Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT untuk tidak mengkhawatirkan rencana Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam ketentuan ini, pejabat negara mendapat keleluasaan bahkan untuk mengubah aturan demi terselenggaranya proyek tertentu.
Aturan yang direncanakan terbit pada akhir tahun ini merupakan bagian dari paket kebijakan percepatan ekonomi Jokowi. Pemerintah menyimpulkan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah-rata-rata hanya sekitar 4,7 pada triwulan I dan II tahun ini, dari target 5,7 persen-merupakan implikasi dari terhambatnya program pembangunan. Para pejabat enggan memulai proyek, takut dipidana jika kemudian terungkap ada kebijakan yang menyalahi peraturan. Akibatnya, penyerapan anggaran jauh dari target, padahal realisasi proyek berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi.
Kita sepakat pejabat negara perlu diberi kewenangan memadai untuk menyukseskan program pembangunan. Tapi aturan yang bersifat "sapu jagat" seperti rancangan perpres ini rentan melahirkan moral hazard. Seharusnya pemerintah bekerja lebih keras mengidentifikasi hambatan riil dalam realisasi setiap jenis proyek strategis dan membuat aturan yang lebih spesifik.
Demikian luasnya kewenangan yang diberikan; dalam hal pembebasan tanah untuk proyek strategis jenis apa pun, misalnya, pemerintah daerah bahkan mendapat izin mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) hingga lebih dari sekali dalam lima tahun. Tak mengherankan bila Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menyebut perpres ini aturan "anti-kriminalisasi". Bersama perpres ini, Jokowi juga akan mengeluarkan instruksi presiden yang memastikan tidak ada pejabat dikriminalisasi lantaran persoalan administrasi.
Kita sepakat dalam hal ini. Pengalaman buruk Sri Mulyani dalam kasus bailout Bank Century-padahal banyak pihak meyakini kebijakan itu menyelamatkan perekonomian Indonesia dari terjangan krisis pada 2008- jangan sampai terulang. Tak boleh pula ada pejabat atau mantan pejabat diperiksa sana-sini, diancam dijadikan tersangka, sementara tak ada bukti kerugian negara ataupun korupsi, seperti dalam kasus Dahlan Iskan.
Namun memberikan diskresi tanpa batas untuk "mengakali" ketentuan yang berlaku bukan pula langkah bijak. Seolah-olah, "demi kepentingan percepatan pembangunan", pelanggaran aturan menjadi hal positif dan dipandang tak punya kaitan dengan korupsi. Padahal banyak praktek korupsi justru dengan mengakali administrasi: mempermainkan tender, memutarbalikkan tafsir atas RTRW, menciptakan pengeluaran "legal" yang tak perlu, hingga merancang perubahan aturan yang hanya menguntungkan pejabat dan para kroninya.
Karena itu, Presiden sebaiknya tidak terburu-buru meluncurkan perpres ini. Jangan sampai aturan yang bermaksud baik ini malah menyuburkan korupsi dan penyalahgunaan wewenang di berbagai lapisan pemerintahan, dari daerah hingga pusat. Lagi pula, kalau tujuannya agar pejabat negara tidak dikriminalkan lantaran kebijakannya, sudah ada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan.
Aturan yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang lengser pada Oktober tahun lalu itu sebetulnya cukup melindungi pejabat dari jerat hukum pidana. Presiden Jokowi hanya perlu menambahkan ketentuan pelaksanaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo