Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir*
Amerika Serikat dan Cina, masing-masing ekonomi nomor satu dan dua dunia, sedang melewati masa transisi. Di Amerika, tanda perbaikan ekonomi dibaca oleh pasar keuangan global sebagai sinyal transisi dari periode tingkat bunga rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Singkatnya, era uang murah akan berakhir. Di Cina, transisi yang terjadi adalah pergeseran kebijakan pertumbuhan ekonomi yang tadinya bergantung pada ekspor dan investasi ke keseimbangan dengan lebih mengandalkan konsumsi domestik. Kedua pergeseran itu akhir-akhir ini mengguncang mata uang dan pasar modal dunia berkembang.
Indonesia tidak terkecuali terkena dampak itu. Rupiah melemah 4 persen ke tingkat 10.120 per dolar pada 20 Juli 2013 dari 9.733 pada awal tahun ini. Sedangkan indeks harga saham gabungan turun 15 persen dari puncaknya 5.208 poin pada 23 Mei ke level 4.434 poin pada 8 Juli 2013, sebelum kembali rebound ke tingkat 4.700. Mata uang lain yang terpuruk lebih daripada rupiah adalah rand Afrika Selatan, peso Meksiko, real Brasil, rupee India, sol Peru, peso Cile, dolar Australia, dan ringgit Malaysia. Satu ciri yang dimiliki semua negara itu adalah neraca perdagangan yang memburuk sehingga transaksi berjalan menjadi defisit. Kondisi makin parah karena modal asing yang mengalir ke luar. Indeks Morgan Stanley MSCI, yang mencakup saham negara berkembang, juga turun sebesar 8,6 persen sejak Mei sampai akhir Juni, walau telah pulih 3,1 persen pada Juli.
Yang menjadi perdebatan adalah apakah situasi ini sementara atau struktural sehingga bersifat jangka panjang? Dengan kata lain, seberapa lama kita harus menghadapi suku bunga rupiah yang lebih tinggi, yang akan berakibat pada turunnya pertumbuhan ekonomi di bawah tingkat 6 persen dan melemahnya rupiah di atas ambang 10 ribu per dolar? Jawabannya bergantung pada perubahan ekonomi yang sedang berlangsung di Amerika dan Cina, dan butuh waktu untuk mengetahuinya.
Belum lama ini Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mencoba menenangkan pasar bahwa ia akan menjaga tingkat suku bunga rendah sampai The Fed yakin bahwa ekonomi Amerika mulai pulih kembali. Jadi, untuk saat ini, pasar telah kembali stabil, tapi arah suku bunga yang meningkat ke depan cukup jelas. Hanya masalah waktu untuk menyaksikannya.
Secara terpisah, pertumbuhan ekonomi Cina sudah melamban akibat ekspor yang lemah dan meningkatnya kekhawatiran terjadinya kelebihan kapasitas di sektor tertentu. Tingkat pertumbuhan ekonomi Cina yang pernah mencapai 14 persen pada 2007 sudah bertahap turun. Malah, untuk 2013, pemerintah Cina menargetkan pertumbuhan di tingkat 7,5 persen—jauh di bawah tahun-tahun sebelumnya. Realisasi kebijakan pertumbuhan yang lebih mengandalkan konsumsi domestik dan usaha membuat ekonomi Cina lebih terbuka akan memakan waktu, dan diperkirakan tingkat pertumbuhan yang ditargetkan sekarang bertahan selama masa transisi ini.
Melambannya ekonomi Cina dan kebijakan pemerintah yang mengandalkan konsumsi domestik sangat berdampak pada harga komoditas dunia dan bagi negara-negara yang mengekspor komoditas tersebut. Ini yang menyebabkan surplus transaksi berjalan negara-negara pengekspor komoditas berbalik menjadi defisit karena jatuhnya ekspor tidak diimbangi oleh penurunan yang sama pada sisi impor.
Cina merupakan tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Ekspor ke Cina mencapai 14 persen dari total ekspor, diikuti Jepang dengan 12 persen, Amerika 9,5 persen, dan India 8 persen. Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mencatat surplus transaksi berjalan dalam neraca pembayaran, tapi mulai 2012 angka ini berbalik menjadi defisit karena anjloknya harga komoditas akibat melambannya ekonomi Cina. Awalnya aliran modal masuk cukup untuk menutupi defisit. Tapi, karena arus masuk berbalik menjadi modal keluar sejak Mei, tekanan terhadap rupiah mulai terasa.
Singkatnya, antisipasi peningkatan suku bunga di Amerika menyebabkan larinya dana asing dari pasar saham dan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Namun, bagi negara yang juga dibebani defisit transaksi berjalan yang tidak dapat cepat diperbaiki, termasuk Indonesia, tekanan terhadap mata uangnya akan lebih intens.
Dua minggu setelah diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo berusaha menstabilkan rupiah dengan menaikkan bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 25 basis point menjadi 6 persen. Tapi tekanan terhadap rupiah terus berlanjut dan biaya menstabilkan rupiah menjadi sangat mahal. Terlihat cadangan devisa turun dari US$ 105,2 miliar menjadi US$ 98,1 miliar hanya dalam waktu satu setengah bulan. Tidak lama setelah itu, suku bunga SBI dinaikkan lagi 50 basis point menjadi 6,5 persen. Sebagai perbandingan, bank sentral India menghadapi serangan serupa pada mata uang rupee dengan menaikkan suku bunga pinjaman pada bank sebesar 200 basis point menjadi 10,25 persen. Sedangkan Bank Sentral Turki, yang menghadapi dilema yang sama, juga menaikkan suku bunganya sebesar 75 basis point menjadi 7,25 persen dan mengisyaratkan bahwa bunga masih dapat meningkat di masa depan.
Bank Indonesia juga mulai memperkenalkan fasilitas swap dolar-rupiah. Hal ini memungkinkan bank menukar dolar mereka ke rupiah dan mendapat kembali dolar mereka pada tingkat kurs yang disepakati selama periode tertentu. Fasilitas ini memungkinkan bank dan investor mendapat perlindungan terhadap volatilitas nilai tukar rupiah dan memungkinkan bank sentral meningkatkan likuiditas rupiah di pasar. Pada saat yang sama, bank sentral dapat menambah dolar pada cadangan devisa.
Namun masalah fundamental yang mendasari kelemahan rupiah adalah transaksi berjalan yang defisit. Kenaikan suku bunga rupiah merupakan opsi untuk menarik arus modal asing masuk agar menutupi defisit transaksi berjalan. Ruang menaikkan suku bunga ini masih ada jika kita bandingkan bunga SBI dengan negara lain dan memperhitungkan inflasi Indonesia yang diproyeksi meningkat pada sisa tahun ini.
Hanya, menaikkan suku bunga SBI terlalu tinggi, yang akhirnya meningkatkan suku bunga kredit, dapat meningkatkan kredit bermasalah sektor perbankan. Opsi lain yang mulai dipertimbangkan adalah membiarkan rupiah melemah di atas 10 ribu per dolar. Ini akan membuat impor lebih mahal dan sebaliknya ekspor lebih kompetitif sehingga defisit transaksi berjalan dapat dikurangi.
Impor minyak merupakan porsi besar dari impor dan selama ini terus membengkak dengan meningkatnya konsumsi domestik. Dengan pemotongan subsidi minyak beberapa bulan lalu, harga bensin domestik menjadi lebih mahal, yang diharapkan mengurangi konsumsi, demikian juga jumlah impor. Dana subsidi minyak kemudian dialihkan untuk bantuan tunai langsung ke segmen masyarakat berpenghasilan rendah dan membangun infrastruktur yang lebih bermanfaat. Namun opsi untuk pemotongan subsidi lebih lanjut akan sulit karena terlalu dekat dengan naiknya harga bensin yang terakhir.
Apa yang dapat diantisipasi ke depan? Pertama, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah di angka 5,6-5,9 persen. Kedua, suku bunga rupiah akan naik karena meningkatnya inflasi dan usaha BI untuk menarik arus masuk modal jangka pendek. Ketiga, melambannya ekonomi dibarengi meningkatnya suku bunga kredit berakibat pada kredit bermasalah sektor perbankan meningkat dan turunnya margin serta keuntungan tahun ini. Keempat, tingkat keseimbangan rupiah baru yang akan melampaui angka 10 ribu per dolar saat ini.
Terakhir adalah pentingnya usaha jangka panjang untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan produktivitas pekerja melalui pendidikan. Tak kalah penting adalah mendorong perusahaan pengekspor komoditas bergerak ke atas mata rantai produksi, di mana harga produk bernilai tambah dapat lebih tahan terhadap guncangan. Setengah tahun telah berlalu dan sudah saatnya bagi perusahaan meninjau kembali rencana sisa tahun 2013 agar dapat disesuaikan dengan lambatnya ekonomi dan potensi guncangan lainnya.
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo