Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENSIBILITAS dan rasa kemanusiaan negara-negara Arab patut dipertanyakan dalam menghadapi masalah gelombang pengungsi Suriah. Sungguh miris, sederet negeri makmur, seperti Qatar, Kuwait, Bahrain, Oman, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi, sama sekali tak membuka diri bagi imigran Suriah yang terlunta-lunta. Seolah-olah mereka penderita sampar dan kusta yang harus dijauhi.
Para pengungsi itu seakan-akan menularkan wabah mematikan jika ditampung dan diberi tempat. Tak ada sedikit pun perhatian, apalagi donasi, yang diberikan negara-negara itu. Padahal mereka masih dalam satu rumpun budaya. Sikap ini menunjukkan negara-negara Arab terkaya tersebut sama sekali tak peduli akan sisi penting humanisme. Ketakutan psikologis akan perbedaan Sunni-Syiah serta pemahaman bahwa menerima imigran ibarat menyemai bibit terorisme adalah alasan paranoid.
Padahal ini urusan gawat, menyangkut hidup-mati para pengungsi korban perang di Suriah. Seharusnya rasa kemanusiaan yang dijadikan prioritas. Mereka bisa mencontoh keterbukaan dan solidaritas Eropa. Beberapa pemimpin Eropa kini berusaha keras menyelamatkan pengungsi dengan risiko harus melawan gerakan anti-imigran di negara masing-masing.
Memang di Eropa masih ada keengganan memberi suaka kepada para pengungsi. Ngilu rasanya mendengar Perdana Menteri Hungaria Viktor Oban menyerukan agar Eropa tetap mempertahankan identitas kekristenannya-hal yang sama sekali tak relevan. Warga Hungaria dihinggapi sikap rasisme: melempari dan mengusir para imigran agar tak masuk ke perbatasan wilayah mereka.
Untunglah masih ada pemimpin Eropa yang berorientasi sosial. Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker mengajukan usul pembagian kuota pengungsi ke berbagai negara. Ia percaya masih ada balans demografi di Eropa. Sejauh ini barulah Jerman, Prancis, dan Spanyol yang porsinya paling besar. Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan menyatakan negaranya sanggup menampung melebihi kuota. Jerman siap menerima 500 ribu pengungsi tahun ini.
Sambutan hangat warga Jerman terhadap pengungsi sungguh mengharukan. Mereka berani membuka hati dan tampak siap menerima kaum migran sebagai bagian dari keluarga, memberi kesempatan kerja pengungsi, dan tak takut akan adanya kompetisi. Menyekolahkan anak-anak pengungsi bukan sebuah tindakan yang mengancam. Sikap terpuji ini akan membuat Jerman semakin tangguh di masa depan.
Penting menggarisbawahi pesan Juncker. Mantan Perdana Menteri Luksemburg ini mengingatkan agar Eropa tidak terjebak dalam suatu amnesia sejarah. Bahwa ratusan tahun lalu juga terjadi gelombang warga Eropa melakukan migrasi ke Amerika. Bahwa rasa sakit pernah mereka alami tatkala Holocaust pada Perang Dunia II. Kala itu, ratusan ribu pengungsi Yahudi berusaha menyelamatkan diri keluar dari Eropa.
Jika dibandingkan dengan sikap humanis Jerman, terasa moralitas negara-negara Arab kaya itu amat kerdil. Celakanya, tak ada satu pun pemimpin di jazirah itu yang ambil peduli. Mereka seolah-olah tutup mata terhadap penderitaan "saudara" sendiri. Sejarah akan mencatat bahwa mereka terjangkiti penyakit xenofobia atau ketakutan dan penuh syak wasangka terhadap orang dari negara lain meski masih sekultur.
Musim dingin segera tiba. Apabila ratusan ribu pengungsi Suriah tetap tidur di taman-taman dan stasiun kereta api, mereka akan menggigil dan bisa berujung pada kematian. Bila Eropa menampik menyediakan penampungan yang layak, berarti mereka mengingkari sejarahnya sendiri. Dan negeri Arab yang kaya itu seperti tega memakan bangkai saudara sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo