Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nirwono Joga
Peneliti pusat Studi Perkotaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2018, Jakarta hanya memiliki kualitas udara baik selama 34 hari, udara sedang 135 hari, dan tidak sehat 196 hari (Greenpeace Indonesia, 2019). Data AirVisual, situs online penyedia peta polusi harian kota-kota besar di dunia, untuk kesekian kali menempatkan Jakarta pada Selasa, 25 Juni 2019, pukul 08.00 WIB, di urutan pertama kota dengan tingkat polusi tertinggi. Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta adalah 240 (sangat tidak sehat). Adapun kualitas udara pada rentang 201-300 dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 6 miliar orang di dunia menghirup udara tercemar setiap hari. Sebanyak 7 juta jiwa meninggal prematur per tahun, dengan 600 ribu di antaranya anak-anak (WHO, Oktober 2018). Polusi udara menduduki peringkat pertama penyebab kematian global (Global Environment Outlook, Maret 2019).
Laporan The State of Global Air oleh Health Effect Institute (HEI) dan University of British Columbia pada 3 April 2019 menyatakan kombinasi polusi udara luar ruang dan udara dalam ruangan yang kotor akan memperpendek usia harapan hidup anak-anak yang lahir saat ini hingga sekitar 20 bulan.
Hasil studi George Washington University Milken Institute School of Public Health (Jurnal The Lancet Planetary Health, April 2019) memaparkan, kasus asma baru yang disebabkan oleh paparan nitrogen dioksida (NO2) mendera 4 juta anak di seluruh dunia setiap tahun, dengan 64 persen di antaranya tinggal di perkotaan.
Laporan Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute di University of Chicago (EPIC, 2019) menyatakan lima besar negara yang terbebani kasus asma baru akibat terpapar NO2 adalah Cina (760 ribu kasus per tahun), India (350 ribu), Amerika Serikat (240 ribu), Indonesia (160 ribu), dan Brasil (140 ribu).
Polusi udara telah menjadi pembunuh senyap. Korban polusi udara rata-rata tidak meninggal seketika, tapi perlahan digerogoti berbagai penyakit, seperti asma, infeksi saluran pernapasan atas, stres, hingga kanker paru-paru. Namun polusi udara tidak banyak mendapat perhatian serius. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, penyumbang polusi udara di kota berasal dari sektor transportasi (25 persen), sumber manusia (22 persen), rumah tangga (20 persen), aktivitas industri (15 persen), serta debu alami dan garam (18 persen) (Federico Karagulian, 2015). Untuk itu, pemerintah harus memperbaiki mutu udara, menjamin ketersediaan udara bersih, dan menekan emisi gas buang.
Pemerintah kota membangun, mengembangkan, atau meremajakan kawasan pusat kota berbasis pergerakan manusia, yakni destination, distance, design, density, diversity, dan demand management. Warga biasa berjalan kaki 5-7 menit di trotoar atau bersepeda 7-10 menit dengan infrastruktur sepeda yang memadai saat beraktivitas harian. Kawasan permukiman membatasi pergerakan kendaraan bermotor untuk menekan emisi karbon dan polusi udara.
Kedua, pada tingkat kelurahan dan kecamatan disediakan angkutan internal ramah lingkungan (bertenaga listrik, biogas). Gedung parkir komunal dibangun untuk warga penghuni dan park and ride untuk tamu, pengunjung, atau penumpang transportasi massal.
Jika ingin keluar dari permukiman, warga menggunakan transportasi massal terdekat. Perlu disediakan trotoar yang menghubungkan ke halte bus atau stasiun kereta terdekat melewati taman. Transportasi online dapat menjadi pengumpan dari permukiman ke halte atau stasiun terdekat.
Ketiga, menata ulang kawasan yang dilalui transportasi massal menjadi kawasan terpadu berbasis transit. Kawasan campuran permukiman (hunian vertikal) dan komersial (kantor/ruang kerja bersama, pasar/pusat belanja, sekolah/pelatihan) perlu memiliki aksesibilitas tinggi terhadap transportasi massal.
Keempat, integrasi transportasi massal, baik fisik maupun sistem. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diharmoniskan agar pengembangan transportasi massal sejalan dengan rencana tata ruang kota.
Selain itu, diperlukan standar layanan moda pengumpan yang terintegrasi dengan transportasi massal melalui satu simpul, perpindahan moda dalam satu perjalanan maksimal tiga kali, waktu perjalanan dari asal ke tujuan maksimal 2,5 jam, akses jalan kaki menuju angkutan umum maksimal 500 meter, serta trotoar dan park and ride atau kantong parkir yang memadai.
Pemerintah DKI Jakarta harus segera menerapkan jalan berbayar elektronik di jalan protokol, perluasan kebijakan ganjil-genap, parkir elektronik progresif, serta kantong parkir di terminal/stasiun.
Kelima, memperbanyak penanaman pohon penyerap polutan di lingkungan kita dan kota. Dalam setahun, 0,4 hektare pohon dewasa dapat menyerap gas karbon dioksida dari pembakaran mobil yang menempuh jarak 41.842 kilometer. Satu pohon dewasa mampu menyediakan kebutuhan oksigen dan nitrogen untuk dua orang. Dalam sehari, manusia (dewasa) menghirup oksigen 2.880 liter dan nitrogen 11.376 liter.
Maka, menjamin udara kota sehat bukan pilihan, melainkan keharusan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo