Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah seharusnya Pondok Pesantren Umar bin Khattab di Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, digeledah polisi. Banyak pelanggaran hukum yang dilakukan pengasuh dan sejumlah santri di situ yang memang harus ditindak tegas. Bila lembaga pendidikan Islam itu terbukti membaiat santrinya agar bertindak makar, pesantren itu harus ditutup.
Tak ada satu dalih pun yang bisa dijadikan pembenar jika di dalam pesantren ditemukan sejumlah barang bukti perbuatan pidana. Mereka bukannya menumpuk kitab klasik agama dan menebarkan kebajikan, tapi malah sebaliknya. Senjata api rakitan, senjata tajam, juga panah, ditemukan di pesantren itu, yang diduga akan digunakan untuk menyerang polisi.
Indikasi terbaru pelanggaran hukum di pesantren itu adalah terjadinya ledakan yang diduga berasal dari bom rakitan. Ledakan itu menewaskan Riyanto Abdullah alias Firdaus, 31 tahun, salah seorang pengasuh merangkap bendahara di pondok pesantren tersebut. Polisi harus berupaya maksimal agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia akibat ulah pesantren garis keras ini. Pesantren sejatinya hadir bukan sebagai lembaga perakit bom.
Negara tak boleh kalah, termasuk oleh pesantren yang kerap dijadikan basis massa yang siap melawan aparat. Bagus jika polisi tak gentar menindak mereka, apa pun risikonya. Ketika hendak memasuki pesantren untuk menyelidiki penyebab ledakan tersebut, polisi tak peduli meski dihalangi sejumlah santri dan warga bersenjata tajam serta panah. Sikap pantang mundur ini penting untuk menunjukkan bahwa pesantren tak kebal hukum.
Apalagi bukan kali ini saja pesantren itu berurusan dengan polisi. Akhir Juni lalu, Sa’ban Arrahman, salah seorang santri yang baru berusia 18 tahun, menusuk Brigadir Rokhmad Saipudin, anggota Kepolisian Sektor Bolo, hingga tewas. Sa’ban mengaku diperintah Tuhan karena polisi menjalankan undang-undang yang tak sesuai dengan syariat Islam. Dia juga mengaku dicekoki pemahaman aneh: polisi itu halal darahnya.
Rekam jejak pesantren yang dekat dengan kelompok radikal itu sebetulnya mudah dilacak. Sejak berdiri pada 2004, pesantren itu menutup diri dari pihak luar. Mereka menolak bantuan pemerintah, tak mau diintervensi, dan tak sudi menggunakan kurikulum pemerintah. Petugas Kementerian Agama setempat hanya bisa sekali masuk untuk melakukan pembinaan ke pesantren tersebut. Selanjutnya, setiap kontak selalu ditolak.
Aparat keamanan harus segera menangkap Abrori, pengasuh pesantren yang melarikan diri. Hasil investigasi terhadap sekretaris pesantren itu, Mujahidul Haq alias Uqbah, yang ditahan karena diduga menjadi salah seorang donatur pelatihan militer di Aceh, bisa dikembangkan. Seperti Firdaus, Uqbah menjadi pengajar di Pesantren Umar bin Khattab. Dia lulusan Pondok Pesantren Nurus Suhada, Surakarta, dan dikenal sebagai anggota Jamaah Ansharut Tauhid di Bima. Organisasi ini dipimpin Abu Bakar Ba’asyir, yang kini mendekam di penjara.
Jaringan kelompok ini harus diurai aparat. Selanjutnya semua pihak yang dicurigai ikut berperan dalam perbuatan pidana ini harus diusut. Tindakan tegas ini penting untuk mencegah kemungkinan terjadinya peristiwa yang lebih buruk, semisal terorisme. Bukankah mereka tak segan membunuh polisi dan warga masyarakat lainnya yang tak sepaham dengan ajaran yang mereka anut. Langkah berani dalam menghadapi mereka menjadi pilihan utama dan tak boleh ditunda-tunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo