvonis bersalah untuk anak pencuri sandal.
Ada cara untuk menangani kasus seperti ini, yaitu Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani Mahkamah Agung, Kementerian Hukum, Kejaksaan Agung, Kementerian Sosial, Kepala Kepolisian RI, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Produk hukum yang berlaku sejak 2009 ini mengatur cara menangani kasus yang melibatkan anak-anak. Misalnya, disebutkan, polisi harus mengedepankan kepentingan anak dengan menjauhkan anak dari proses peradilan formal.
Penegakan hukum hanyalah cara untuk mencapai keadilan. Si pencuri sandal jepit, biji kakao, pulsa, atau kaus jelas-jelas tak akan mendapatkan keadilan dengan pemenjaraan mereka. Bukan efek jera yang didapatkan oleh siapa pun, melainkan justru coreng-moreng di wajah sistem hukum kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo