Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA banyak film bercerita tentang narapidana yang lari dari penjara. Satu yang berkesan adalah The Shawshank Redemption. Tokoh film itu, Andy Dufresne, berhasil kabur setelah berjuang hidup-mati. Selama sembilan belas tahun dia menggali terowongan dari dinding penjaranya, secuil demi secuil.
Laporan investigasi Tempo minggu lalu berjudul "Tamasya Napi Sukamiskin" tidak memotret kisah napi yang melarikan diri. Ketimbang minggat, dengan risiko ditangkap dan bertambah hukumannya, para napi kasus korupsi memilih membeli izin berobat, lalu pelesiran di luar penjara. Ini bukan cerita baru, memang. Ibarat cerita bersambung, silih berganti kita membaca berita tentang para napi kaya yang menikmati paket tamasya di luar bui.
Tiga tahun menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014), saya amat menyadari bahwa persoalan lembaga pemasyarakatan termasuk isu yang paling rumit dipecahkan. Masalah ini layaknya benang kusut-masai yang sulit diurai. Tapi bukan berarti tidak ada solusinya.
Dalam tataran konsep, filosofi pemasyarakatan sudah khatam dirapatkan, dibahas, dan didiskusikan dalam berbagai kesempatan. Namun di Sukamiskin—dan di hampir semua penjara lain di Indonesia—semua konsep ideal itu bertabrakan dengan realitas persoalan yang sempurna.
Sebagai lembaga pemasyarakatan yang dikhususkan menampung napi korupsi, tantangan di Sukamiskin termasuk yang tersulit di antara lebih dari 500 LP dan rumah tahanan di Indonesia. Napi korupsi kelas kakap punya dua jimat penggoda yang paling sulit ditaklukkan: duit dan kuasa. Tidak semua napi Sukamiskin adalah konglomerat, tapi beberapa di antaranya sama sekali tidak kesulitan untuk membayar berbagai fasilitas mewah terlarang di hotel prodeo. Kedekatan mereka dengan kekuasaan juga masih kuat dan sering dijadikan daya tawar kepada petugas lembaga pemasyarakatan.
Mengatasi pelanggaran di lembaga pemasyarakatan sungguh bukan soal sederhana. Suatu ketika ada kepala rutan berkonsultasi kepada saya. Dia bertanya bagaimana kalau ada napi korupsi yang mau membantu penyediaan obat-obatan. Anggaran obat memang sangat minim. Untuk Sukamiskin, hanya tersedia sekitar Rp 50 juta buat 500-an napi per tahun. Akhirnya, dengan pertimbangan kemanusiaan, bantuan obat itu saya izinkan.
Pada salah satu inspeksi mendadak di Sukamiskin, saya melihat beberapa pintu sel tidak digembok. Petugas menjelaskan bahwa napi yang menghuninya menderita penyakit serius, termasuk jantung dan komplikasinya. Pintu tidak dikunci untuk alasan keselamatan, mengantisipasi jika di tengah malam ada kondisi darurat kesehatan. Meski tidak ideal, saya memakluminya. Bagaimanapun, kalau terkait dengan taruhan nyawa, kita harus bersikap bijak.
Di tengah kondisi tak ideal, petugas memang harus pintar membaca situasi. Soal permintaan izin berobat, misalnya, tak semua harus disetujui. Tidak sedikit yang wajib ditolak. Suatu malam Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin pernah menelepon saya. Ada narapidana yang memaksa keluar karena rindu bertemu dengan anaknya. Si napi meminta izin berobat, padahal tidak sakit. Kepala LP berkonsultasi karena napi itu mengancam sambil mencatut kedekatannya dengan menteri dan presiden. Saya tegaskan, "Jangankan mengaku dekat dengan menteri dan presiden, mengaku dekat dengan Tuhan sekalipun, kalau memang tidak sakit, tetap tidak boleh diberi izin."
Dengan godaan uang dan kekuasaan yang besar, pimpinan lembaga pemasyarakatan memang harus manusia setengah dewa separuh malaikat. Menyadari beban berat tersebut, saya menyeleksi superketat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Proses pemilihannya hampir persis dengan seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada tes administrasi, psikotes, wawancara, dan penelitian rekam jejak, termasuk pelacakan informasi ke KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Direktorat Jenderal Pajak.
Kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, saya meminta dicarikan kader terbaik untuk ikut seleksi Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Tahap akhirnya adalah wawancara di hadapan pimpinan Kementerian. Hasilnya mengecewakan. Dalam wawancara, di antara tujuh orang yang dipilih Sekjen sebagai kandidat terbaik, lima di antaranya mengaku masih rutin menerima setoran bulanan. Meskipun belum tentu menggambarkan kondisi sesungguhnya, fakta tersebut jelas menunjukkan salah satu persoalan mendasar di lembaga pemasyarakatan adalah minimnya integritas moral.
Karena itu, ketika dilakukan lelang jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, faktor integritas tersebut adalah syarat mutlak dengan bobot nilai paling tinggi. Akhirnya terpilihlah Handoyo Sudrajat, yang sebelumnya berkarier sebagai Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK. Sayangnya, tidak lama setelah saya menyelesaikan tugas sebagai Wakil Menteri Hukum, Handoyo mengundurkan diri. Terakhir saya bertemu dengan beliau ketika membesuk di rumahnya yang sederhana, beberapa saat setelah Handoyo terkena stroke. Beban tugas mahaberat di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pasti menguras kesehatan fisik dan psikis, terutama untuk orang putih-bersih sekaliber Handoyo.
Saya sangat yakin bahwa persoalan integritas itulah yang mendesak dibenahi. Sistem lainnya akan berfungsi baik ketika pimpinan lembaga pemasyarakatan menjaga teguh integritasnya. Jika sikap mentalnya masih transaksional, sistem secanggih apa pun tidak akan berjalan efektif, termasuk dalam hal pengawasan narapidana. Seharusnya tidak sulit mengetahui siapa saja yang keluar-masuk LP dengan pantauan kamera pengawas (CCTV). Tapi saya dengar semua alat pengawasan itu sudah rusak di Sukamiskin. Bisa jadi karena biaya perawatan yang minim atau memang sengaja tidak dirawat.
Suatu ketika, untuk memantau napi kasus korupsi, bekerja sama dengan KPK, saya menyambungkan pantauan CCTV dari lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan langsung ke ruang kerja saya di Kementerian Hukum dan HAM. Hasilnya mengecewakan. Di satu LP, ada CCTV yang sudut pandangnya sengaja digeser menghadap dinding. Setiap kali secara remote saya coba arahkan ke sudut pandang yang benar, CCTV itu kembali digeser menghadap tembok. Penasaran, saya menelepon kepala lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan. Saya menanyakan bagaimana kondisi CCTV yang baru dipasang. Dia menjawab tanpa rasa bersalah, "CCTV berfungsi baik, Pak Wamen. Agar tidak disalahgunakan, alatnya saya taruh di ruang kerja saya."
Ke depan, Badan Pemasyarakatan Nasional yang berdiri sendiri—terlepas dari Kementerian Hukum dan HAM—perlu diwujudkan. Persoalan lembaga pemasyarakatan tidak bisa lagi dikelola oleh Kementerian Hukum, yang rentang kendali tugasnya sudah terlampau banyak. Perlu ada badan tersendiri yang langsung di bawah presiden dan berfokus melakukan perombakan total. Badan ini harus mendorong perubahan kultur secara revolusioner, dari yang sekarang berwarna transaksional menuju arah budaya profesional yang tak terbeli. Badan ini juga bisa menjadi jawaban untuk kontrol Dirjen Pemasyarakatan atas anggaran, personel, dan tugas pemasyarakatan yang selama ini tidak otonom, karena sering kali diintervensi oleh Sekjen Kementerian dengan berbagai alasan birokrasi dan administrasi.
Khusus Sukamiskin, pola pembinaannya harus berbeda dibanding lembaga pemasyarakatan lain. Pengawasannya harus ekstraketat. Pemilihan Kepala LP, Kepala Pengamanan LP, Kepala Divisi Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Jawa Barat, hingga dokter dan sipirnya haruslah orang-orang terbaik. Perlu dipertimbangkan serius: para sipir tidak lagi hanya berpendidikan sekolah menengah atas, tapi minimal S-1. Bagaimanapun, perlu persiapan ilmu dan mental lebih kokoh untuk berhadapan dengan para napi kasus korupsi yang sebelumnya merupakan orang penting dan tersohor di Tanah Air.
Tanpa perubahan radikal, hanya soal waktu sebelum Tempo kembali membongkar kisah fasilitas mewah di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. Saya tidak ingin suatu ketika produser Hollywood mendapatkan ilham untuk memfilmkan ulah napi pelesiran di sana. Bukannya karena sulit dilakukan sebagaimana film Andy Dufresne di atas, justru lantaran cerita paket tamasya napi tajir semacam itu terus berulang, lagi dan lagi.
*) Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Dan Melbourne University Law School, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo