Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Di tengah iklim kebijakan berbasis viralitas, pemerintah akan terus membuat kebijakan yang tidak berbasis bukti dan bersifat sangat politis.
Perlawanan masyarakat sipil tidak akan padam pada 2025 karena memiliki berbagai modal.
Masyarakat sipil dan media justru menjadi sumber informasi tandingan atas informasi-informasi pencitraan dari pemerintah.
MENUTUP 2024, Tempo mengeluarkan edisi khusus gerakan masyarakat sipil. Dalam laporannya, Tempo mengidentifikasi pergerakan para aktivis yang berhasil melakukan perlawanan terhadap penguasa serta upaya-upaya mereka dalam melemahkan demokrasi di negara ini.
Para tokoh pilihan Tempo meliputi akademikus dan aktivis yang secara konsisten memberikan pernyataan di media perihal praktik culas dalam orkestrasi pemilihan presiden 2024. Perlawanan masyarakat sipil terhadap penguasa yang terus membungkam dan menghancurkan demokrasi memang selalu terbagi menjadi dua kubu: mereka yang berani melawan dan mereka yang memilih diam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo mencatat adanya polarisasi ini. Pada pertengahan 2024, gerakan masyarakat sipil dan demonstrasi berhasil membatalkan niat Dewan Perwakilan Rakyat menganulir putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat usia minimum calon kepala daerah.
Perlawanan terus berlanjut pada akhir tahun dalam menyuarakan penolakan penetapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Masyarakat sipil kembali menang saat pemerintah membatalkan pemberlakuan PPN pada 2025, walau terminasi kebijakan itu dilakukan enam jam sebelum tahun berganti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkaca pada kasus-kasus di atas, sering kali perlawanan untuk terminasi kebijakan berhasil ketika viralitas terjadi atau kerap disebut dengan istilah "no viral, no justice". Hal ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki data serta informasi yang komprehensif untuk menganalisis pro dan kontra proposal kebijakan atau memang sengaja dibuat untuk cepat memenuhi kepentingan tertentu.
Di tengah iklim kebijakan berbasis viralitas, pemerintah akan terus membuat kebijakan yang tidak berbasis bukti dan bersifat sangat politis. Tapi apakah ini artinya masyarakat sipil akan padam dan lelah karena harus terus memviralkan isu?
Dalam artikel ini, kami ingin berargumen bahwa perlawanan masyarakat sipil tidak akan padam pada 2025 karena tiga hal. Pertama, masyarakat sipil—akademikus, aktivis yang berada di lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun tidak, buruh, serta masyarakat yang terkena dampak—kini memiliki kapasitas kajian sebagai modal advokasi.
Pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, banyak undang-undang, aturan, program, dan kebijakan yang dibuat tanpa dasar yang kuat, tidak transparan, serta tergesa-gesa. Dengan kata lain, masyarakat sipil menjadi harus cepat belajar saking buruknya kualitas kebijakan yang dibuat DPR dan pemerintah. Kedua, iklim kebijakan publik saat ini adalah viralitas kebijakan. Dan ketiga adalah polarisasi politik di masyarakat.
Kapasitas Masyarakat Sipil
Dalam studi kebijakan publik, kapasitas kebijakan (policy capacity) adalah kemampuan dan kompetensi pemerintah untuk menganalisis, berkolaborasi dengan kepentingan politik untuk merancang kebijakan, serta mengelola dan mengimplementasikan kebijakan. Namun studi-studi menunjukkan masyarakat sipil kini juga memiliki ketiga kapasitas tersebut, terutama menganalisis kebijakan dan membuat narasi tandingan.
Masyarakat sipil umumnya memiliki kemampuan menuliskan policy brief dan analisis berdasarkan data serta riset di lapangan. Hasil studi yang dilakukan SMERU menemukan bahwa 84 dari 104 LSM meriset dan menganalisis data dengan metode kualitatif, yaitu wawancara dan diskusi terpumpun.
Hasil riset tersebut menunjukkan LSM sekarang dapat meriset isu-isu yang menimpa masyarakat sehingga dapat terus melakukan advokasi berbasis bukti dalam berbagai isu untuk mengubah kebijakan.
Kapasitas politik yang dimiliki masyarakat sipil juga memungkinkan organisasi advokasi atau interest group mengetahui kapan dan dengan siapa (politikus ataupun birokrat) mereka dapat berkontak untuk mengadvokasi temuan.
Jejaring advokasi ini terus dibangun secara aktif agar hasil penelitian masyarakat sipil, termasuk civitas academica, dapat diperhitungkan oleh para pemangku kebijakan dalam formulasi dan pembuatan kebijakan. Koalisi masyarakat sipil terlihat dari upaya untuk melawan disinformasi, memperjuangkan hak kelompok rentan, hingga melayangkan somasi kepada presiden.
Kapasitas politik dinilai berdampak ketika pemerintah memberikan umpan balik. Kajian yang dibuat Transparency International Indonesia, yaitu Corruption Perception Index, direspons oleh Kantor Staf Presiden melalui Ketua Pengarah Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Hal ini terjadi karena LSM mengidentifikasi aktor yang bertanggung jawab dalam isu korupsi, yaitu survei ini ditujukan kepada presiden, juga melakukan advokasi dengan pihak tersebut sehingga kebijakan mengenai korupsi masuk tahap evaluasi. Walau memang kebijakan progresif ihwal penguatan KPK belum muncul dan “evaluasi” menjadi hal yang terus dilakukan.
Selain memiliki kapasitas kebijakan, masyarakat sipil mempunyai pengalaman pribadi dan personal mengenai dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah. Contohnya SAFEnet dan Jakarta Feminist. Keduanya tidak hanya menjadi ruang aman bagi ragam individu untuk berbicara soal isu-isu keamanan digital atau ketimpangan gender, tapi juga memberikan data seberapa banyak warga yang telah menghubungi mereka untuk meminta pertolongan karena menjadi korban serangan digital ataupun kekerasan online berbasis gender.
Contoh lain yang paling prominen adalah Aksi Kamisan. Aksi Kamisan menunjukkan gigihnya Ibu Sumarsih dan koleganya dalam memperjuangkan keadilan atas almarhum anaknya, Wawan, yang tewas akibat penembakan massal dalam Tragedi Semanggi 1998.
Pengalaman ini juga dibagikan oleh sejumlah korban lain yang pelakunya mempunyai impunitas hukum. Mereka berkumpul setiap Kamis sore di depan Istana Negara untuk memberikan cerita yang berisi informasi tentang kekebalan hukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Pengalaman-pengalaman ini tidak berseri jumlahnya, bahkan akan terus meningkat ketika kebijakan tidak berbasis perspektif dan pengalaman warga di lapangan sehingga menjadi bahan advokasi masyarakat sipil, media massa, dan LSM. Data ini juga didukung oleh data dan peliputan media.
Dalam kasus implementasi program makan bergizi gratis (MBG), misalnya, masyarakat sipil dan media justru menjadi sumber informasi tandingan atas informasi-informasi pencitraan pemerintah. Sumber-sumber ini kemudian dikelola menjadi bahan advokasi dan diamplifikasi di media.
Advokasi melalui Viralitas
Hasil pantauan Monash University Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen selama masa pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah di media sosial menunjukkan setidaknya masyarakat kita terpolarisasi pada isu politik dan ekonomi.
Pada isu politik, fokus polarisasi adalah kelompok yang mendukung atau yang menolak politik dinasti serta praktik nepotisme. Sementara itu, fokus polarisasi ekonomi ada pada kebijakan ekonomi yang berpihak kepada warga atau oligark. Polarisasi ini memang tidak senyata polarisasi agama pada pilpres 2019, tapi terbukti dapat menjadi pemicu viralnya penolakan terhadap kebijakan pemerintah.
Viralitas juga digunakan saat anak muda sadar bahwa kenaikan PPN 12 persen merampas hak mereka dalam hal aktivitas hiburan dan kebutuhan sehari-hari. Kuatnya peran anak muda dalam mengadvokasi isu ini di media sosial berhasil menumbangkan rencana pemberlakuan kebijakan tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa anak muda memahami kebijakan yang berdampak dan selalu memperbarui kemampuan mereka dalam mengerti isu melalui berbagai macam platform edukasi, seperti yang disediakan oleh akun-akun informasi kebijakan dan media massa.
Kemampuan anak muda untuk terus dapat mencerna ini secara cepat dan mengetahui kebijakan yang tidak sesuai ditopang oleh aktivisme digital. Misalnya konten-konten yang dibuat oleh aktivis muda melalui akunnya membuat anak muda sadar bahwa kebijakan hanya menguntungkan kelompok oligark.
Apalagi ketika mereka adalah generasi Z dengan latar belakang sandwich generation atau memiliki pekerjaan yang tidak bisa membuat mereka menikmati hidup karena gaji yang minimal. Kebijakan lain misalnya soal Tapera, yakni anak muda harus mengalami pemotongan gaji untuk mencicil pembelian rumah tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas program tersebut.
Pengalaman yang terus dialami masyarakat sipil dan para aktivis, kelas menengah yang memiliki literasi kebijakan, serta kompetensi organisasi untuk melakukan pengkajian adalah tiga hal yang membuat masyarakat sipil selalu dapat bersuara dan memberikan suara kritisnya.
Penyaluran pengalaman melalui media sosial yang kemudian dapat berpotensi viral membuat suatu isu mendapat sorotan. Hal ini dapat menggoyahkan pembuat kebijakan untuk kembali membatalkan kebijakan yang tidak memihak, seperti yang terjadi pada pembatalan keputusan DPR dan kenaikan PPN 12 persen.
Viralitas ini dapat terus digunakan masyarakat sipil sebagai kesempatan untuk mendorong pemerintah membatalkan kebijakan yang tidak berpihak. Walau sempit dan tidak terprediksi, masyarakat sipil harus bisa terus mengawal isu tersebut hingga dibatalkan.
Kemenangan-kemenangan sebelumnya adalah modal kita dan seharusnya menjadi api semangat yang terus menyala dengan tetap memberikan fakta, data pengalaman, serta advokasi yang terus mengawal.
Artikel ini ditulis bersama Dosen Senior Kebijakan Publik Publik Monash University Indonesia Ika Karlina Idris
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo