Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Demokrat di Tubir Jurang

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungguh menakjubkan jika benar yang dituduhkan Muhammad Nazaruddin terhadap sepak terjang koleganya di Partai Demokrat. Bekas bendahara umum partai pemenang pemilu yang kini jadi buron itu membeberkan "permainan" sejumlah petinggi partainya yang ternyata juga pernah menerima uang kotor. Dalam hati, sesungguhnya, kita berharap nyanyian Nazaruddin ini pepesan kosong belaka. Sebab, kalau benar demikian, alangkah malangnya nasib negeri ini!

Dari tempat persembunyiannya, tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyatakan telah mengucurkan uang sekitar US$ 20 juta (sekitar Rp 170 miliar) untuk kongres Partai Demokrat, Mei tahun lalu, di Bandung. Uang itu tak hanya untuk Anas Urbaningrum dan buat menyogok para pengurus Partai Demokrat agar memilih Anas, tapi juga untuk Edhie Baskoro Yudhoyono serta Andi Mallarangeng—rival Anas di kongres. Mereka masing-masing menerima US$ 250 ribu atau sekitar Rp 2 miliar.

Lebih dari permainan di luar, yang mengkhawatirkan sebetulnya adalah manuver internal yang dilakukan Nazaruddin untuk menggalang kekuatan dan pengaruhnya di dalam struktur partai. Demikian gawatnya permainan itu, sehingga pendiri dan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono merasa penting memberi semacam "clearance" kepada seluruh rakyat Indonesia tentang betapa teguhnya Partai Demokrat digulung "badai" Nazaruddin selama lebih dari dua bulan ini.

Panggung Cikeas itu, sesungguhnya, lumayan mengharukan. Susilo Bambang Yudhoyono, presiden republik ini, seolah-olah dipaksa tampil untuk membersihkan citra belepotan yang disebabkan oleh para anak buahnya. Dari aspek tanggung jawab, tindakan Yudhoyono itu mungkin patut dihormati. Tapi, dari aspek urgensi, langkah sang Presiden agak membingungkan. Panggung Cikeas itu membaurkan posisi sang kepala negara dengan kedudukannya sebagai pembina partai. Di balik bauran itu kita menangkap sinyal yang menyedihkan: partai ini tidak mampu menyelesaikan problemnya hanya melalui struktur pengurus harian.

Panggung Cikeas itu sekaligus menampilkan wajah Anas Urbaningrum yang tidak berdaya. Meski dibela dengan sepenuh kewibawaan oleh sang Ketua Dewan Pembina, kita tahu: Anas di ambang wassalam. Jika skandal Nazaruddin dirunut secara saksama, tampaklah dengan jernih tautan khusus antara Nazar dan sang Ketua Umum, sejak rekrutmen Nazar ke kubu Demokrat, kepercayaan yang diberikan Anas kepada Nazaruddin yang menggerakkan tim pemenangannya di kongres Bandung, sampai pada tuduhan pengucuran dana serta berbagai fasilitas yang mendukung kemudahan Anas.

Seraya Pemilu 2014 semakin mendekat, kian tak jelas nasib yang akan menimpa Demokrat. Harapan yang tadinya dititipkan para pemilih ke pundak Susilo Bambang Yudhoyono—dan tentu saja Partai Demokrat—terus merosot dari hari ke hari. Tak diperlukan lembaga survei dan lembaga analisis yang canggih untuk membaca tergerusnya kepercayaan itu.

Di mimbar talk show yang sangat kasatmata saja rakyat menonton "perkelahian" sesama tokoh Demokrat, yang dilakukan tanpa elegansi sama sekali. Kalau di depan kamera talk show saja para komponen partai ini tak bisa menyembunyikan perseteruan, bagaimana pula dalam realitas yang sesungguhnya?

Dari sumber-sumber yang layak dipercaya, kita menerima informasi, Anas memang belum berpahit hati. Ketegaran ini layak dihormati. Menghadapi Pemilu 2014, tentu ada dua perkara yang harus digalang oleh setiap orang yang berharap maju sebagai kandidat: dana dan citra.

Dalam urusan dana, setelah kehilangan "bankir" partai, yakni Muhammad Nazaruddin, Anas memang harus bergerak lebih lincah dan trengginas. Tapi, setelah kebelepotannya dalam "Nazargate", sulit membayangkan pendukung dana berani mendekat ke kubu Anas. Dalam urusan citra, Anas sepertinya sudah memberi kepercayaan kepada lembaga dan individu profesional.

Dana dan citra itulah yang diharapkan bisa mendukung elektabilitas seorang kandidat. Tapi, jangan lupa, berbanding lurus dengan elektabilitas adalah respektabilitas, yakni tingkat ketakziman publik terhadap calon pilihannya. Dengan skandal Nazaruddin, sulit sekali menuntut ketakziman calon pemilih, baik terhadap Partai Demokrat maupun terhadap para pemukanya—khususnya Anas Urbaningrum.

Susilo Bambang Yudhoyono tetap bisa berpura-pura optimistis. Tapi siapa pun tahu: ia dan Demokrat kini berada di tubir jurang. Partai ini memerlukan revolusi internal menyeluruh. Kalau tidak: sampai di sini, Demokrat!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus