Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kepolisian Inggris menyebut aksi kerusuhan ini sebagai “thuggery” atau “premanisme” yang bersifat kriminal.
Kepolisian Inggris menuduh organisasi ekstrem kanan dan anti-Islam, English Defence League, sebagai provokator kerusuhan.
Berpindahnya ujaran kebencian dari dunia maya ke dunia nyata pernah terjadi di Indonesia.
INGGRIS Raya memanas setelah kerusuhan bernuansa islamofobia dan anti-imigran terjadi di sejumlah kota di Inggris serta Irlandia Utara sejak 29 Juli 2024. Kejadian ini merupakan kerusuhan terparah di Inggris Raya sejak 13 tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah insiden kekerasan di Southport, Inggris, aksi yang ditunggangi aktivis sayap kanan tersebut meluas ke beberapa kota lain di Inggris, termasuk Sunderland, Rotherham, Tamworth, Manchester, dan Liverpool, serta Belfast di Irlandia Utara. Pada Ahad, 4 Agustus 2024, di Rotherham, massa memaksa masuk dan merusak Hotel Holiday Inn Express di Manvers, yang ditempati 240 pencari suaka. Puluhan polisi terluka setelah mencoba menghalau sekitar 700 perusuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Inggris menyebut aksi kerusuhan ini sebagai “thuggery” atau “premanisme” yang berarti perilaku kekerasan yang bersifat kriminal atau antisosial dan merugikan masyarakat. Aksi premanisme ini meluas ke kota-kota lain karena dipicu oleh penyebaran pesan provokatif gerakan anti-imigran dan islamofobia melalui media sosial X serta aplikasi perpesanan WhatsApp. Dalam satu pekan aksi premanisme ini, kepolisian Inggris menangkap setidaknya 400 perusuh.
Gerakan bernuansa rasisme ini dipicu oleh insiden penikaman yang menewaskan tiga anak perempuan dan melukai sejumlah korban lain di klub tari anak-anak di Kota Southport, Inggris, pada 29 Juli 2024. Kepolisian Inggris telah meringkus pelaku yang merupakan seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun dengan orang tua berlatar belakang imigran Rwanda.
Identitas pelaku sempat dirahasiakan oleh polisi karena aturan hukum di Inggris Raya wajib menutup identitas pelaku di bawah umur. Namun prasangka publik berkembang liar saat hoaks dan ujaran kebencian beredar di media sosial yang menyebutkan bahwa pelaku penikaman adalah seorang pengungsi beragama Islam. Pada malam insiden penikaman, para perusuh memadati jalanan dan menyerang masjid di Southport.
Dalang Ujaran Kebencian Anti-Imigran di Inggris
Kepolisian Inggris menuduh organisasi ekstrem kanan dan anti-Islam, English Defence League (EDL), telah memprovokasi dengan ujaran kebencian serta menyebarkannya secara online di media sosial. Berideologi supremasi kulit putih dan anti-Islam, organisasi unjuk rasa jalanan EDL didirikan di Luton, Inggris, pada 2009.
Sejumlah peneliti mengidentifikasi bahwa anggota grup ini mayoritas adalah laki-laki berusia muda, berkulit putih, berpendidikan rendah, dan kurang memiliki akses ke pekerjaan (Goodwin et al., 206; Kassimeris dan Jackson, 2015; Winlow et al., 2017). Kekuatan organisasi sayap kanan ini mulai meredup dengan berkurangnya jumlah pengunjuk rasa sejak 2011. Peneliti mengungkap bahwa sistem perekrutan anggota tanpa pandang bulu menjadi salah satu penyebab kegagalan EDL berkembang lebih besar di Inggris (Morrow dan Meadowcroft, 2019).
Pendiri EDL, Tommy Robinson, yang memiliki 935 ribu pengikut di media sosial X, tercatat telah menyebarkan kabar bohong di saluran tersebut pada Sabtu, 3 Agustus 2024. Kabar bohong itu berkaitan dengan insiden penusukan di Stirling, Skotlandia, Inggris Raya. Pemilik nama asli Stephen Yaxley-Lennon ini menuliskan unggahan bahwa seorang warga yang diduga muslim telah terlibat dalam penusukan "setidaknya tiga wanita" di Stirling.
Sejak diunggah hingga pukul 10.23 malam, unggahan tersebut telah mendapat 29.600 likes. Robinson juga membagikan dua gambar: satu adalah tangkapan layar pesan Snapchat yang tidak menyebutkan ras atau agama, dan unggahan lainnya adalah gambar dari akun Facebook "Tteagan Kkirk". Gambar itu menampilkan pria bertudung hitam, yang oleh si pemilik akun Facebook diklaim sebagai penikam saudaranya. Cuitan tersebut memperoleh lebih dari 1 juta tayangan, yang menyebabkan penyebaran disinformasi makin meluas.
Padahal insiden yang sebenarnya terjadi di Stirling adalah penusukan seorang perempuan berusia 21 tahun yang dilakukan oleh seorang laki-laki kulit putih berusia 29 tahun. Polisi menyebutkan korban selamat dan telah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Forth Valley Royal. Pelaku yang merupakan warga lokal Stirling juga sudah ditangkap. Polisi menyatakan insiden ini bersifat lokal dan bisa diatasi.
Figur publik lain yang dituding turut menyulut kemarahan para simpatisan sayap kanan adalah Nigel Farage, seorang anggota parlemen Inggris yang telah lama dikenal mendukung gerakan anti-imigran. Pada 30 Juli 2024, Nigel mengunggah sebuah video di akun X resminya dan menyatakan kecurigaan bahwa kepolisian sedang menutup-nutupi identitas imigran pelaku penusukan di Southport. Unggahan bernuansa anti-imigran ini mendapat 41 ribu likes dan tercatat ada 6.797 orang yang membagikan ulang pesan tersebut di platform X.
Belakangan, gerakan perlawanan atas kekerasan rasial dan anti-imigran itu menguat. Warga sejumlah kota di Inggris turun ke jalan untuk berunjuk rasa menyampaikan pesan-pesan perlindungan terhadap imigran dan melawan gerakan rasisme.
Bahaya Ujaran Kebencian, Belajar dari Kasus Ahok
Segala bentuk disinformasi dan ujaran kebencian yang berawal dari dunia maya ini menjadi lebih berbahaya ketika berujung pada tindakan kekerasan di dunia nyata (offline). Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan ujaran kebencian sebagai komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.
Berpindahnya ujaran kebencian dari dunia maya ke dunia nyata pernah terjadi di Indonesia. Pada 2016, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial mengancam calon Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok. Ahok merupakan seorang penganut Kristen, sedangkan unggahan berisi hasutan-hasutan itu beredar di kalangan kelompok Islam konservatif.
Ancaman daring ini lalu berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta, yang dikenal publik dengan sebutan aksi 212 atau 2 Desember 2016 bertajuk Aksi Bela Islam. Massa menuntut Ahok dipenjara karena dianggap telah menistakan agama Islam karena menyitir Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 51 saat berkampanye di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Pada 2017, Ahok divonis hukuman 2 tahun penjara setelah majelis hakim memutuskan ia terbukti menistakan agama.
Pengguna media sosial dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan konten kebencian dan kekerasan. Media sosial X secara tegas menyebutkan kebijakan mereka tentang konten, yakni tidak boleh berafiliasi dengan atau mempromosikan aktivitas yang melakukan kekerasan dan kebencian. Contoh jenis konten yang melanggar kebijakan ini, antara lain, terlibat atau mempromosikan tindakan kekerasan serta merekrut, menyediakan, atau mendistribusikan propaganda untuk mencapai tujuan kekerasan.
Meski konten telah dilaporkan, platform X masih harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak. Dengan demikian, pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten itu sudah telanjur viral di dunia maya dan berpotensi memicu kekerasan di dunia nyata.
Cara lebih cepat untuk menghentikan potensi disinformasi adalah melaporkan konten yang berpotensi menyebabkan kekerasan langsung ke penegak hukum. Namun hal ini perlu disertai adanya kriteria jelas soal konten-konten berbahaya, bukan hanya berdasarkan penilaian sepihak dari pemerintah atau kepolisian agar tak berujung pada maraknya kriminalisasi berbasis Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam upaya menanggulangi kerusuhan di Inggris, Unit Disinformasi Pemerintah Inggris telah mengidentifikasi unggahan disinformasi yang diduga memicu aksi rasisme dan anti-imigran. Mereka segera meminta perusahaan platform media sosial merespons, mengevaluasi, dan menghapus unggahan yang mengancam keamanan negara.
Google, Meta, dan TikTok secara cepat merespons permintaan pemerintah Inggris. Namun platform X menolak bekerja sama dengan pemerintah Inggris dan tidak menghapus unggahan berbahaya tersebut karena pemilik X, Elon Musk, menyatakan diri sebagai “pendukung kebebasan berbicara absolut”.
Sudah semestinya pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial menguatkan kerja sama untuk mengatasi ujaran kebencian serta disinformasi. Mereka harus berkolaborasi memantau, menganalisis konten, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban.
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.